Gintani merasa lelah. Dia kemudian menundukkan kepalanya di atas kasur di samping kakeknya. Tanpa menunggu waktu lama, dia pun mulai masuk ke alam mimpinya.
Pukul 02.30 dini hari. Kakek Wira terlihat mengerjapkan matanya. Dia pun mulai menoleh ke samping kanan. Tampak cucu kesayangannya sedang mendengkur halus. Kakek Wira melayangkan tangannya yang terasa lemas untuk menyentuh pucuk kepala Gintani.
Cucuku yang malang, maafkan Kakek! Karena Kakek kamu harus tertidur di tempat seperti ini, batin Kakek Wira.
Kakek Wira memejamkan matanya. Sejenak dia mengenang pertemuannya dengan menantunya 14 tahun silam. Saat itu....
Tuan *Wira tengah berlari tergopoh-gopoh mengejar seseorang yang telah mencuri dompetnya. Tiba di kolong jembatan yang sepi, tiba-tiba saja si pencuri malah berbalik dan diam menantang T*uan Wira.
"Ayo, kemarilah orang tua, jika kau memang ingin dompetmu kembali!" teriak sang pencuri.
Tuan Wira pun menghampirinya. Namun ternyata sang pencuri tidak bertindak sendiri, tiba-tiba muncul 5 orang berandalan menghadang Tuan Wira dari arah depan dan belakangnya. Tuan Wira pun tersenyum sinis melihat para berandalan yang hendak mengeroyoknya.
"Cih! Beraninya hanya main keroyokan, ayo maju satu-satu kalau memang kamu merasa seorang lelaki!" ejek Tuan Wira.
"Banyak bacot lo! Serang!" ujar si pencuri memberikan perintah.
Akhirnya pertarungan 5 lawan 1 pun tak terelakan. Tuan Wira merasa kewalahan dengan pertarungan yang tidak seimbang itu. Tuan Wira semakin terdesak, beberapa kali punggungnya sempat terkena tendangan si berandal, bahkan tangannya pun terkena sabetan pisau si pencuri. Akhirnya Tuan Wira jatuh terhuyung-huyung, hingga dia mendengar seseorang berteriak.
"Sebelah sini, Pak! Ayo kemarilah!" teriak seorang wanita.
"Berhenti semuanya! Angkat tangan!" ujar salah seorang polisi yang melakukan penyergapan terhadap mereka.
Semua orang terkejut dengan kedatangan 3 orang polisi bersama seorang wanita. Tak terkecuali dengan Tuan Wira yang tengah jatuh tersungkur di tanah.
Akhirnya, ketiga polisi itu menggelandang kelima berandalan ke dalam mobil patroli. Sementara, sang wanita segera menghampiri Tuan Wira yang tengah duduk menahan nyeri di ulu hatinya.
"Anda tidak apa-apa, Tuan!" tanya wanita itu.
"Ti ... heh ... heh ... tidak, saya ... heh ... baik-baik saja!" jawab Tuan Wira dengan napas tersengal-sengal.
"Mari saya bantu, Tuan!" lanjut wanita itu.
Dia membantu Tuan Wira berdiri, kemudian memapahnya keluar dari kolong jembatan yang sepi itu. Wanita itu mendudukkan Tuan Wira di sebuah halte bus yang sangat sepi karena hari sudah menjelang magrib.
"Sebentar ya Tuan, saya ambilkan minum dulu!" ujarnya wanita itu.
Dia pun pergi ke arah gerobak kecil yang berisi beraneka ragam kopi seduh dan minuman berperisa. Wanita itu mengambil sebotol air mineral, dia pun menyerahkannya kepada Tuan Wira.
"Silakan Tuan, di minum dulu!" ucapnya.
Tuan Wira mengambil air mineral itu, kemudian menenggaknya hingga tak bersisa.
"Terima kasih!" ujar Tuan Wira.
"Sama-sama."
Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang masih seumuran dengan Tuan Wira, datang menghampiri mereka.
"Ma-Maaf Tuan! Sa-Saya tidak tahu jika Tuan sedang dalam kesulitan," ujar Pak Mun yang tak lain adalah sopir sekaligus sahabat Tuan Wira.
"Sudahlah, Mun, saya baik-baik saja. Oh iya Mun, tolong kau berikan dia uang. Dompet saya benar-benar raib. Ternyata komplotan copet itu telah melemparnya terlebih dahulu entah kemana sebelum mereka ditangkap polisi," perintah Tuan Wira.
"Baik Tuan."
Pak Mun pun mengambil beberapa lembar uang berwarna merah, dia kemudian menyerahkannya kepada wanita itu.
"Maaf Tuan, tidak perlu seperti ini. Saya ikhlas menolong Tuan," tolak sang wanita dengan sopan.
"Tapi, Nona!"
Wanita itu hanya bisa tersenyum.
"Permisi, Tuan!" pamitnya.
Wanita itu segera pergi untuk kembali menjajakan dagangannya. Dia kembali mendorong rodanya. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba...
"Aargghh...!" pekiknya seraya memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Sejurus kemudian wanita itu pun jatuh tergeletak di jalan.
"Astaghfirullah! Mun, cepat kau tolong dia!" perintah Tuan Wira.
Pak Mun segera berlari. Dia kemudian mengangkat tubuh lemah tak berdaya wanita itu. Setelah itu Pak Mun dan Tuan Wira segera membawa wanita itu ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, Pak Mun meminta sebuah brankar kepada salah seorang perawat. Setelah itu, Pak Mun mengeluarkan wanita itu dan membaringkannya di atas brankar.
"Bu Maya?" ujar salah seorang perawat yang sepertinya mengenali wanita yang tengah pingsan itu.
"Anda mengenalnya?" tanya Pak Mun.
"Iya Pak, dia adalah salah satu pasien peserta Jamkesmas di rumah sakit ini," ujar sang perawat.
"Baguslah kalau begitu.Tolong segera tangani dia!" pinta Pak Mun.
"Tapi, mohon maaf Pak! Kami tidak bisa langsung begitu saja menanganinya," ujar perawat.
"Loh, kenapa?" tanya Pak Mun merasa heran.
"Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pasien, setelah semuanya selesai, baru kami menindaknya."
Pak Mun merasa geram.
"Rumah sakit macam apa yang memberlakukan peraturan seperti itu? Apa kamu tidak lihat kondisi pasien seperti apa? Apa kamu mau menunggu dia sekarat dulu, baru kamu tangani, heh?" teriak Pak Mun.
"Mohon maaf Pak, ini sudah prosedur dari sananya."
Sang perawat menundukkan kepalanya karena merasa malu di bentak habis-habisan di muka umum.
Perdebatan yang tengah terjadi akhirnya mengundang perhatian Tuan Wira.
"Ada apa ini?" tanya Tuan Wira.
Pak Mun pun menceritakan apa yang sedang mereka perdebatkan dari awal hingga akhir.
"Ya sudah, pindahkan dia ke jalur umum, kelas VVIP! Biar aku yang mengurus semua administrasinya. Sekarang, cepat kau tangani dia! Mun, ikuti perawat itu! Pastikan wanita itu mendapatkan yang terbaik! Katakan, kemana aku harus melakukan pengajuan pemindahan kelas?!" tanya Tuan Wira dengan tegas.
"Mari ikut saya, Tuan!"
Tuan Wira pun mengikuti perawat yang tadi berdebat dengan sopirnya. Tiba di sebuah ruangan, perawat tadi menyerahkan berkas pasien yang harus ditandatangani si penanggung jawab. Saat Tuan Wira membuka berkas awal, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang melihat nama yang tertera di sana.
"Arya Wirahadikusumah?" gumam Tuan Wira.
Rasa sesak mulai menghimpit dada Tuan Wira. Bagaimana tidak, nama itu mengingatkan Tuan Wira terhadap anak kandungnya yang telah hilang 30 tahun silam.
Arya...., di mana kamu dan ibumu berada, nak?
Setelah pengisian prosedur pemindahan kelas selesai, Tuan Wira pun segera menuju kamar VVIP yang menjadi tempat perawatan wanita itu setelah mendapatkan tindakan pertolongan.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Tuan Wira.
"Ba-Baik, Tuan," jawabnya lemah.
Sebenarnya Tuan Wira ingin menanyakan tentang nama Arya Wirahadikusumah yang menjadi penanggung jawab atas dirinya dulu. Namun melihat kondisinya yang terlihat sangat lemah, Tuan Wira pun mengurungkan niatnya.
Setelah berbasa-basi sedikit, akhirnya Tuan Wira memutuskan untuk menemui dokter yang menangani wanita itu. Dari dokter itulah, Tuan Wira mengetahui jika wanita itu mengidap penyakit kanker otak stadium akhir.
Tuan Wira menanyakan perihal nama Arya Wirahadikusumah terhadap dokter itu. Menurut sepengetahuan dokter Iwan, yang menangani pasien, Arya Wirahadikusumah adalah suami dari wanita itu yang 5 tahun yang lalu telah meninggal saat sedang menjalani tugasnya sebagai perwira kepolisian. Itulah kenapa jika sampai detik tadi, penanganan kesehatan Maya dipindahkan menjadi peserta Jamkesmas program pemerintahan. Padahal, awalnya untuk pengobatan Maya ditanggung oleh asuransi swasta, namun karena dia tidak memiliki biaya lagi, dia pun memindahkan asuransi kesehatannya.
Hari demi hari, kondisi Maya semakin memprihatinkan. Karena merasa tidak punya kesempatan lagi, akhirnya mau tidak mau, Tuan Wira pun menanyakan perihal Arya Wirahadikusumah, suaminya.
Deraian air mata mengiringi Maya ketika menceritakan tentang siapa suaminya. Bagaimana suaminya memperlakukan Maya semasa hidupnya. Maya sendiri bahkan memperlihatkan sebuah foto kepada Tuan Wira.
Seketika Tuan Wira tertegun melihat kedua orang yang sangat dikenalinya. Ya! Mereka adalah istri dan anaknya yang telah diusir oleh keluarganya ketika Tuan Wira bertugas ke luar kota. Hati Tuan Wira semakin hancur saat mendengar kenyataan jika anak istrinya telah meninggal.
"Tu-Tuan...! Ji-Jika me-mang Anda a-adalah ayah mas Arya. Bo-Bolehkah sa-saya meminta sesuatu ... da-dari Anda?" ujar Maya terbata-bata.
"Ada apa, Maya? Apa yang bisa saya bantu?" ujar Tuan Wira.
"Se-Sebenarnya ka-kami memiliki seorang putri. Ta-Tapi karena kon-kondisiku seperti ini, aku ... aku pun menitipkan pu-putriku di sebuah panti asuhan daerah Cijantung. Bi-Bisakah Tuan mengambil dan mengu-rus putriku. Na-Namanya Gintania Nur'aini," ujar Maya.
Tuan Wira terkejut mendengar jika Arya meninggalkan seorang putri. Dia pun mengangguk menyetujui permintaan menantunya. Setelah itu, Tuan Wira mengambil berkas-berkas penting berupa akta kelahiran, kartu keluarga, beserta surat kelahiran Gintani dari rumah sakit daerah setempat yang akan dijadikan bukti untuk bisa mengambil Gintani dari panti.
Beberapa hari kemudian, Maya meninggal dunia. 40 hari setelah kepergiannya, Tuan Wira pun pergi ke panti asuhan tersebut dan berhasil membawa Gintani untuk tinggal bersamanya.
Kakek Wira membuka matanya, dia kembali mengusap lembut rambut cucunya.
🍀🍀🍀
Keesokan harinya.
"Ini!" ucap Bram seraya menyerahkan amplop berwarna coklat kepada bosnya.
Argha mengernyitkan dahinya, "Apa ini?" tanyanya.
"Bukankah semalam kau meminta itu dariku? Apa kau tahu, semalaman aku berselancar di Internet, tak satu pun aku menemukan akses data tentangnya. Sepertinya dia gadis yang kurang up to date," jawab Bram seraya menjatuhkan bokongnya di kursi depan meja bosnya.
"Terus, dari mana kau dapatkan semua ini? Jangan-jangan kau salah orang lagi!" gerutu Argha seraya membuka amplop tersebut.
Mata Argha membulat sempurna saat melihat foto gadis itu beserta CV dan daftar riwayat hidupnya.
"Jadi, dia karyawan di perusahaan kita?" tanya Argha.
"Ya! Tepatnya karyawan pantry, office girl!" ujar Bram.
"Shitt! Jadi, semalam aku ditampar oleh seorang office girl? Gila! Bener-bener gila!"
Amarah Argha kembali membuncah ketika mengetahui bahwa gadis yang menamparnya hanya seorang office girl.
"PECAT DIA!"
Argha memberikan perintah yang langsung dijawab dengan mulut menganga oleh Bram.
"Ish, yang benar saja Bos. Kita tidak punya alasan yang tepat untuk memecat dia. Terlebih lagi, satu pun tidak ada laporan tentang kecacatan gadis itu dalam bekerja."
"Aku nggak mau tahu, pecat dia! Atau kamu yang saya pecat!"
Bram hanya bisa menepuk keningnya mendengar keegoisan bosnya. Dia segera membawa berkas tersebut menuju bagian HRD. Jika sang raja sudah memberikan titah, maka kacung pun harus segera melaksanakannya.
Tok-tok-tok!
"Masuk!"
Bram membuka pintunya. Dengan langkah tegap penuh wibawa, dia memasuki ruangan HRD.
Pak Sendi kepala bagian HRD seketika terkejut melihat kedatangan orang kedua di ruangannya.
"Tu-Tuan Bram!"
Bram meletakkan amplop coklat di meja HRD.
"Aku ingin kau segera memecat orang yang berada di dalam amplop itu. Dan berikan ini sebagai pesangonnya!" ujar Bram seraya menyerahkan amplop coklat panjang.
Pak Sendi segera meraih amplop besar itu. Matanya terbelalak saat melihat foto Gintani berada dalam amplop itu.
"Ta-Tapi kenapa Tuan?"
Bram hanya menggedikkan bahunya.
"Maaf Tuan, saya harus tahu dulu kesalahan karyawan sebelum memecatnya. Dan kalau saya boleh berpendapat, justru karyawan seperti Gintani yang harus kita pertahankan. Dia gadis yang sangat jujur, baik, pekerja keras, sopan dan juga ramah. Dia juga tidak segan-segan untuk membantu pekerjaan temannya jika pekerjaannya telah selesai.
"Hhhh...."
Bram menghela napasnya sejenak.
"Jika aku adalah bosnya, mungkin aku mau mempertimbangkan pendapatmu. Tapi Tuan Argha? Menurutmu apa yang akan dilakukan oleh Tuan Argha meskipun kamu ungkapkan pendapatmu padanya?"
Pak Sendi menundukkan kepalanya.
"Saya mengerti Tuan! Saya akan melakukan apa yang Tuan perintahkan saat ini juga!"
"Bagus! Bekerja samalah jika kau masih ingin bertahan hidup di sini!" ujar Bram seraya menepuk pelan pundak Pak Sendi.
Setelah kepergian atasannya. Pak Sendi pun segera memanggil Gintani ke ruangannya.
Tak berapa lama, Gintani masuk setelah dipersilakan oleh atasannya.
"Maaf, apa benar Bapak memanggil saya?" tanya Gintani sopan.
Pak Sendi mengangguk. "Duduklah!" ujarnya mempersilakan Gintani duduk di kursi yang berada di depan mejanya.
"Sebelumnya, saya mohon maaf Gintan. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa. Ini, silakan dibaca terlebih dahulu! Saya harap kamu bisa mengerti," ujar pak Sendi dengan perasaan bersalahnya.
"Apa ini, Pak?" tanya Gintani.
Mendapati pertanyaan seperti itu, Pak Sendi masih diam tak bergeming. Sebenarnya, hatinya merasa tidak tega terhadap gadis itu. Tapi dia sendiri tidak mungkin mempertaruhkan pekerjaannya hanya untuk memberikan keadilan pada gadis itu. Bagaimanapun juga, titah penguasa tak akan ada yang bisa menolaknya.
Seketika tangan Gintani gemetar setelah membaca surat yang berisikan tentang pemecatan dirinya.
"Ta-Tapi salah saya apa, Pak?" tanya Gintani dengan suara parau.
Pak Sendi hanya menggelengkan kepalanya.
Gintani mengernyitkan dahinya pertanda tidak mengerti.
"Jika Bapak sendiri tidak tahu letak kesalahan saya di mana, lalu kenapa Bapak bisa memecat saya?" tanya Gintani lirih.
"Maafkan saya Gintan, tapi saya tidak punya pilihan lain," jawab Pak Sendi.
"Ma-Maksud Bapak?" tanya Gintani menuntut penjelasan.
"Sudahlah, Tan! Sebaiknya sekarang kamu kemasi barang-barang kamu! Dan ini...."
Pak Sendi menyerahkan amplop panjang berwarna coklat ke hadapan Gintani.
"Ini adalah pesangon kamu. Saya harap, kamu bisa mempergunakannya dengan baik. Karena setahu saya, karyawan yang dikeluarkan dari sini, pasti akan mengalami kesulitan untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang lainnya."
DEG!
Jantung Gintani seolah berhenti berdetak mendengar penuturan atasannya.
"Ta-Tapi saya harus tahu dulu apa salah saya Pak! Saya tidak akan menerima pemecatan sepihak ini tanpa mengetahui dulu di mana letak kesalahan saya!"
SREKK!
Bersambung....
Mohon dukungannya untuk karya ini yaaa....🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞❤️⃟WᵃfAͬyͧuᷤdͧiaͪℛᵉˣ
Ya Allah gintani yang sabar ya
2022-12-05
0
Senajudifa
kutukan cinta hadir thor
2022-06-13
0
Resti Oktaviani
gila ya, si Argha...
2022-02-04
2