"Akan kupastikan kau akan membayar mahal untuk tamparanmu ini, Nona!" ujar Argha geram.
Gintani berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kuat tangan laki-laki itu. Sebenarnya Gintani merasa sedikit nyeri di pergelangan tangannya, namun dia berusaha untuk tidak menampakkan kelemahannya.
Dengan sekuat tenaga, Gintani menarik tangannya, hingga membuat tubuh Argha tertarik dan menyentuh dadanya.
"Shitt!" umpat Argha. "Dasar wanita mesum!" lanjutnya.
Muka Gintani memerah mendengar hinaan laki-laki yang tak dikenalnya.
"Jaga mulutmu! Atau aku akan melaporkanmu pada polisi atas semua penghinaanmu!" ancam Gintani geram.
"Silakan! Lapor saja! Aku tidak pernah takut dengan yang namanya polisi. Asal kau tahu, polisi di kota ini sudah sangat mengenalku. Hanya dengan satu jentikan jari, aku bisa menjebloskanmu ke penjara atas pasal yang tidak akan pernah terbayangkan dalam ingatanmu!" oceh laki-laki sombong itu.
Gintani semakin mengepalkan tangannya mendengar kesombongan pria yang berada di hadapannya.
"Ada apa ini?"
Seorang pria yang memiliki penampilan yang cukup tenang dan berwibawa, tiba-tiba menghampiri mereka yang tengah berdebat.
"Tu-Tuan Bram!" gumam Alya.
Secepat kilat Alya menarik tangan Gintani. Alya mengenali Bram sebagai orang kedua di perusahaan tempat dia bekerja. Alya kemudian berbisik di telinga Gintani.
"Sudah, Tan! Tidak usah diperpanjang! Kita pulang saja, yuk!" ajak Alya seraya menarik tangan Gintani.
"Sudahlah, kamu nggak usah takut, Al! Aku yang akan menghadapi pria sombong dan arogan itu!" ujar Gintani.
"Tapi, Tan!"
"Ish, Al! Dia harus bertanggung jawab! Dia harus mengganti bajumu yang rusak akibat noda bobba itu!"
"Beneran, Tan !! Sumpah, aku baik-baik aja, kok! Aku nggak marah, lagian, kan dia nggak sengaja. Aku sendiri yang salah, karena minum sambil berjalan."
"Ya, nggak bisa gitu dong Al!"
"Udah deh Tan! Lebih baik, kita pulang aja. Bajunya bisa aku cuci, nanti di rumah."
"Ish, Al! Kamu kenapa sih?"
"Nggak apa-apa. Yuk, pulang!"
Alya pun menarik tangan Gintani hingga Gintani terpaksa berlari kecil untuk mengimbangi langkah Alya.
Tiba di depan lobi mall, Gintani segera menghempaskan tangannya dari cekalan tangan Alya.
"Kamu apa-apaan sih, Al! Ngapain kamu narik aku kaya gitu? Kamu takut sama cowok sombong itu?" tanya Gintani ketus.
"Bukannya gitu, Tan. Tapi tadi Tuan Bram datang," jawab Alya terlihat cemas.
"Tuan Bram? Siapa Tuan Bram?" tanya Gintani mengernyitkan dahinya.
"Ish kamu ini! Emang kamu nggak tahu siapa Tuan Bram?" Alya malah balik bertanya kepada Gintani.
Gintani hanya bisa menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Alya.
"Ah, Gintan-Gintan," ujar Alya seraya menepuk pelan jidatnya.
Gintani hanya mengerucutkan bibirnya melihat tingkah sahabatnya.
"Tuan Bram itu bos kita! Dia orang kedua yang sangat berpengaruh di kantor. Dia itu tangan kanannya CEO kita!" ujar Alya
"Haaah!"
Gintani menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Be-Benarkah?" tanya Gintani tak percaya.
"Iya!" jawab Alya seraya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Terus, memangnya kenapa jika dia tangan kanannya atasan kita?" tanya Gintani masih merasa tak terima Alya menariknya keluar.
"Ish Gintan! Jika Tuan Bram berada di sini, bisa dipastikan bos kita pun berada di sekitar sini," ujar Alya cemas.
"Memangnya kenapa kalau memang dia ada di sini?"
"Dengar, Tan! Bos kita tuh paling tidak suka dengan yang namanya skandal. Jika sampai dia tahu kita beradu mulut dengan cowok itu di depan umum, dan dia mengenali kita, sudah dipastikan besok kita tidak akan pernah bisa masuk kerja lagi di kantornya!"
"Benarkah? Kenapa bisa begitu? Bukankah ini sudah di luar jam kantor?"
"Sudahlah! Memang nggak pernah menang kalau ngomong sama kamu. Kamu mah kayak bocil, banyak nanya!" gerutu Alya.
Gintani hanya bisa tersenyum cengengesan melihat tingkah kesal sahabatnya, Alya.
Tin-tin!
Sebuah mobil mewah tampak berhenti di depan mereka seraya membunyikan klaksonnya. Alya terlihat tersenyum sumringah saat melihat mobil mewah berwarna putih itu. Dia pun segera menghampiri mobil tersebut.
Alya tampak bercakap-cakap sebentar dengan orang yang berada di kursi bagian belakang. Setelah itu, dia kembali menghampiri Gintani.
"Tan, aku pergi dulu ya! Cowokku udah jemput nih. Eh kamu nggak apa-apa, kan, kalau pulang naik taksi?"
"Iya, santai aja kali! Aku bisa, kok, pulang pakai taksi online!" ujar Gintani.
"Sorry ya, Tan!" ujar Alya merasa bersalah karena tidak bisa menemani sahabatnya pulang.
"Ish, udah deh nggak usah baperan gitu! Aku nggak apa-apa, kok. Bersenang-senanglah!" ujar Gintani seraya mendorong pelan tubuh sahabatnya agar segera menghampiri kekasihnya yang sedang menunggu dalam mobil.
"Thanks ya, Tan!" ujar Alya seraya memeluk Gintani.
"Iya, sama-sama. Udah sana! Kasihan, jangan terlalu lama membuat cowokmu menunggu!" ujar Gintani.
Alya melepaskan pelukannya. Dia segera berbalik kembali menuju mobil kekasihnya. Alya membuka pintu belakang mobil sedikit lebar. Sejurus kemudian, dia kembali menutupnya. Alya menurunkan kaca mobil, dia pun melambaikan tangannya ke arah Gintani saat mobil itu melaju pergi.
Gintani sedikit tertegun saat dia melihat lelaki bertubuh sedikit gemuk berada di samping Alya, sahabatnya. Sepintas, Gintani melihat jika lelaki tersebut sedikit telah berumur dibandingkan Alya. Lelaki itu lebih pantas di bilang ayahnya ketimbang pacar sahabatnya. Ah, mungkin dia masih kerabatnya Alya, gumam Gintani tak mau ambil pusing.
Sementara itu, masih di dalam mall Matahari.
Argha masih menggerutu kesal atas kejadian yang menimpanya. Sebuah tamparan yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Bukan, bukan karena tamparan itu sangat keras, tapi karena tamparan itu datang dari seorang wanita dan terjadi di tempat umum.
Seumur-umur, baru kali ini Argha menerima sebuah tamparan. Argha kembali mengepalkan kedua tangannya.
"Sabar Bos!" ujar Bram seraya melingkarkan tangannya di leher Argha.
"Pokoknya, aku nggak mau tahu! Besok, data tentang siapa gadis itu harus sudah berada di mejaku! Kalau masih belum ada, sudah kupastikan kau akan menyesal seumur hidupmu!" ancam Argha kepada asistennya.
"Ish, yang benar saja Bos! Mana bisa dalam waktu semalam aku mendapatkan data seseorang yang sama sekali belum pernah aku kenal. Seminggu saja ya, Bos!" pinta Bram mencoba bernegosiasi.
"Kau memang tak pernah bisa untukku andalkan. Jangankan satu hari, mencari seorang gadis selama 14 tahun pun tak pernah kunjung bisa! Huh, dasar payah!" ledek Argha.
Bram pun hanya bisa merengut kesal terhadap ucapan teman sekaligus bosnya itu.
🍀🍀🍀
Pukul 20.02 Gintani tiba di rumahnya. Keadaan rumah terlihat sangat sepi.
"Assalamualaikum!" sapa Gintani.
Tak ada jawaban.
Tok-tok-tok!
Gintani mengetuk pintu rumahnya, namun masih tetap tidak ada jawaban.
"Assalamualaikum!" Kembali Gintani mengucapkan salam. Kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras.
Ceklek!
Seorang gadis cantik membukakan pintu untuk Gintani. Tiba di ambang pintu, dia menatap tajam ke arah Gintani.
"Abis ngelayap dari mana, kamu?" ujarnya sinis.
Gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah Celine Hadikusumah, sepupunya Gintani.
"Maaf, tadi aku habis ngantar teman," ujar Gintani seraya menundukkan kepalanya.
"Hmmm, bagus ya, udah pinter ngeles sekarang. Bilang aja kamu abis keliaran sama temen nggak bener kamu itu!" ucap Celine lebih ketus.
Gintani hanya memutarkan kedua bola matanya. Dia sudah merasa jengah dengan tuduhan Celine yang tidak-tidak terhadap sahabatnya.
"Maaf, aku lelah, aku ke kamar dulu!" ujar Gintani mencoba menghindari perdebatan dengan sepupunya itu.
"Wajarlah kamu lelah, jangan-jangan kamu juga abis nemenin om-om ya, kayak sobatmu yang bejat itu?" tuduh Celine semakin tak berarah.
"Hhh...."
Gintani hanya menghela napasnya, setelah itu dia pun meninggalkan Celine yang masih meracau kesal.
Sudah menjadi suatu kebiasaan Gintani untuk menyapa kakek Wira sebelum dia ke kamarnya.
Tok-tok-tok!
"Assalamualaikum, Kakek! Apa Kakek sudah tidur?" sapa Gintani seraya mengetuk pintu kamar kakeknya.
"Assalamualaikum! Kek, Gintan bawakan Kakek martabak. Apa Gintan boleh masuk?"
Sepi....
Kembali Gintani menghela napasnya. Dia pun melangkahkan kakinya menuju kamar belakang. Ya! Kamar Gintani terletak di belakang rumahnya, berdampingan dengan kamar pembantu yang ada di rumah ini.
Saat Gintani hendak membuka pintu kamarnya, tiba-tiba Mbok Inem keluar dari kamarnya.
"Loh, Non Gintan sudah pulang? Si Mbok pikir, Non mau menginap di rumah sakit," ujar Mbok Inem.
"Rumah sakit?" tanya Gintani heran, tiba-tiba dia teringat akan kakeknya. "A-Apa kakek masuk rumah sakit, Mbok?" tanya Gintani mulai merasa cemas.
"Iya Non, tadi sore tuan besar kembali ke rumah sakit. Penyakit beliau kembali kambuh, Non," ujar Mbok Inem.
"Astaghfirullah hal adzim! Kenapa Mbok tidak memberi tahu saya?" Gintani mulai terlihat panik.
"Maaf, Non! Si Mbok sudah coba menghubungi Non, tapi nomor telepon Non tidak aktif," ujar Mbok Inem.
Gintani segera merogoh ponselnya di dalam tas selempangnya. Mati! Pantas saja aku tidak mendengar ponselku berbunyi, batin Gintani.
"Lalu, sekarang bagaimana keadaan kakek, Mbok?" tanya Gintani.
"Si Mbok kurang tahu, Non. Tapi, sampai sekarang tuan dan nyonya belum pulang juga," jawab Mbok Inem.
"Rumah sakit mana, Mbok?" tanya Gintani lagi.
"Yang kemarin tuan besar di rawat, Non. Aduh, si Mbok lupa lagi nama rumah sakitnya," jawab si Mbok sambil mengerutkan keningnya.
"Rumah sakit Harapan. Aku harus segera ke sana," gumam Gintani.
"Mbok, Gintan pergi dulu, ya!"
"I-Iya, Non! Hati-hati!"
Gintani tersenyum, setelah itu dia pun segera berlari keluar untuk memesan taksi. 10 menit kemudian, taksi online yang telah dipesannya via aplikasi di ponselnya, tiba di halaman rumah Gintani.
Gintani segera menghambur ke arah taksinya. Dia segera membuka pintu belakang taksinya.
"Tolong antarkan saya ke rumah sakit Harapan ya, Pak!" pinta Gintani setelah memasuki taksi online tersebut.
"Baik, Non!" jawab sopir taksi seraya menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya.
Gintani semakin merasa cemas memikirkan kondisi kakeknya. Terakhir kakeknya masuk rumah sakit, sebulan yang lalu.
"Gintan mohon kek, bertahanlah!" gumam Gintani. Tanpa terasa, air mata mulai menetes di kedua pipinya.
Setengah jam kemudian, mobil yang ditumpangi Gintani tiba di rumah sakit Harapan. Gintani segera membayar ongkos taksinya, setelah itu dia berlari memasuki lobi rumah sakit untuk menanyakan keberadaan kakeknya.
"Tuan Wira di rawat di ruang Dahlia kamar 05," jawab perawat bagian administrasi.
"Terima kasih, Mbak!"
Gintani segera berlari kecil menuju ruangan yang tadi disebutkan oleh perawat. Setelah tiba di pintu kamar, Gintani berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.
Tok-tok-tok!
"Assalamualaikum!"
Gintani mengetuk pelan pintu kamar seraya mengucapkan salam.
Ceklek!
Karena tidak mendapatkan jawaban, Gintani pun membuka pintu ruangan dengan perlahan. Tampak di sana, paman dan bibinya sedang duduk di sofa menunggui sang kakek.
"Akhirnya kamu datang juga," ujar ketus bibinya menyambut kedatangan Gintani.
"Ma-Maaf. Gi-Gintan baru tahu jika kakek masuk rumah sakit," ujar Gintani terbata.
Bi Shella menghampiri Gintani. "Sini kamu!" ujarnya seraya menarik kasar tangan Gintani.
Bibi Shella membawa Gintani ke sudut kamar.
"Dari mana kamu seharian ini, heh?" tanyanya geram.
"Gi-Gintan ke-kerja, Bi!" jawab Gintani gugup ketakutan.
"Kerja? Pekerjaan seperti apa yang kamu jalani hingga sampai pulang jam segini? Jual diri?" teriak Bibi Shella.
"Astaghfirullah, Bi!" ucap Gintani beristighfar seraya memegang dadanya.
"Udah deh, nggak usah sok suci! Kamu pasti kelayapan lagi, kan, sama si Alya, cewek simpanan om-om itu!" tuduh Bibi Shella.
"Gintan memang pergi dengan Alya, Bi. Tapi Gintan nggak kelayapan! Gintan hanya menemani Alya untuk membeli baju, dan Alya tidak seperti yang Bibi tuduhkan. Dia gadis baik-baik, Bi!" ujar Gintani mencoba membela sahabatnya.
"Terserah kamu saja! Bibi capek! Bibi dan pamanmu mau pulang. Sekarang, kau tunggui kakekmu yang tidak berguna itu!" ujar Bibi Shella.
Gintani hanya bisa mengepalkan kedua tangannya saat bibinya kembali menghina kakeknya. Gintani tidak mengerti dengan kebencian yang tertanam di hati bibi Shella kepada sang kakek. Padahal, kakek Wira adalah ayah kandung dari paman Arman, suaminya bibi Shella. Itu artinya, kakek Wira adalah mertuanya bibi Shella. Tapi sikap bibi Shella tidak pernah mencerminkan rasa hormatnya sebagai seorang menantu kepada mertuanya.
Setelah berbicara kasar kepada Gintani, bibi Shella menarik tangan suaminya untuk segera meninggalkan ruang rawat kakek Wira.
Gintani mendekati kakeknya yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Wajah kurus dan keriput kakeknya semakin terlihat jelas. Gintani memegang tangan kakeknya.
"Maafin Gintan, Kek! Sampai detik ini, Gintan belum punya uang untuk membiayai pengobatan Kakek. Kakek yang sabar ya, insyaallah Gintan akan selalu berusaha untuk kesembuhan Kakek. Gintan mohon, Kakek harus kuat! Gintan janji, Gintan akan segera mencari uangnya, Kek. Supaya operasi pancangkokan ginjal bisa segera dilakukan, dan Kakek bisa kembali sehat seperti semula," ujar Gintani seraya mengusap lembut punggung tangan kakeknya.
Sudah hampir 6 bulan, kakek Wira mengalami sakit gagal ginjal. Setiap bulannya, kakek Wira harus melakukan cuci darah untuk bisa bertahan hidup. Sebenarnya, sudah ada beberapa donor ginjal yang cocok untuk menolong kakek Wira. Namun sayangnya, pihak keluarga menyatakan keberatan jika kakek Wira menjalani operasi pencangkokan ginjal. Mereka bilang, mereka tidak mempunyai cukup biaya untuk melakukan operasi tersebut.
Sebenarnya, Gintani merasa kesal dengan sikap paman Arman yang seolah tidak ingin berusaha untuk kesembuhan ayahnya sendiri. Tapi Gintani tak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri tidak punya banyak uang untuk membantu menyembuhkan penyakit kakeknya.
Gintani merasa lelah. Dia kemudian menundukkan kepalanya di atas kasur di samping kakeknya. Tanpa menunggu waktu lama, dia pun mulai masuk ke alam mimpinya.
Bersambung....
Jangan lupa like vote n komennya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Senajudifa
kutukan cinta mampir
2022-06-05
0
Resti Oktaviani
paman dan bibinya sayang nggak, sih sama si gintan
2022-02-04
1
madu surya sugema
eit dah, bibi shella...
2021-12-25
6