Penyesalan

Hari ini, Nia dan murid baru mengikuti kegiatan mahasiswa baru. Semua murid baru di suruh berdandan ala mahasiswa jaman dulu.

Nia mengepang dua rambutnya, mengenakan kaca mata bulat yang lumayan besar dengan warna yang agak sedikit gelap.

Kegiatan orientasi mahasiswa baru diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti pengenalan kampus, organisasi kampus, bakti sosial dan di tutup dengan kegiatan hiburan.

Nia yang penampilannya biasa saja, memang tidak banyak menarik perhatian, tetapi timnya selalu menjadi pusat perhatian karena selalu memenangkan perlombaan yang di adakan, itu dikarenakan di tim mereka Nia yang pintar menganalisa dan menemukan solusi, serta ada Dara yang cantik dan pintar sekali berbicara, karena memang mengambil jurusan Public Relation.

"Nia, kita nampilin apa buat hiburan besok?" Tanya Dara.

"Teater lingkungan aja. Kan lumayan ada edukasi dan hiburan juga. Ntar aku kasih konsepnya sejam lagi." Kata Nia yang sedang mengetik di laptopnya, yang merupakan hadiah dari Sean waktu Nia ulang tahun yang ke 17.

"Ok. Aku tunggu ya. Ntar kirim aja ke WA group." Kata Dara lalu meninggalkan Nia yang sedang sibuk membuat konsep untuk penampilan groupnya.

Setelah selesai membuat konsep pertunjukan yang akan mereka tampilkan, Nia segera mengirim ke group WA kelompoknya, dan semua anggota kelompok serta mentor langsung menyetujui konsep yang dibuat Nia, karena sudah lengkap dengan pembagian tugasnya, sehingga mereka semua tau apa yang dilakukan.

Penampilan yang sempurna dari kelompok Nia, membuat mereka kembali memenangkan perlombaan yang diadakan sehingga kelompok mereka menjadi juara umum untuk event mahasiswa baru.

Pembawa acara memanggil semua anggota kelompok Nia untuk menyerahkan hadiah, dan Nia terkejut, melihat seorang pria yang didampingi oleh dekannya. Pria yang masih terlihat gagah dan tampan walaupun sudah berumur.

Nia menundukkan wajahnya ketika pria itu berdiri tepat dihadapannya sambil mengulurkan tangannya. Dengan ragu-ragu, Nia menerima uluran tangan pria itu.

"Selamat ya nak." Kata pria itu sambil tersenyum ramah. Nia yang masih menunduk, membuat dekan yang berdiri di sebelah pria itu berdehem, sehingga Nia mengangkat wajahnya.

"Terimakasih" Ucap Nia pelan sambil berusaha menahan air matanya.

Pria itu agak terkejut melihat mata bulat Nia dengan alis mata dan bulu mata yang panjang dan lentik, serta dagu yang memiliki belahan, mirip sepertinya.

Pria itu terus memandang dan menggenggam tangan Nia, seolah-olah tidak ingin melepaskan tangan Nia, bahkan ingin memeluk Nia.

"Siapa nama kamu nak?" Tanya pria itu masih menatap Nia.

"Nia pak." Jawab Nia pelan

"Oh.." Kata Pria itu lalu melepaskan jabatan tangannya dan segera memberikan ucapan selamat kepada anggota yang lain.

Begitu turun dari panggung, pria itu terus saja memperhatikan gerak gerik Nia. Tidak tahu kenapa, ia merasa kenal dengan Nia.

"Pak Bian masih mau menunggu acara selesai?" Tanya dekan itu ramah.

"Tidak pak. Saya harus balik ke kantor. Siang nanti saya harus ketemu klien. Saya permisi dulu" Kata Bian, lalu segera pergi meninggalkan dekan yang masih duduk di bangku khusus VIP menikmati acara penyambutan mahasiswa baru.

Ya.. pria yang tadi mengucapkan selamat adalah Bian, papa kandung Nia. Pria yang sudah mengusir Nia dan ibunya. Tapi seperti janji Nia pada Ibunya, dia tidak akan mencari atau mengganggu keluarga papanya.

Bian terus saja memikirkan Nia. Entah kenapa Bian merasakan perasaan nyaman ketika menggenggam tangan Nia, dan perasaan rindu ketika mengingat wajah Nia.

"Erik, tolong cari tahu tentang anak perempuan kedua yang saya salami tadi. Kamu merasa dia mirip saya nggak sih?" Tanya Bian pada asisten pribadinya.

"Maaf pak, tadi saya tidak perhatikan, tapi saya akan mendapatkan informasinya secepatnya." Kata Erik.

"Saya tunggu." Kata Bian lagi.

Tidak perlu menunggu waktu lama, Bian yang baru selesai menemui klien segera mendapatkan informasi yang diinginkannya. Dan betapa terkejutnya Bian ketika membaca profile yang baru diserahkan Erik, membuat Erik heran ketika melihat ekspresi terkejut atasannya, kemudian menampakkan wajah sedih.

"Ada apa pak? Apa ada yang salah?" Tanya Erik panik.

"Apakah kamu bisa membantu saya lagi?" Tanya Bian yang masih memandang profile Nia.

"Tentu saja pak." Jawab Erik karena Ia memang asisten pribadi yang dapat diandalkan Bian dalam kebersamaan mereka 5 tahun ini.

"Tolong kamu dapatkan rambut anak perempuan itu, dan lakukan tes DNA dengan rambut saya." Kata Bian sambil menyerahkan selembar rambutnya kepada Erik.

"Maksud bapak?" Tanya Erik bingung.

"Bukankah putri bapak mbak Elsa? Apakah bapak curiga kalau mbak Elsa tertukar?" Tanya Erik bingung, karena Erik memang tidak mengetahui kehidupan Bian sebelumnya.

"Kamu perhatikan foto ini baik-baik." Perintah Bian sambil menyerahkan profile Nia.

"Dia memiliki banyak kemiripan dengan saya kan? alis mata, mata, termasuk dagunya." Kata Bian lagi yang membuat Erik langsung memastikan kemiripan Bian dengan Nia.

"Bapak benar. Tapi mbak Elsa juga mirip dengan bapak. Nggak mungkin tertukar kayaknya pak." Kata Erik lagi.

"Tidak tertukar. Tapi saya rasa dia adalah putri saya dari istri pertama saya. Kebodohan yang saya sesali selama bertahun-tahun." Terang Bian dengan wajah sedih yang membuat Erik terkejut, ternyata Bian punya dua istri.

Bian sangat percaya dengan Erik, lalu menceritakan masa lalunya kepada Erik, yang membuat Erik paham.

"Baik pak, saya akan segera melakukan tes DNA, dan mendapatkan hasilnya secepatnya." Kata Erik.

"Tapi jangan sampai Elsa atau istri saya tahu. Kamu tahu kan bagaimana watak mereka." Kata Bian lagi.

"Baik pak. Saya akan melakukannya dengan rapi dan tidak akan ada yang tahu, kecuali saya dan bapak." Kata Erik yakin, lalu permisi meninggalkan ruangan Bian.

Bian memandangi photo Nia dengan wajah yang penuh kerinduan. Bian menyesali perbuatannya yang dulu mengusir Lily dan putrinya, karena Bian termakan hasutan istri keduanya, kalau anak Lily bukanlah anaknya, tapi anak dari selingkuhan Lily.

Bertahun-tahun Bian mencari Lily, tapi seolah-olah Lily ditelan bumi. Sekeras apapun Bian berusaha mencari jejak Lily, tapi tetap tidak pernah menemukannya. Sekarang Tuhan sedang berbaik hati, Bian tidak sengaja bertemu dengan anak Lily, anak yang dicurigai bukan darah dagingnya, tapi memiliki begitu banyak kemiripan dengan Bian, kecuali kulit putihnya. Karena Bian memiliki warna kulit yang gelap.

Setelah menunggu selama dua hari, akhirnya Erik mendapatkan hasil tes DNA Nia dan Bian. Erik melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan rambut Nia, tanpa diketahui oleh Nia.

"Ini hasil tesnya pak." Kata Erik sambil menyerahkan amplop berlogo salah satu rumah sakit ternama di kota P.

Bian mengambil amplop tersebut, dan segera memeriksa hasilnya. Setelah membaca dengan seksama hasil tes DNA tersebut, Bian tidak bisa menahan air matanya, karena kebodohannya, dia telah menelantarkan orang yang dicintai dan juga menelantarkan anak kandungnya.

"Bapak baik-baik saja?" Tanya Erik agak panik, karena baru sekali ini Erik melihat Bian menangis.

"Saya suami yang bodoh Rik, papa yang jahat, sudah menelantarkan darah daging saya sendiri." Kata Bian sedih.

"Antar saya ke kampus Rik, saya harus minta maaf, dan membawa istri pertama saya kembali." Kata Bian sambil menyeka air matanya.

"Apakah nona Ghania nanti tidak terkejut pak?" Tanya Erik yang membuat Bian terduduk lemas dikursinya, membenarkan perkataan Erik. Anaknya pasti membencinya karena sudah menelantarkan ia dan ibunya.

"Apa yang harus saya lakukan?" Tanya Bian kepada Erik.

"Bapak dekati pelan-pelan. Jangan langsung menemui nona Ghania, saya takut kalau nona Ghania membenci bapak, dia akan pergi lagi meninggalkan bapak." Kata Erik.

"Kamu atur, bagaimana caranya agar Ghania mau menerima saya." Kata Bian pasrah.

Erik segera mencari informasi tentang Nia. Nia yang tertutup dan tidak memiliki banyak teman, membuat Erik agak kesulitan mendapatkan informasi.

Kemudian Erik mengetahui kalau Nia dekat dengan ibu pengurus asrama, dan Erik dulunya juga adalah penghuni asrama yang juga akrab dengan bu Yuni.

Erik meminta bantuan bu Yuni, untuk mencari informasi tentang hubungan Nia dan papanya.

"Maaf ya Ni, ibuk sering lihat kamu telponan dengan ibu kamu, tapi tidak dengan ayah kamu. Maaf kalau ibu lancang." Kata bu Yuni ramah.

"Nggak bu. Nggak apa-apa. Nia memang dari bayi tinggal sama Ibuk, karena ayah sudah punya keluarga baru." Kata Nia sambil tersenyum getir.

"Oh. Maaf." Kata bu Yuni merasa bersalah.

"Kamu benci ayah kamu dong kalau begitu?" Tanya bu Yuni lagi.

"Nggak. Nia nggak benci Ayah. Ibuk nggak pernah ngajarin Nia untuk benci Ayah. Ibuk bilang kalau suatu hari nanti Nia ketemu ayah, Nia harus tetap hormatin ayah dan keluarga baru Ayah." Terang Nia yang mengingat betul nasehat ibu nya.

"Wah. ibu kamu orang baik banget. Kalau ibu, nggak sanggup seperti itu." Kata bu Yuni lagi.

"Makanya Nia kagum banget dengan Ibuk. Ibuk nggak pernah cerita hal jelek tentang Ayah. Ibuk bilang, sudah takdir kami harus terpisah dari ayah. Kalau kami ikhlas, kami bisa menjalani hidup dengan bahagia." Kata Nia sambil tersenyum, yang membuat bu Yuni kagum dengan Nia dan ibunya.

"Kamu pernah ketemu ayah kamu?" Tanya bu Yuni lagi.

"Pernah. Sekali." Jawab Nia yang kembali tersenyum getir mengingat pertemuannya dengan Bian sewaktu di panggung, karena Nia tahu kalau pria yang memberikannya ucapan selamat adalah Bian, papa yang sudah membuangnya.

"Waktu kamu kecil?" Tanya bu Yuni lagi, jadi kepo.

"Belum lama, waktu acara kampus." Jawab Nia.

"Trus reaksi kamu gimana?" Tanya bu Yuni lagi semakin penasaran.

"Sedih sih. Tapi Nia ingat pesan Ibuk, jangan ganggu ayah dan keluarganya. Jadinya Nia diam aja." Jawab Nia polos.

"Aduh.. kok masih ada sih orang-orang berhati malaikat seperti kamu dan ibuk mu. Kalau Ibuk jadi ibuk kamu, ibuk suruh anak ibu benci ayahnya, trus ibuk suruh juga ganggu keluarga barunya, bagaimanapun kan mereka yang merebut keluarga kamu." Kata bu Yuni berapi-api.

"Amarah, dendam, dan perasaan benci hanya membuat kita tidak bahagia. Nia sama ibuk ingin tetap bahagia walaupun tanpa ayah. Makanya Nia dan Ibuk berusaha ikhlas. Dan ternyata kalau ikhlas, hidup Nia dan Ibuk bahagia walau tanpa ayah." Terang Nia lagi, yang membuat buk Yuni tidak bisa berkata apa-apa, malah memeluk Nia sambil mengusap rambut panjang Nia sepunggung.

Nia tidak tahu, kalau percakapannya dengan buk Yuni sedang di rekam bu Yuni karena permintaan Erik.

Bu Yuni segera mengirim hasil rekaman percakapan nya dengan Nia ke Erik.

Erik dan Bian yang kebetulan sedang lembur bersama beberapa karyawan untuk mempersiapkan proyek pembangunan mall terbesar di distrik R, segera memberitahukan Bian, rekaman percakapan bu Yuni dan Nia.

Bian mendengarkan rekaman itu dengan seksama yang membuat dirinya semakin merasa bersalah. Orang-orang yang ditelantarkan, tidak sedikitpun membencinya, bahkan tidak ingin mengusik kehidupannya dengan keluarga barunya.

"Tolong aturkan pertemuan saya dengan Nia secepatnya Rik. Saya ingin memeluk anak saya dan meminta maaf. Saya papa yang zalim." ucap Bian dengan suara bergetar menahan tangis dan penyesalan.

Erik yang memang selalu ingin menjadi asisten pribadi yang dapat diandalkan, segera mengatur pertemuan Nia dan Bian. Dengan alasan kegiatan organisasi kampus yang kebetulan Nia menjadi anggota tim pencari dana, karena organisasi mereka akan mengadakan event tahunan.

"Bisakah kamu datang sendiri saja Nia? langsung bawa proposalnya dan nanti akan langsung ditandatangani oleh pihak perusahaan." Kata Erik melalui sambungan telpon.

"Eh, kenapa harus sendiri kak? berdua tidak boleh?" Tanya Nia curiga kalau pihak perusahaan yang akan menjadi sponsor memiliki niat jahat.

"Kakak tidak bermaksud jahat. Hanya saja orang yang nantinya akan menandatangani proposal kamu tidak suka keramaian" Terang Erik lagi.

"Ok. Di restoran KS jam 11, InshAllah saya sudah sampai sana. Terimakasih kak Erik." Kata Nia ramah, karena Nia yakin Erik orang baik, karena bu Yuni bilang Erik orang yang baik.

Keesokan harinya, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, tepat jam 11, Nia sudah sampai di restoran KS.

"Ada yang bisa saya bantu nona?" Tanya salah satu pelayan restoran ramah.

"Saya mau ke meja atas nama bapak Erik." Kata Nia yang juga ramah.

"Oh, pak Erik. Baik nona, akan saya antarkan." Kata pelayan itu lalu berjalan mendahului Vanila.

Vanila mengikuti pelayan itu ke lantai dua restoran yang memang dengan konsep terbuka. Walaupun privat, tapi orang yang berada di bawah tetap bisa melihat ke atas, sehingga Nia tidak takut, kalau nanti ternyata orang yang ditemuinya, akan berbuat jahat.

"Silahkan nona. Tuan Erik sepertinya belum datang, apakah ada yang nona inginkan?"Tanya pelayan itu lagi masih dengan etika kesopanan pelayan, sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) perusahaan.

"Saya mau pesan Matcha iced milk satu, less sugar. Terimakasih." Kata Nia, karena Nia sudah beberapa kali ke restoran itu di ajak seniornya yang ada di asrama.

"Baik nona. mohon di tunggu sebentar. Saya permisi dulu." Kata pelayan itu ramah.

Tidak lama kemudian pelayan itu datang membawa pesanan Nia bersama seorang pria yang cukup tampan, dengan dandanan rapi, yang sudah Nia kenal.

"Kamu sudah lama Nia?" Tanya Erik ramah, karena sebelumnya mereka pernah bertemu, sewaktu bu Yuni memperkenalkan erik.

"Baru aja kok kak, sekitar 10 menitan. Kakak yang tanda tangan proposalnya?" Tanya Nia karena ia hanya melihat Erik saja.

"Ini nona, tuan, minumannya. Saya permisi dulu." Kata pelayan itu lalu pergi setelah meletakkan tiga gelas minuman yang berbeda. Matcha iced milk untuk Nia, lemon tea milik Erik, serta secangkir hot matcha yang nggak tahu punya siapa.

"Nggak. Sebentar lagi bos kakak datang. Kamu bagaimana kuliahnya?" Tanya Erik basa basi.

"Kakak basa basi banget, masih baru beberapa hari ini kuliah, ya masih biasa aja sih kak, kakak pernah kuliah di sana juga kan?" Tanya Nia sambil sedikit tertawa, yang membuat Erik jadi sedikit salah tingkah karena ketahuan basa basi.

"Iya sih. Hehehe. Oh iya, kamu udah ketemu pak Oscar?" Tanya Erik lagi, ketika mengingat salah satu dosen kiler yang mengajar mata kuliah dasar.

"Pak Oscar yang katanya galak?" tanya Nia memastikan.

"Iya, yang kumisnya tebal, badan bapaknya bulat." Kata Erik lagi menjelaskan ciri-ciri fisik pak Oscar.

"Ih kakak body shaming, ntar aku aduin pak Oscar ah." Kata Nia sambil tertawa.

"Eh, jangan dong Nia, kakak kan cuma menyampaikan ciri-cirinya saja biar kita nggak salah orang." Kata Erik.

"Udah. Tapi beliau baik kok. Nggak galak." Kata Nia lagi yang membuat Erik heran, karena setahu Erik pak Oscar adalah salah satu dosen killer di tempat Nia kuliah.

"Masa sih?" Tanya Erik heran.

"Aku tuh udah ketemu pak Oscar sebelum masuk kuliah. Kan aku datang lebih awal tuh sebelum jadwal kuliah, jadi aku sering ke perpustakaan, kebetulan waktu itu pak Oscar datang ke perpus cari buku untuk referensi penelitiannya, kebetulan buku yang pak Oscar mau sudah selesai aku baca, jadi aku serahkan ke pak Oscar. Aku juga bantuin pak Oscar untuk membuat resume buku itu. Makanya pak Oscar nggak galak sama aku." Cerita Nia panjang lebar, yang membuat Erik memperhatikan Nia ketika berbicara, dan tidak tahu kenapa, walaupun penampilan Nia terbilang biasa saja karena dandanannya yang memang tidak modis, membuat Erik tertarik dan suka ngobrol lama-lama dengan Nia. Nia selalu nyambung untuk ngobrolin apa saja, padahal Nia anak sekolah yang baru tamat dan menginjak bangku kuliah, tapi wawasan dan pengetahuannya sangat banyak terutama untuk bidang bisnis.

"Emang buah nggak jauh jatuh dari pohonnya." gumam Erik karena cara Nia bercerita, persis ketika Bian menceritakan sesuatu yang disukainya.

"Kenapa kak?" Tanya Nia yang tidak begitu jelas mendengar gumaman Erik.

"Nggak ada. Tadi kakak cuma bilang kamu hebat, bisa naklukin pak Oscar." Kata Erik sambil tersenyum.

Lalu Erik berdiri karena melihat Bian yang sudah datang, dan Nia juga ikutan berdiri lalu memutar tubuhnya, karena Nia duduk membelakangi jalan masuk.

Nia melihat Bian, lalu panik, dan bermaksud pergi meninggalkan kursi yang tadi ia duduki, namun Erik segera mencegah Nia pergi dengan memegang tangannya.

"Jangan lari Nia. Kamu tahu siapa beliau kan?" tanya Erik agar Nia tenang.

Bian yang sudah tidak sabar lagi, langsung memeluk Nia yang hanya diam saja seperti patung, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Maafin papa Nia. Maafin papa." Kata Bian dengan suara terisak sambil memeluk Nia erat dan membenamkan wajah Nia ke dada bidang Bian, karena memang tinggi Nia hanya sebahu Bian.

Terpopuler

Comments

Xyylva Xyylva

Xyylva Xyylva

kenapa mudah sekali bian dapat maaf thor.gak ada manusia sebaik itu thor apalagi di kasih kesakitan paling dalam

2022-08-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!