Mendadak Mella datang dan langsung merangkul seraya mengagetkanku.
"Mbaaakk!!" teriaknya di pinggir telinga membuatku sakit.
"Kenapa sih teriak-teriak!" Aku melepaskan rangkulannya.
Matanya tertuju pada sebuah piring di depan kursiku.
"Mbak, Nyi Roro kidul doyan nasi kuning ya?" celetuk Mella yang tak menoleh dari piring itu.
Aku memukul kepalanya pakai sendok. "Nyi Roro kidul kepalamu, udah sana cepat makan!" bentakku padanya.
"La itu nasi buat siapa?"
"Buat aku lah, mau makan dua piring," ucapku seraya menarik piring nasi Radit.
"Dasar serakah!" ucapnya pergi meninggalkanku.
"Oh syukurlah," gumamku menghela nafas karena Mella tak bertanya lebih lanjut.
Saat makan malam, kami sekeluargaku biasa makan bersama dan berbincang-bincang agar kebersamaan kami tetap terjaga.
"Mak, mulai besok bisa bikinin aku bekal sekolah nggak, Mak?" tanyaku tiba-tiba memecahkan keheningan malam itu.
"Bekal sekolah!" Ibuku menatap dengan bingung.
Mella tertawa. "Yaa! udah kayak anak TK aja mbak pakai bawa bekal segala," ejeknya.
"Biarin! suka-suka aku napa!" Aku melirik gadis berambut pendek itu.
"Terus Mamak harus bangun pagi no Ndok," ujar wanita itu lirih.
"Iya Mak! bikin sarapan yang biasa aja ya, menunya telur, rendang, gulai atau sate gitu," ucapku tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Eh Mbak, di mana-mana yang namanya rendang, gulai, sate itu menu sapisial Mbak, anak kecil juga tau, kalau menu biasa itu nasi ama tempe aja udah," ucap Mella dan menyendok nasi di piring lalu memakannya.
"Berisik kamu Mel, kupukul ntar!" Aku sudah siap mengambil sendok dan ingin memukulnya.
"Udah-udah, ini kan waktunya makan, kok malah berantem sih," ujar pria berumur 58 tahun itu yang sering kupanggil dengan sebutan Bapak.
"Ini nih Pak, Mbak tu selalu pakai kekerasan," rengek Mella.
"Habisnya kamu nggak mau diem sih," bantahku.
"Nessa, Mella, udah berantemnya, ini nanti tumpah semua makanannya, Sa, biar besok Mamak bikinin bekal buat kamu, tapi lauknya Mamak yang pilih ya."
"Siap Mak." Aku tersenyum menatap wanita itu.
Di kamar saat aku tertidur pulas. Radit bilang ia tidak biasa tidur, dia lebih sering bertapa seperti orang sakti lainnya. Maka aku tak menghiraukannya, ia hanya meminta segelas air putih untuk menemaninya berjaga di malam hari.
Ia duduk di samping ranjangku seraya bersila. Ia menggerak-gerakkan tangannya lalu muncul cahaya berwarna kuning dan langsung masuk ke dalam gelas berisi air itu. Tiba-tiba air itu memunculkan sebuah peristiwa layaknya TV. Di sana duduklah seorang wanita yang cantik rupawan, wanita itu berpakaian seperti dayang dengan adat Jawa. Ia terlihat murung dan ditemani para abdi yang berada di sekitarnya.
"Ndoro Putri, ayo makan dulu, sudah berhari-hari Ndoro tidak makan, nanti jatuh sakit," ujar salah satu abdinya yang selalu memakai kemben itu.
"Aku kangen Radit, Mbok, gimana keadaannya sekarang? "tangis wanita cantik itu memecah tatkala membahas putra semata wayangnya itu.
"Ndoro Putri jangan bahas itu ya, nanti kalau kedengaran Den Romo, bisa kena marah," ucap Mbok Turi seraya melihat sekeliling.
Mendadak rombongan para abdi dan pengawal datang. Seorang pria yang bermahkota emas datang menghampiri wanita cantik itu. Gayatri nama wanita cantik itu, ia langsung membuang muka tak menyambut kedatangan pria itu.
"Masih tidak mau makan kamu?" ucap pria yang berstatus Raja itu.
"Aku ingin bertemu Radit, anakku!" bentaknya dan melotot pada Mahendra nama pria itu.
"Masih untung aku tidak membunuhnya, kalau sampai aku melihatnya datang ke sini lagi, aku tidak akan mengampuninya," ucap Mahendra dengan lantang.
"Lalu di mana dia sekarang?" tanya Gayatri.
"Mungkin sekarang dia sudah keluar dari botol itu, tapi tetap saja kutukan itu akan segera membunuhnya," sahut Mahendra.
"Kenapa kamu melakukan itu pada kami, apa salah kami padamu," isak Gayatri.
Mahendra berpaling dan berbisik padanya. "Aku tidak akan membiarkan anakmu itu menjadi raja di dunia ini."
"Kamu!" Suara wanita cantik itu berhenti tak ingin membuat pria di depannya emosi.
"Makan itu jika kamu tak ingin mati dan masih ingin bertemu dengan anak kesayanganmu!" bentak pria itu dan meninggalkan Gayatri yang masih menangis karena kehilangan anaknya.
Radit ikut menangis menutup mulutnya tak ingin aku mendengarnya, takut aku terbangun nanti. Ia begitu rindu pada ibunya yang selalu dipanggil dengan sebutan Biyung itu.
Radit pergi ke sebuah hutan belantara. Pria itu berjalan menyusuri pepohonan yang runcing dan berduri, tubuhnya penuh luka. Ia berdiri tepat di depan sebuah cahaya putih seperti air bergelombang. Cahaya itulah yang menghubungkan dunia manusia dengan dunianya. Ia ingin masuk ke sana tapi cahaya itu mementalkan tubuhnya, seolah tak mengijinkan pria itu masuk.
Tidak sembarang orang bisa masuk ke dunia itu. Radit sudah kehilangan cincin pemberian ayahnya, cincin itu yang bisa menuntunnya masuk ke dunia itu lagi.
Ia akhirnya kembali ke rumahku.
Aku terbangun di tengah malam dan melihat baju Radit penuh lumpur. "Radit kamu darimana aja! kok kotor gini?"
Radit diam dan tak ingin mengatakan apapun. Aku memakluminya, aku keluar dan mengambil beberapa pakaian kakak laki-lakiku yang sudah berkeluarga yang tidak tinggal bersama kami.
"Kurasa ukurannya pas denganmu, pakailah ini untuk sementara," ucapku seraya memberikan baju itu kepadanya.
Ia langsung membuka bajunya tanpa malu ada aku di situ. Aku langsung berbalik badan. "Duh sopannya, harusnya kan nunggu aku keluar dulu." Aku sempat melihat tangan dan kakinya yang terluka, aku pergi mengambil beberapa obat. Setelah aku kembali Radit sudah mengganti baju dan celananya.
"Sini," panggilku padanya, pria itu perlahan berjalan mendekatiku.
"Entah ke mana kamu pergi, katanya sakti, tapi kok bisa berdarah juga," ucapku seraya membubuhi Betadine ke tangan dan kaki pria itu.
"Aku kan juga manusia, jadi wajar bisa terluka," ucapnya lirih.
"Iya-iya, uwahhh." Aku menguap. "Aku ngantuk, aku bobok dulu ya."
"Iya, makasih udah bantu ngobatin lukaku," ujar pria itu.
Aku mengangguk dan naik ke ranjang untuk tidur lagi.
Pagi harinya ibuku sudah menyiapkan nasi bungkus di atas meja, aku langsung menyabetnya dan mengendarai motorku. Kami berdua mampir di sebuah taman dekat sekolahan, aku duduk di bangku kayu bersama Radit.
"Nih makan, cepetan ya, keburu telat aku," ucapku seraya memberikan sebungkus nasi itu untuknya.
Radit langsung mengambilnya dan membuka bungkusan itu. Bau harum telur dadar dan kering tempe bercampur terong yang diberi kuah sedikit kental, membuat pria berhidung mancung itu makan dengan lahap. Aku hanya melonggo melihat pria itu makan dengan lahap.
(Sebenarnya aku nyuruh Mamak nambahin nasi biar bisa dimakan berdua, tapi kayaknya ludes deh) ucapku dalam hati.
Radit mendengar suara hatiku. "Buka mulutmu?" pintanya seraya menatapku.
"Kenapa?" Aku bingung.
"Udah buka aja!" pintanya.
Aku membuka mulutku. Seketika Radit menyuapiku makan. "Enak kan?" ucapnya tersenyum manis padaku.
Aku mengunyah nasi yang ada di mulutku. "Udah makan aja, aku bisa beli nanti di kantin, ngelihat kamu makan bikin aku kenyang."
"Sekali lagi ackkk," ucapnya melayangkan sendok nasi kepadaku, aku pun terpaksa memakannya.
Di kelas. Aku dan teman-temanku berbincang. "Eh Sa, ingat nggak ntar sore ada acara apa?" tanya Wiwik.
"Acara!! memangnya acara apa?" Aku bingung dan menggelengkan kepala.
"Haduh ni anak, pelupa amat sih, ntar sore ada pertandingan sepakbola, kan yang tanding kak Dirly," ucap Priska seraya mengibaskan rambutnya.
Aku langsung mengeluarkan bedak merek pixy dari tas dan membubuhkan ke pipi.
"Eh kupret! ngapain kamu dandan sekarang?" bentak wanita berambut pendek itu seraya melotot padaku.
"Katanya ada pertandingan sepakbola? gimana sih!" Aku masih terus berdandan.
Priska langsung mendekatiku. "Sore woi pertandingannya, soreeeee kupreettt!!" teriaknya membuat sakit telingaku, sampai-sampai Radit yang ada di sampingku ikut menutup telinganya.
"Iya-iya, haduhh! bisa budeg aku," ujarku segera mengembalikan bedak itu ke dalam tas lagi.
Sore harinya di lapangan bola yang terletak di belakang sekolah, anak-anak bersorak untuk memberikan dukungan pada para pemain.
"Lihat tuh Sa, pujaan hatimu di sana itu, keren ya," ucap Wiwik yang bertepuk tangan melihat ketampanan Dirly.
Dirly memang sangat tampan. Wajahnya maskulin, dengan tinggi 170 cm. Dia kaya dan juga pintar. Tidak hanya sepakbola olahraga yang dia geluti, tapi basket dan berenang juga. Dia itu sangat sempurna. Ibarat bintang di langit, Dirly itu begitu terang dan bersinar, tapi sayang, sangat sulit dijangkau. Aku pun hanya bisa menyukainya dalam diam.
"Iya, tampan, tapi masih gantengan Radit kok," ucapku lirih di tengah kerumunan banyak orang. Radit yang mendengar itu tersipu malu menatapku.
"Kamu bilang apa tadi Sa?" tanya Wiwik.
"Nggak papa kok," sahutku seraya nyengir.
Setelah pertandingan selesai. Kami berjalan di pinggir lapangan. Entah bola dari mana itu, mungkin dari langit apa ya, tiba-tiba aja datang ke arahku hampir membuat kepalaku benjol. Radit yang tau itu segera menangkisnya, tapi karena aku tak ingin membuat kecurigaan. Aku pura-pura terkena bola itu.
"Ouchhhhh," rintihku memegangi kepala.
Dirly segera berlari menghampiri kami. "Apa kamu terluka?" tanya pria tampan berambut coklat kehitaman itu.
Aku sempat ngehallu dan tak menjawabnya.
"Duh, gimana ini pasti benjol, nih!" ucap Wiwik menggantikan posisiku karena tahu aku diam saja.
Dirly mendekat dan memegang dahiku. "Coba kulihat!" ucap pria itu.
Aku yang sadar Dirly sedang memegang dahiku langsung mundur beberapa langkah. "Aku nggak papa kok Kak, kami undur pamit dulu ya," ujarku seraya menarik kedua tangan temanku dan pergi dari sana.
"**** banget kamu, Sa, ini tuh kesempatan emas!" ucap Priska yang masih terus mengomel sepanjang perjalanan.
"Emas kepalamu, udah ah! aku mau pulang udah malam ini," bantahku yang masih menarik mereka berdua.
"Tapi beneran nih kepala kamu nggak sakit, Sa?" tanya Wiwik.
"Enggak kok," sahutku.
Yang masih penasaran terus simak ya,
Gimana, gimana, seru nggak, mau lanjut nggak?
Jangan lupa tinggalin jejak ya manteman 😘😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Lies Atikah
nyimak thor seru lnjt
2025-05-31
0
Rose
sedih akuh thor
2020-04-13
1
Vallen Octa
lajuttt
2020-03-15
1