Arthur bangun dari tidurnya. Mengucek mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina mata. Setelahnya, dia melirik ke jam yang ada di atas nakas. Baru menunjukkan pukul enam pagi. Waktu yang pas untuk pergi ke suara tempat yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya.
Bangkit dari kasur, Arthur memilih menuangkan air ke dalam gelas putih untuk meredakan kekeringan yang melanda kerongkongannya. Setelahnya, Arthur masuk ke dalam kamar mandi. Melepas semua pakaiannya dan berendam di dalam bathup berisi air hangat dengan sabun bermerk yang membat harum tubuh.
Kegiatan yang menghabiskan waktu setengah jam itu akhirnya berakhir. Mandi, gosok gigi dan cuci muka. Tidak akan pernah terlewat untuk seorang seperti Arthur yang mencintai kebersihan.
Pakaian kantor sudah dipakai dengan sempurna di tubuh atletisnya. Rambut disisir setelah dioles minyak rambut. Parfum tercium jelas setelah tadi disemprot beberapa kali oleh Arthur ke tubuhnya.
Setelah semua siap, Arthur turun ke bawah. Menapaki setiap tangga menuju lantai satu. Bergabung dengan keluarganya yang sedang sarapan pagi.
"Silakan, tuan." pelayan mempersilakan dengan sopan seraya menarik kursi ke belakang.
Arthur duduk dengan tegap. Membiarkan pelayan menyiapkan sarapan paginya. Ruang makan hening. Semua sibuk dengan makanan masing-masing. Tak ada yang berani membuka mulut untuk bicara, karena itu bersifat haram bagi keluarga Wiliam.
Segelas susu dan dua potong roti bakar tebal berisi selai terhidang didepan mata. Segera Arthur ambil dengan tangan. Mengigitnya dan mengunyahkan dengan cepat. Hidangan sarapan pagi habis dengan cepat oleh Arthur. Dia sedang buru-buru, atau lebih tepatnya tidak sabar untuk bertemu.
"Arthur, sepagi ini kamu berangkat?" tanya sang mama pada Arthur yang sedang mengelap kaca mata hitamnya di ruang tamu.
Gerakan mengelap kaca terhenti saat itu juga. Arthur menoleh ke arah sumber suara. "Iya, ma. Takut macet. Bukannya mama sudah tahu, aku sangat tidak menyukai yang namanya macet?" pria bertubuh lebih tinggi dari sang mama bangkit dari sofa.
Senyum sang mama terukir. "Ya sudah, cepat berangkat. Kota ini memang terkenal dengan macet. Jadi, kamu harus berangkat sepagi ini." balas sang mama.
Arthur berangkat tanpa seorang sopir. Dia ingin mengendarai mobil kesayangannya seorang diri. Menikmati jalanan yang lumayan masih lengang dengan sejuta perasaan yang berbeda setiap menitnya.
Mobil yang dikendarai berbelok ke arah yang berbeda. Mengikuti arahan google maps ke alamat yang sudah diberikan oleh Mr. Xan. Villa sederhana di bukit teh yang sudah lama dia tinggalkan itu kini dia datangi lagi. Tentu dengan tujuan berbeda.
"Hallo Mr. Xan. Aku sedang kesana. Tunggulah sekitar tiga puluh menit."
"Syukurlah. Terima kasih karena sudah menjaganya dengan baik." Arthur tersenyum mendengar kabar bahwa wanita yang sekarang sedang mengandung calon anaknya itu dalam keadaan baik-baik saja.
***
Perjalanan panjang usai sudah ketika mobil terparkir sempurna di halaman villa yang cukup luas. Terlihat tak jauh dari sana, mobil milik Mr. Xan terparkir. Pertanda dirinya sedang ditunggu kedatangannya.
Arthur melepas jas kantornya. Menyisakan kemeja putih dan celana hitam. Setelah dirasa siap, Arthur turun dari mobil. Udara sejuk menyambut kedatangannya saat itu. Suasana damai dan tentram yang dia rindukan setelah sekian lama.
Dengan sepatu hitamnya, Arthur melangkah ke villa yang pintunya terbuka lebar. Terdengar suara kicauan burung yang menjadi ciri khas. Dirinya langsung masuk ke dalam. Tiga pasang mata tertuju padanya saat dia tiba di ruang tamu sederhana.
"Akhirnya kamu datang." Mr. Xan bangkit dari duduknya. Menyambut atasannya dengan merangkulnya untuk duduk.
Manik mata Arthur terus tertuju pada wanita cantik yang duduk disamping pria tua dengan rambut yang sudah mulai memutih.
"Saya Arthur, ayah dari anak yang sedang dikandung oleh putri bapak." tanpa basa-basi, Arthur mengulurkan tangannya pada pria tua yang sudah dia pastikan jika itu adalah ayah dari ibu dari anaknya.
Pak Anto tak membalas uluran tangan pria yang sudah merusak masa depan anaknya. "Saya ayah dari wanita yang telah kamu rusak masa depannya." ucapannya begitu tegas.
Arthur menarik tangannya. Tersenyum simpul kepada calon mertuanya. "Sebelumnya saya minta maaf atas kejadian yang sudah membuat bapak dan putri bapak harus diusir dari desa. Saya akan bertanggungjawab dengan apa yang sudah saya perbuat. Saya akan menikahi putri bapak dengan ijin dari bapak sebagai walinya." ada getaran saat mengucapkan kata 'menikah'. Tapi, Arthur mencoba bersikap biasa saja dengan terus menampilkan senyumnya.
Pak Anto menyelidik pria yang ada didepannya saat itu. Merasa salut dengan pria yang tanpa dipaksa sudah berani bertanggungjawab dengan apa yang dia lakukan. "Sebagai bapak, saya mengijinkan anda bertanggungjawab atas anak saya. Tapi ingat, jangan pernah kamu sakiti dia lagi. Jika sampai itu terjadi, kamu harus berhadapan dengan saya selaku bapaknya. Apa kamu mengerti, nak?"
Arthur mengangguk dengan yakin. "Saya berjanji tidak akan menyakiti putri bapak lagi. Pegang janji saya, pak. Jika saya mengingkarinya, bapak datanglah pada saya. Minta saya untuk kembali bertanggungjawab atas janji yang sudah saya ingkari." terdengar tegas dari setiap perkatannya.
Ais, dia terpaku ditempat. Tak berani mengucap sepatah kata pun. Merasakan waktu berjalan sangat cepat. Matanya tak lepas dari pria yang sedang berbicara dengan bapaknya.
Tidak seperti di novel yang pernah dia baca, pria didepannya sangat berbeda. Dia bertanggungjawab tanpa melihat status, sederhana dan ramah.
"Bagaimana dengan kamu, nak? Apa kamu mau menikah dengan nak Arthur?" tanya pak Anto, membuat Ais terhenyak kaget. Dia tadi melamun.
Ais menatap bapaknya, sesekali melirik ke arah Arthur yang juga sedang melihat ke arahnya. "Sebelumnya aku minta maaf, aku mau menikah dengan mas Arthur, tapi aku tidak mau pergi ke kota. Aku masih trauma kalau harus tinggal disana. Apakah mas Arthur keberatan jika harus tinggal di desa?"
Arthur tampak berpikir sejenak. Ini yang sedang dia pikirkan. Dia sudah menduga jika dirinya menikah dengan Ais dan membatalkan pernikahan dengan Kirei, maka di pastikan jika dia akan dicoret dari keluarga Wiliam dan akan berakhir tinggal di desa bersama Ais dan bapaknya.
Namun, mengingat calon anaknya Arthur akan lebih memilih tinggal didesa dengan kehidupan yang sederhana dan dipenuhi rasa bahagia. Daripada tinggal di kota dan menikah dengan Kirei. Pastilah bayang-bayang rasa bersalah akan terus menghantui.
"Tidak. Setelah menikah nanti, aku akan tinggal di desa bersama kamu, bapak dan calon anak kita. Aku tidak akan keberatan dengan hal itu. Justru aku meminta pada kalian agar mengajarkan aku untuk hidup sederhana. Karena, aku belum terbiasa." jawab Arthur yang membuat Mr. Xan membulatkan matanya. Tidak menyangka jika atasannya akan mengambil jalan seperti ini.
*
*
*
Bersambung...
Semoga terhibur dengan cerita dari mas Arthur dan mba Ais. Jangan lupa like, koment dan favorite. Makasih semuanya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
bobo
masyaallah keren..pria sejati mskipun pernah brbuat zina tpi dia mau brtaubat dan brtgung jwb
2023-02-13
0
Anonymous
lanjutkan bos
2021-11-28
1
Ruby Talabiu
smangat thor keren cerita nya lanjutt
2021-07-12
2