This Is Our Love
Di dalam sebuah ruangan, terdapat dua orang yang tengah berbicara dalam bahasa jerman.
"Abel kau sungguh-sungguh ingin pulang? Pikirkan lah lagi. Masa depanmu sangat cerah di sini. Kau bisa memperbarui kontrak dengan banyak tambahan keuntungan. Ku mohon pikirkan lagi."
Seorang pria meminta penuh harap pada seorang wanita berhijab yang sibuk memasukkan barang ke dalam kardus.
"Tuan Louis, keputusanku sudah bulat. Tidak peduli keuntungan atau apapun itu yang Anda janjikan kepada saya, saya tetap akan pulang. Tolong jangan ganggu gugat lagi keputusan saya."
Tanpa menatap lawan bicaranya, wanita itu tetap fokus pada pekerjaannya.
"Abel pikirkan lagi! Jika kau pulang, kau akan mencari kerja lagi, belum tentu mendapat posisi sebaik di sini. Juga belum pasti bisa bekerja di perusahaan yang besar seperti ini. Atau sebenarnya ada membuatku tidak nyaman di sini? Katakan padaku, biar aku mengurusnya untukmu."
Tak lelah membujuk walau terus ditolak. Wanita itu menghentikan pekerjaannya, menatap pria itu, menghela nafas pelan.
"Tuan Louis, saya sangat senang bisa bekerja di sini. Bergabung dengan perusahaan ini adalah suatu kehormatan. Hanya saja, Anda tidak perlu khawatir saya resign dari sini. Atau Anda tidak yakin dengan kemampuan saya? Atau Anda merendahkan perusahaan di negara saya? Itu maksud Anda, Tuan?"
Tatapan tajam.
"Tidak. Bukan itu maksudku, Abel. Hanya saja aku dan perusahaan ini belum siap untuk kehilanganmu."
Nada pelan, raut wajah sedih.
Hah.
Wanita itu menggerakkan tangannya menepuk pundak sang pria.
"Kakak, aku paham betul maksudmu. Tolong hargai keputusanku. Jika memang aku berjodoh lagi dengan perusahaan ini, cepat atau lambat aku juga akan kembali kemari. Ku mohon, jangan sedih. Jangan membuatku merasa bersalah."
"Abel, kau berjodoh dengan perusahaan ini. Kau hanya menolaknya," balas Louis lirik.
Nabilla Arunika Candra atau yang biasa disapa Bella atau Abel kembali menghela nafas pelan.
"Jodoh tak akan kemana. Hanya saja kita tidak akan pernah berjodoh. Aku hanya menganggapmu sebagai kakak angkatku. Maaf, Kakak!"
Bella memegang kardusnya, kemudian melangkah keluar.
"Tunggu, Abel!"
Bella menghentikan langkahnya, berbalik menatap Louis.
"Apa kau akan langsung pulang?"
"Keberangkatanku besok pagi, ada apa?"tanya balik Abel.
"Makan malam lah di rumah. Daddy dan Mommy merindukanmu. Key juga," ucap Louis, penuh harap. Bella berpikir sejenak, tak lama mengangguk.
"Baiklah. Aku akan ke rumah," jawab Bella.
*
*
*
"Abel!"
Seorang wanita dengan rambut anjut bergelombang, mengenakan dress berwarna hitam berlari ke arah Bella yang berdiri di dekat parkiran sepeda motor.
"Teresa? Ada apa?"
"Abel kau benar-benar tidak melanjutkan kontrak? Posisimu sudah sangat tinggi. Seorang GM! Kau melepas sebuah posisi penting, Abel!"
"Hahahaha."
"Kenapa kau tertawa?"
"Tahukah dirimu? Ini pertanyaan kesekian kalinya. Dengan kan aku baik-baik, Resa! Aku sudah final untuk pulang. Berkumpul bersama keluargaku. Kau tahu betul, bertahun-tahun aku di negeri orang, dari kuliah sampai sekarang. Lagipula pengalaman bekerja di perusahaan ini bisa menjadi nilai plusku bekerja di Indonesia."
"Jadi aku yang terakhir tahu? Keterlaluan!" Resa menggerutu, memukul pelan bahu Bella.
"Resa kau sahabat terbaikku, biarpun aku sudah pulang, kau tetaplah sahabat sejatiku. Jauh di mata bukan berarti jauh di hati bukan?"
"Ahh ucapanmu meluluhkan hatiku." Langsung memeluk Bella.
"Ah hati-hati Resa! Barang-barangku bisa jatuh!"
"Astaga! Maaf-maaf. Aku tidak sengaja, Abel!"
"Ya-ya. Kau ceroboh dan aku paham."
"Lalu kapan kau akan pulang?"
"Besok pagi."
"Secepat itu?" Teriakan Resa sukses membuat keduanya menjadi pusat perhatian.
"Apa lihat-lihat?!" Nada galak Resa membuat sebuah perhatian pada mereka hilang.
"Secepat itu?" Resa kembali menanyakan hal yang sama.
"Ya."
"Ah ini tidak adil. Mengapa kau buru-buru kembali ingin pulang?"
"Nenekku sakit."
Bella kehabisan tiket penerbangan tercepat ke Indonesia. Untungnya masih ada tiket pemberangkatan pagi.
"Sakit? Nenek Marissa sakit? Kasihan sekali."
"Baiklah -baiklah. Aku Izin kan kau pulang. Ayo cemas berkemas!" Resa langsung naik ke sepeda motor.
"Err semua sudah finish."
"Finish? Ahhh Abel!"
"Shut! Berhentilah berteriak!" Bella menutup mulut Resa.
"Sebentar lagi jam makan siang. Bagaimana jika kita makan siang bersama?"tawar Bella.
"Okay."
*
*
*
"Abel mengapa tidak kau terima saja cinta Tuan Louis? Dia pria yang sempurna. Presdir muda dengan segala kesempurnaan. Bahkan anak-anak yang lain sudah menganggap kalian sebagai pasangan."
"Huh tentang itu lagi!"
Bella yang sedang menumis udang mendengus sebal.
"Apa kau benar-benar tidak suka pada Tuan Louis? Why?"
"Kau akan benar-benar hidup enak. Nenek dan saudarimu juga bisa tinggal di sini. Kalian tidak akan terpisah lagi. Kita juga tidak akan berpisah."
Lagi-lagi menyelipkan bujukan.
Bella mematikan kompor, udang tumisnya sudah matang.
"Jikapun aku suka padanya, kami tidak akan pernah bersatu, Resa. Jarak kami terlalu jauh. Keyakinan yang berbeda terlalu mustahil untuk bersama. Akan ada banyak pertentangan."
"Apa kau takut?" Bella diam, keadaan hening hanya terdengar suara blender yang tengah menghaluskan buah apel.
"Aku hanya tidak ingin menyalahi keyakinanku. Resa kau paham dengan karakterku. Tolong jangan bahas ini lagi. Aku lelah mendengarnya." Nada penuh harap, wajah penuh ketegasan.
Resa diam, menghela nafas pelan.
"Baiklah. Aku paham."
Senyum Bella terbit.
"Ya sudah, ayo bawa jus nya ke meja makan," ajak Bella. Resa mengangguk, melangkah di belakang Bella.
"Wah udang asam manis buatanmu memang yang terbaik, Abel!" Mata Resa terpejam menikmati perpaduan gurihnya nasi dan udang asam manis.
"Kalau begitu makanlah yang banyak. Setelah ini aku tidak tahu kapan lagi akan makan denganmu," tutur Bella, menambahkan nasi dan lauk pauk ke piring Resa.
Namun gerakan Resa berhenti, ia meletakkan sendok dan kembali menatap sendu Bella.
"Aku ingin ikut denganmu tapi tanggung jawabku tidak mengizinkannya. Ah Abel jangan bahas hal menyedihkan lagi. Cepat atau lambat kita pasti akan berkumpul lagi! Kau bukan hanya sahabatku tapi juga saudariku!"
Mata berkaca-kaca. Bella diam sejenak. Lima tahun, lima tahun persahabatan mereka sudah terjalin. Banyak hal yang mereka lalui bersama. Resa adalah wanita yang tanpa ragu berteman dengannya. Di saat awal masuk perusahaan, semua tatapan aneh dan penuh selidik padanya. Wajar, ia berbeda sendiri. Biarpun hidup di negeri orang, Bella tetap mempertahankan keyakinannya, juga mematuhi setiap ketentuan. Hijab, awalnya ia ditolak di perusahaan ini karena berhijab. Tapi syukurlah ada keajaiban datang dan ia bisa bertahan sampai posisi seorang GM.
"Resa jangan menangis, please."
"Huhuhu bagaimana bisa aku tidak menangis? Aku akan berpisah dengan saudariku."
"Aku tahu. Aku juga sedih tapi ini sudah jalannya."
"Huhuhu aku juga tahu. Tapi perasaan tidak bisa berbohong."
Bella meletakkan sendoknya, berdiri dan mendekati Resa. Keduanya berpelukan, erat dan saling mengeluarkan air mata.
*
*
*
"Kak Loius? Mengapa kau di sini?" Bella terkejut mendapati Loius berada di depan pintu apartemennya.
"Menjemputmu. Malam ini menginap di rumah. Permintaan Daddy dan Mommy ."
"Hah?"
Bella terkesiap saat Louis masuk tanpa izin, langsung menuju kamarnya di mana ada tiga koper sudah ready.
"Hanya ini barangmu?"
"Ya."
"Sedikit sekali."
"Kau tahu aku sangat hemat."
Gaji yang Bella terima selalu Bella bagi-bagi. Setengah untuk dikirim pulang, sebagian untuk keperluan hidup dan sebagian lagi untuk simpanan. Memasak sendiri adalah cara efektif Bella untuk menghemat biaya hidup.
"Ya sudah. Aku bawa dua, kau bawa satu. Kita pulang sekarang."
"Apa?"
"Kita pulang sekarang!"
"Jangan menolak atau Key yang akan menjemputmu langsung."
"Ah jangan! Baiklah. Sebentar aku siap-siap dulu!"tolak Bella langsung.
"Aku menunggu di bawah." Louis tersenyum kemudian keluar dengan membawa dua koper Bella.
Bella melamun sejenak. Keluarga angkat, keluarga angkat yang sangat baik. Tidak pernah menyangka akan memilki keluarga angkat yang baik lagi terpandang. Sungguh keberuntungan yang manis.
Sadar dari lamunannya, Bella segera memakai jaket dan membawa koper serta helm nya keluar. Mengunci apartemen rapat-rapat.
Sebelum pergi, Bella menitipkan kunci apartemen pada tetangganya.
Di parkiran, Louis menunggu dengan bersandar pada body mobil. Sesaat Bella terpanah dengan Louis. Memang pria yang sempurna dan penuh pesona.
"Abel? Kau melamun?" Louis menyadarkan lamunan Bella.
"Kemarikan kopermu!"titah Louis.
"Ah ya."
Louis memasukkan koper yang dibawa oleh Bella ke dalam mobil.
"Jalanlah duluan, aku mengikut di belakang."
"Yakin?" Bella tersenyum.
"Lekaslah hari semakin gelap!"ucap Louis, masuk ke dalam mobil.
Bella menggeleng pelan, naik ke sepeda motornya. Tak lupa mengenakan helm, Bella melajukan kendaraannya keluar area basement.
"Ck! Wanita ini! Mengapa tak bisa pelan bawa motornya?"gerutu Louis, yang kini kesulitan untuk tetap memposisikan mobilnya di belakang Bella.
*
*
*
Motor sport Bella berhenti manis di depan sebuah kediaman. Rumah yang terlihat sederhana nan elegan. Dengan cat berwarna coklat, rumah terlihat bersinar di bawah pancaran lampu.
"Kak Abel!" Seorang bocah laki-laki berlari menghampiri Bella. Bella berjongkok.
Hap.
Anak itu kini dalam pelukan Bella.
"Key mengapa kau berlarian begini? Nanti jatuh loh." Bella mencubit pelan hidung Key.
"Key rindu Kakak. Kakak sudah lama tidak kemari. Sekali kemari, Kakak akan pergi jauh. Key tidak rela, Kak." Nada yang menggemaskan bercampur sedih.
Bella tersentuh dengan ucapan itu.
"Key kecil, Kakak hanya pergi sementara. Pasti akan pulang kemari lagi," hibur Bella, menggendong Key dan melangkah masuk ke dalam rumah.
"Benarkah? Tapi kata Grandfa , Kakak akan pulang kampung. Apa Kakak tidak betah di sini?" Mata sayu, menatap Bella memelas.
"Apa Grandfa bilang begitu? Ya benar sih. Kakak akan pulang kampung, tapi nggak berarti selamanya Kakak di kampung halaman kan? Key nggak perlu sedih. Nanti Kakak pasti akan sering-sering hubungi Key. Kalau pergi tiap hari," bujuk Bella.
"Benarkah? Kakak janji?" Langsung berbinar. Bella tersenyum lembut.
"Janji!"
Mereka saling menautkan jari kelingking.
"Abel sudah datang?" Sepasang suami istri paruh baya berdiri. Bella menurunkan Key. Bocah itu langsung lari dalam pelukan orang tuanya.
"Iya, Mom, Dad."
Bella berpelukan dengan sepasang suami istri itu.
"Beberapa hari tidak bertemu, kau semakin gemuk, Abel," lakar Mommy.
"Benarkah? Mungkin efek ingin pulang kampung, Mom."
"Ah Abel, mana Louis?" Daddy ke arah pintu masuk.
"Mungkin ketinggalan, Dad."
Auh.
"Dad?!" Bella mengaduh sakit saat dahinya disentil oleh Daddy.
"Apa yang kau lakukan, Max?!" Mommy berseru tidak suka, langsung menarik Bella ke sisinya.
"Sudah Daddy katakan jangan bawa motor ngebut. Kamu kenapa ngeyel sekali?"gemas Daddy.
"Ngejar waktu magrib, Dad."
Daddy langsung melihat jam tangannya. Menghela nafas pelan kemudian tersenyum.
"Lain kali jangan diulangi. Bahaya!"
"Okay, Dad."
"Ya sudah sana ke kamar. Selesai ibadah kemari lagi," suruh Mommy. Bella mengangguk dan segera menuju kamarnya.
"Kakak ikut!" Key melompat turun dari sofa dan langsung mengejar Bella.
"Hati-hati Key!"seru Ibunda Key.
*
*
*
"Loius mengapa kamu lama sekali?"tanya Mommy heran.
"Kejebak macet Mom," jawab Louis langsung mengambil tempat duduk.
"Pantas saja." Daddy menyahut setelah meminum kopinya.
"Wajahmu muram sekali, adik ipar. Apa semua bujukanmu gagal?" Ibunda Key bertanya dengan penasaran. Louis mengangguk pelan.
"Kapan keberangkatan Abel?"tanya Leo, anak tertua keluarga Kalendra. Keluarga Kalendra hanya memiliki dua orang anak, yakni Leo dan Louis.
"Besok pagi."
"Secepat itu?" Semua membulatkan mata.
"Neneknya sakit."
Semua menunjukkan wajah prihatin. Semua tahu bahwa Bella sangat menyayangi neneknya.
"Jika sudah begitu, tidak ada lagi yang bisa menahannya." Daddy menyadarkan punggungnya di sandaran sofa.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 282 Episodes
Comments
Arshafi Ray
bpbbphg
2022-08-17
1
Fitri cute
manteppp jiwaaaa
2022-05-10
2
Nurhalisa 054
nyimak
2021-11-12
1