4. Penyihir Waktu

Christine Hakim sebagai Bu Rumiyati, pemilik penginapan.

_____________________________________________

“Om? Om kenal sama cowok itu?” tanya Renata saat mereka sudah di tempat makan.

Omnya tak menjawab dan menaruh daging di panggangan dengan cepat, seakan tak sabar,

atau tak ingin menanggapi pertanyaan Renata.

“Om?” ulang Renata. Entah kenapa dia merasa takut akan sikap omnya. Omnya tak menjawab

lagi maka Renata lalu terdiam.

Mereka tak bicara selama makan, dan Renata tak ingin membuka percakapan. Omnya juga tak berinisiatif untuk mengajak ngobrol.

Sebenarnya makanan hari itu enak sekali, Renata harus memuji pilihan tempat makan omnya. Tapi sayangnya sikap omnya membuat suasana tidak enak dan rasa makanan di mulutnya menjadi hambar.

“Maaf Ren,” kata omnya tiba-tiba. Beliau menaruh sumpitnya di sebelah piring.

“Om nggak bisa cerita. Cuma, ada hal-hal di dunia ini yang nggak seharusnya kamu tahu, atau memang seharusnya nggak ada sama sekali jadi orang-orang nggak perlu tahu tentang itu. Sayangnya, ada banyak orang-orang nggak bertanggung jawab di dunia ini. Orang-orang jahat, yang menutupi kedok di balik wajah mereka.”

Ucapan omnya panjang lebar dan Renata bingung menyerap semuanya. Atau memang omnya tidak menjelaskan secara detail dan menyamarkan fakta di balik kata-katanya. Apa pun itu, ketegasan suara omnya mau tak mau membuatnya menganggukkan kepala.

“Kamu harus hati-hati, Ren. Selalu hati-hati.”

Perkataan itu lagi. Hati-hati. Renata tak ingin bertanya lagi lebih jauh. Dia punya firasat omnya tidak akan memberitahu jawabannya.

***

Seminggu kemudian Renata sudah sibuk dengan aktivitas barunya. Dia akan mulai dengan upacara penerimaan mahasiswa, lalu mulai pembagian kelompok dengan teman-teman sekelasnya untuk kegiatan mahasiswa. Kegiatan itu cukup menyita waktu dan perhatiannya. Dia bersyukur dia

tinggal bersama keluarga ibunya, karena akan cukup sulit baginya menyesuaikan diri jika dia ngekos. Omnya selalu membantunya jika diminta, dan nenek serta kakeknya selalu perhatian padanya.

Pelan-pelan Renata mulai bisa menata hidupnya dan mengikuti alur kehidupan barunya.

Secara mengejutkan, cowok mahasiswa baru yang dulu menarik perhatiannya dan banyak

calon mahasiswa satu kelas dengannya. Namanya Elvan Tejamurti. Jika sejak awal kemunculannya saja membuat heboh banyak orang, apalagi sekarang setelah beberapa calon mahasiswa itu sekelas dengannya. Dia langsung saja menjadi objek perhatian satu angkatan, bahkan angkatan lain di atas mereka.

Setiap dia masuk kelas, semua orang mendadak menghentikan aktivitas mereka. Jika dia lewat di lorong, banyak mata memandangnya.

Renata sendiri juga merasakan ketertarikan padanya. Cowok itu memang sempurna. Tinggi, tampan, dan kharismatik. Dia rupanya juga cerdas.

Hanya saja, setiap Renata memandang Elvan, peringatan omnya selalu terngiang-ngiang. Tapi dia mengabaikannya. Mungkin saja omnya takut dia akan fokus kepada cowok dan melupakan studinya, atau takut Renata dekat dengan cowok itu. Renata paham maksud omnya yang kelihatan protektif terhadapnya. Mungkin beliau merasa harus menjaga Renata, sebagai pengganti ayahnya.

***

“Ah sial,” keluh Farah, teman sekelompok Renata.

“Kita nggak bareng sama Elvan,” lanjutnya.

Wajahnya kelihatan sangat kecewa.

“Bagusnya di kelompok dia ceweknya cuma 2,” balas Jihan yang duduk di sebelahnya.

Farah mendelik.

“Lihat sisi negatifnya dong, mereka jadi leluasa deket sama dia, nggak perlu rebutan sama

banyak cewek!”

Jihan terkekeh.

“Hahaha, iya sih. Btw tahu nggak di psikologi ada cowok yang ganteng juga. Nggak kalah sama Elvan.”

Farah menggeleng.

“Pfft, no no. Nggak akan sama kayak Elvan. Heran juga aku, cowok semacam dia masuk

jurusan bahasa, kirain kedokteran atau hukum gitu, yang mentereng gitu.”

“Jadi menurut kamu jurusan kita nggak wah, gitu?” sahut sebuah suara.

Kelompok Renata langsung menoleh semua. Entah sejak kapan, Yudha, senior penanggung

jawab mereka sudah ada di belakang mereka. Matanya terlihat galak di balik kaca matanya. Farah langsung ciut.

“Eh, enggak gitu, Kak. Maksudnya...” Dia langsung gagap. Yudha melotot sekali lagi lalu berlalu dari hadapan mereka. Farah langsung lemas. Setelah itu dia jadi bulan-bulanan.

“Makanya, nggak usah aneh-aneh. Cuma gara-gara cowok sampe segitunya,” kata Irza, ketua

kelompok Renata.

“Toh aku lebih baik, iya nggak Ren?” tanya Huda, cowok di sebelah Renata. Renata langsung gelagapan tiba-tiba ditanya.

“Hah? Ah iya iya.”

Farah langsung tertawa.

“Hei, Ren, kamu kan dari tadi juga ngelihatin Elvan. Nggak usah diladenin si Huda mah.”

Wajah Renata langsung bersemu merah.

“Harga diri kita jatuh, Za,” kata Huda. Irza langsung mendelik.

“Enak aja. Nggak usah bawa-bawa orang lain.”

Semua orang langsung tertawa lagi.

“Ya udah, langsung bahas acara nanti aja,” potong Tiar, yang paling kalem di antara mereka.

Cowok itu sudah membuka buku catatannya.

“Oke. Kan udah dibagi tugas per orang. Bendahara tolong nanti kumpulin uangnya paling lambat sebelum jam kuliah terakhir ya,” Irza menoleh pada Farah. Farah mengangguk.

“Siap.”

“Sekretaris kumpulin catatannya, mau dicek dulu sama Kak Yudha,” Irza gantian menoleh pada Renata. Renata mengangguk.

“Oke.”

Kegiatan itu akan berlangsung minggu depan. Untuk mempererat hubungan antar mahasiswa, mereka akan mengikuti acara orientasi yang dibarengi acara menginap bersama di sebuah

penginapan. Acara itu akan berlangsung selama 3 hari 2 malam.

Renata cukup menyambut antusias acara itu. Hal itu akan menjadi selingan menyenangkan di tengah kesibukan barunya di kampus.

***

“Udah siap semua Ren?” tanya Nenek yang membantu persiapan Renata. Satu buah tas ransel besar duduk dengan manis di pintu depan. Di sebelahnya ada tas kecil berisi makanan dan perlengkapan tambahan lainnya.

“Sudah Nek,” jawab Renata sambil menaikkan resleting jaketnya.

“Nanti di sana jangan lupa makan,” tambah Kakeknya mewanti-wanti. Renata tersenyum.

“Siap Kek.”

Om Wendra muncul di pintu depan.

“Udah siap Ren? Mobil udah siap,” katanya.

Renata mengangguk.

“Siap Om. Yuk.”

Dia segera mencium tangan kakek dan neneknya.

“Tiga hari tanpa kamu bakalan sepi lagi rumah, Ren,” kata Om Wendra sambil menyetir.

Renata tersenyum.

“Ah, Om bisa aja.”

“Tempatnya nggak angker kan Ren? Atau ada apa-apanya, gitu?” tanya Om Wendra tiba-tiba.

“Om!” seru Renata.

“Jangan nakut-nakutin ah,” tambahnya sambil cemberut. Om Wendra tertawa.

“Ya udah, ya udah. Kan om cuma bilang aja. Penginapan-penginapan gitu kan beberapa sukaada yang punya hal-hal mistis gitu hehe.”

“Ih Om! Udah ah Om, nanti Renata jadi parno.” Renata tambah cemberut. Om Wendra

tertawa sekali lagi.

Om Wendra mengantarkan Renata sampai di depan kampus. Di sana sudah ada dua bis besar yang menunggu. Irza dan Farah melambai pada Renata.

“Ya udah Om tinggal dulu. Kalau ada apa-apa bilang ya, terus besok kalau udah pulang bilang

juga nanti om jemput,” kata Om Wendra. Renata mengangguk.

“Siap Om, makasih ya Om.”

Renata dan kelompoknya lalu menunggu sebentar sebelum akhirnya berangkat. Farah sangat senang ketika tahu mereka akan satu bis dengan Elvan. Dia lalu menyuruh mereka duduk di dekat kelompok Elvan.

“Pokoknya jangan sampai aku ketiduran ya Ren,” pinta Farah pada Renata karena mereka

sebangku.

“Malu kalo muka tidurku keliatan sama Elvan,” tambahnya.

“Astaga Farah.” Irza menepuk dahinya. Farah mendelik padanya.

“Ih apa sih.”

Perjalanan mereka menuju penginapan tidak terlalu lama, hanya satu setengah jam.

Perjalanan itu cukup menyenangkan, penginapan terletak di sebuah desa, yang sering disambangi oleh wisatawan, jadi pemandangan indah selalu menemani mereka. Ketika mereka sampai, mereka takjub melihat penginapan tersebut, yang besar dan terbagi menjadi pondok-pondok kecil.

Penginapan cowok dan cewek dipisah. Ada kamar mandi di setiap pondok. Penginapan itu

bernuansa tradisional, dan pondok-pondok di dalamnya pun bernuansa sama.

Mereka lalu berkumpul di sebuah ruangan besar, di sana ada pemilik penginapan, seorang wanita yang sudah cukup tua. Wanita itu mengenakan pakaian kebaya dan jarit. Ketua pimpinan seluruh kelompok, Prima sedang berbicara dengan wanita itu, yang mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dia melihat ke seluruh mahasiswa, mengamati mereka satu persatu.

Tiba-tiba pandangannya terhenti, dia tampak terkejut, wajahnya mendadak terlihat keras.

“Aku ora ngerti nek ning kene ono wong sing kudune wis mati,” sahutnya pelan. Prima

terkejut. Dia tidak mengerti maksud perkataan wanita itu karena dia tidak bisa Bahasa Jawa.

Tapi beberapa orang yang mendengar perkataannya paham dan langsung kaget.

Termasuk Renata, yang duduk di barisan depan, tidak jauh dari wanita pemilik penginapan.

Aku tidak tahu kalau di sini ada orang yang harusnya sudah mati.

Itulah maksud perkataan wanita itu.

Terpopuler

Comments

Flo🌹

Flo🌹

Hahaha.. dapet vibenya

2021-10-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!