*Mawar Eva, seperti inilah bayanganku soal Renata yaaa
----------------------------------------------------------------------
Renata terduduk di ruang tamunya, kepalanya tertunduk. Baju hitam yang dikenakannya
sederhana, dan sepatu hitamnya melengkapi penampilan sendunya. Orang-orang tak henti-hentinya melewatinya. Beberapa berhenti untuk sekedar menyapanya, beberapa lagi menepuk pundaknya.
Renata tak bisa menanggapi mereka sepenuhnya. Matanya nanar memandang lantai.
Dia tidak bisa menangis, bahkan di saat seperti ini. Dia benci dirinya yang seperti ini, walaupun dia tahu nanti malam ketika semua kenyataan sudah menyergapnya sepenuhnya, dia akan menangis sejadi-jadinya. Reaksinya memang lambat. Itu melindunginya di satu waktu, namun akan berbalik menghancurkannya ketika waktunya tiba.
Lambat laun orang-orang tak lagi menyapanya, mereka mengerti. Maka mereka akan duduk di
ruang sebelah untuk berdoa bersama. Renata tidak ikut dengan mereka, dia masih terperangkap dalam dunianya sendiri.
Dia tidak tahu bahwa waktu berlalu di sekelilingnya. Ketika omnya menawarinya makan, dia ingat bahwa dia menolak. Pun ketika kakungnya menyuruhnya untuk tidur. Dalam hati dia berontak, bagaimana dia bisa tidur di waktu seperti ini? Sungguh tidak masuk akal.
Hari yang paling ditakutinya telah tiba. Dia tidak hanya kehilangan salah satu orangtuanya. Dia
langsung kehilangan keduanya sekaligus.
***
Semuanya sudah dipersiapkan untuknya, dia hanya perlu untuk menurut. Dan dia berterima
kasih untuk itu. Setelah pemakaman selesai, dia akan tinggal bersama keluarga ibunya. Di rumah di luar kota, di mana ada kakek, nenek, dan omnya. Rumah orangtuanya akan dijual, Renata juga tidak ingin tinggal di sana lagi. Tidak ketika semua kenangannya di rumah itu akan menyakitinya.
Kakek dan neneknya jelas senang Renata akan tinggal bersama mereka. Mereka berdua selalu bahagia melihat rumah lebih ramai. Om Wendra juga senang. Dia kehilangan istrinya lima tahun lalu karena kanker. Mereka tidak punya anak dan sejak dulu omnya sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Om Wendra dan istrinya sejak dulu tinggal bersama kakek dan nenek Renata untuk merawat mereka berdua. Mereka tidak mempekerjakan pembantu, karena berprinsip bahwa selagi ada keluarga, pembantu tidak diperlukan.
Namun semua itu berubah sejak istri Om Wendra meninggal. Om tidak sanggup merawat rumah besar kakek dan nenek Renata sendirian, maka ada pembantu yang bertugas memasak dan membersihkan rumah yang tinggal bersama mereka sekarang.
Nenek membantu Renata berkemas, sementara om mengangkut barang-barang Renata ke
dalam truk. Beberapa perabot ingin Renata simpan, sementara sisanya dijual. Mereka tak
membuang waktu untuk segera berangkat setelahnya.
Di mobil suasana hening. Nenek tertidur karena kelelahan di kursi tengah. Renata duduk di
depan bersama Om Wendra.
“Kamu sudah daftar kuliah?” tanya Om Wendra sambil menyetir. Renata menggeleng.
“Pembukaan pendaftaran baru mulai minggu depan,” jawabnya pelan. Om mengangguk.
“Nanti om bantu. Om dulu alumni di sana, bareng tantemu juga.”
Renata menoleh.
“Jadi om dan tante ketemu waktu kuliah ya? Om nggak pernah cerita.”
Wajah Om Wendra terlihat sedih.
“Tantemu adik angkatan om. Dia dulu terkenal lho.”
Renata mengangguk.
“Kelihatan kok. Kan tante Sarah cantik, baik juga.”
Om tersenyum.
“Dia juga pinter. Kesayangan dosen.”
Mereka lalu terdiam lagi.
“Kamu jangan khawatir Ren, kami ada buat kamu,” kata Om Wendra memecah keheningan.
Leher Renata tercekat. Dia tidak ingin membahas apapun yang berkaitan dengan kematian orangtuanya.
“Makasih Om,” balasnya. Om Wendra memandangnya dan menyadari bahwa topik itu membuat Renata sedih, maka dia langsung mengubah percakapan.
“Kamu bisa masak?”
Renata menoleh dengan bingung.
“Bisa sih om. Renata suka bantu Mama masak. Kenapa om?”
Om Wendra tersenyum.
“Om bosan masakan Bi Yum. Beliau pinter masak sih, cuma ya kalo itu-itu aja ya bosen hehe. Kata Mama kamu, kamu bisa masak masakan barat ya kayak pasta, gitu?”
Renata tersenyum kecil.
“Bisa om.”
Omnya balik tersenyum.
“Nah sip kalo gitu.”
***
Rumah nenek Renata besar dan terlihat kuno, karena desainnya adalah rumah Belanda.
Renata cukup menyukai nuansanya yang jadul, walaupun kadang saat malam tiba dia sering merasa takut. Untungnya dia tak perlu keluar kamar saat akan ke kamar mandi karena ada kamar mandi dalam tambahan di dalamnya.
Om Wendra membantu Renata mengeluarkan barang-barang. Bi Yum keluar untuk
membantu. Beliau tersenyum ramah pada Renata.
Renata sangat menyukai Bi Yum. Selain baik hati, wanita paruh baya itu membuatnya merasa nyaman selama dia menginap di rumah nenek sejak dulu. Bi Yum tak punya keluarga, beliau kehilangan seluruh keluarganya dalam kecelakaan saat mudik, sehingga Bi Yum lalu tinggal bersama kakek dan neneknya.
Rumah kakek dan neneknya terletak cukup jauh dari pemukiman warga karena berada di
bawah bukit, hanya ada beberapa rumah di samping kanan dan diri.
Saat melihat ke kanan dan kiri, dia melihat sebuah rumah yang tidak pernah diperhatikannya selama ini. Rumah itu ada di atas bukit, berwarna putih dan kelihatan sama tuanya dengan rumah kakek dan neneknya. Renata heran juga kenapa dia belum pernah menyadarinya. Padahal rumah itu cukup mencolok. Mungkin karena ada beberapa rumah tua di sini, pikirnya.
Interior rumah sama jadulnya dengan penampilan luar, walaupun barang-barang modern memberi kesan yang sangat berlawanan arah. Lantai rumah terbuat dari ubin berwarna kekuningan, dinding berwarna putih bersih. Ruang tamu berisi perabot kayu sederhana dan lukisan pemandangan yang cukup besar.
Ruang keluarga sangat luas, dengan perabot modern dan karpet besar berwarna merah. Ada
lampu besar menggantung di tengah. Renata ingat dulu saat kecil lampunya adalah lampu kuno, yang lalu diganti seiring perkembangan zaman. Di sebelah ruang keluarga ada ruang makan, yang berseberangan dengan dapur.
Om menarik koper kedua Renata ke kamar dan Renata mengikutinya. Kamar Renata cukup
luas. Ranjang Renata sudah diletakkan sehari sebelumnya, sementara lemari dan meja belajarnya akan menyusul. Jendela kamarnya sudah dibuka luas, angin segar masuk seolah menyambut kedatangannya.
“Kalo kamu mau, nanti interior kamar bisa diubah. Anak muda biasanya suka yang modern,” kata Om Wendra sambil tersenyum. Renata tersenyum.
“Makasih banyak Om, nggak usah repot-repot.”
“Ya udah, kamu mandi dulu sama ganti baju. Abis itu makan siang ya, udah disiapin soalnya,” kata Om. Renata mengangguk.
Renata meletakkan koper di samping tempat tidurnya dan mengeluarkan baju. Dia tidak akan membongkarnya sampai lemarinya datang, walaupun ada lemari kecil di kamar itu.
Setelah mengambil baju, Renata duduk di tepi tempat tidurnya. Matanya terpejam, bibirnya
bergetar. Dia merasa seakan ingin menangis lagi. Semua ini terlalu berat dihadapinya.
Terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Dia kangen ayah dan ibunya...Seharusnya dia sekarang tidak sedang berada di rumah ini...
Rumah yang besar dan terasa sepi baginya. Rumah asing yang mulai sekarang harus
ditempatinya. Dia ingin kembali ke rumahnya... Dia ingin berada di kamarnya sendiri...
Renata tiba-tiba tersentak. Bulu kuduknya meremang dan dia menoleh. Di belakangnya, di jendela yang terbuka lebar, Renata merasa aneh, seperti ada sesuatu. Dia mengernyitkan mata saat menyadari bahwa lewat jendela itu terlihat pemandangan bukit yang tadi dilihatnya.
Saat Renata menoleh ke bukit itu, dia merasa bahwa ada seseorang yang mengawasinya. Dia memandang rumah besar yang dilihatnya saat sampai, dan dia sangat yakin baru saja melihat seseorang melintas di jendela lantai 2.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
tika JF
kayak baca novel luar ya ga si
2021-10-18
0
Flo🌹
Eva Jongh.. 😍
2021-10-01
0
Jans🍒
ku mampir boomlike buat ,author srta ku krim mawar🌹
2021-09-30
0