Sekilas Kenangan

"Ada orang yang mau bekerja di sini. Bukankah kau sedang mencari pekerja tambahan?” tanya Fazwan.

Mereka sedang bersantai di lantai dua, rumah Raka. Sementara Arsa sedang bermain di luar, setidaknya bocah itu tidak pergi jauh-jauh dari sekitar rumahnya. Raka juga sudah berpesan, kalau dia mau pergi bersama temannya, bocah itu harus meminta izin dulu padanya atau pada Fazwan. Bocah itu penurut.

“Iya. Jika ada orang yang kau kenal, kita bisa merekrutnya--”

“Ada,” kata Fazwan cepat.

Seolah lelaki itu tidak membiarkan Raka menyelesaikan kalimatnya. “Dia seorang wanita. Temanku, dia juga lumayan baik dan rajin. Kalau kau mau, aku akan membawanya besok,” tambah Fazwan.

Raka memutari sofa tempat mereka duduk dan menuju mesin pembuat kopi. Dia tidak perlu menanyakan apakah Fazwan mau minum kopi atau tidak, karena yang pasti temannya itu tidak akan menolak kopi yang sudah dibuatkan untuknya. Setelah sepuluh menit lamanya menunggu kopi yang sudah jadi, dia memberikan kopi tersebut pada Fazwan sambil menghidu kepulan asap berbau kopi di atas cangkirnya.

“Malam ini aku akan pulang ke rumah. Ngomong-ngomong kenapa Arsa belum juga kembali?” khawatir Fazwan.

Raka yang baru saja merebahkan bokongnya langsung berdiri dan turun ke lantai pertama. Dia berkelarian di kafenya yang sepi itu, lalu keluar dari pintu utama. Sebentar lagi akan petang, dan bocah itu belum juga pulang.

“Ayah, ayah, di sini.”

Raka menatap anaknya yang sedang melambai, di tangan kanannya ada sebungkus es krim, bocah itu berlari menghampirinya, Raka mengangkat tubuh anaknya ke dalam gendongan dan membawanya masuk.

“Kau dari mana? Dan siapa yang memberimu es krim?” tanya Raka, didapatinya Fazwan yang kelihatan buru-buru, “Kau mau pulang sekarang?” tanyanya dan langsung mendapat anggukkan dari Fazwan.

Lelaki itu mengacak-acak rambut Arsa. “Jangan buat ayahmu khawatir ya,” katanya, lalu mengelus wajah Arsa yang belepotan karena bekas es krim. Bocah kecil itu menurut, mengangguk.

“Nenek yang ada di sebelah memberikanku ini. Ah iya ayah, aku melihat tetangga baru kita. Dia tersenyum padaku,” katanya polos sesaat Raka mendudukkannya di atas sofa. “Dia mirip seperti ibu.”

***

Dia berdiri di depan mayat istrinya sambil menggendong Arsa kecil. Arsa yang memanggil-manggil ibunya membuat Raka semakin sedih. Dia masih ingat bagaimana tubuh kaku Meera penuh darah yang ditinggalkan di TKP saat itu. Arca saat itu masih tidak tahu apa-apa, jadi dia hanya bertanya dengan polos, apa yang terjadi pada ibunya. Raka juga harus memberitahunya dengan sangat hati-hati bahwa mereka tidak akan pernah lagi bertemu dengan ibunya.

“Kenapa? Kenapa kita tidak boleh bertemu dengan ibu?” tanyanya sambil menangis. Raka ikut sedih melihat putra kecilnya itu.

“Ibu sudah bahagia sama Tuhan di sana. Tuhan sangat menyayangi ibu,” kata Raka mengelus rambut tipis putranya. Lalu memeluk bocah kecil yang tidak tahu apa-apa dan masih menangis itu.

“Kalau sekarang, di sini, kan masih ada ayah. Jadi Arsa jangan ke mana-mana ya, tetap sama ayah.”

“Tapi ayah tidak akan pergi jauh, kan? Pergi jauh seperti ibu. Kalau Tuhan lebih menyayangi ayah dan ibu, bagaimana denganku? Aku akan sendirian di sini,” kata Arsa menangis, Raka mengusap wajah anaknya yang basah oleh air mata.

“Tidak, ayah janji tidak akan meninggalkan Arsa. Ayah akan selalu bersama Arsa. Arsa anak ayah yang baik dan pintar,” kata Raka lalu merangkul anaknya.

Itulah saat-saat dimana perpisahan antara mereka dan Meera, dan hari itu juga menjadi hari tugas terakhirnya di kemiliteran. Raka mengabdikan diri untuk menjaga dan melindungi keluarga satu-satunya.

“Sekarang kau harus membersihkan tubuhmu dulu. Ayah tidak mau memberikanmu cokelat kalau kau belum bersih,” kata Raka.

Arsa mengangguk dan langsung pergi ke kamarnya, Raka memandangi sosok kecil yang tengah melepaskan pakaiannya dan hendak mandi itu. Raka berharap agar anaknya itu menjadi anak yang baik. Ngomong-ngomong, tetangga baru mereka sudah datang ya? Berarti rumah itu tidak sepi lagi, juga rumah itu pasti akan terang benderang. Raka mengintip dari tirai jendelanya, memang rumah itu menyala. Mungkin besok pagi dia akan menyapa tetangga barunya itu.

***

Ruangan itu agak meremang. Arsa sudah tidur beberapa jam yang lalu. Anak kecil itu tidak bisa tidur kalau tidak ditidurkan oleh Raka. Lelaki itu selalu membacakan dongeng untuk anaknya agar bisa terlelap. Sebuah bingkai foto di bawah lampu yang meremang, Raka hanya memandangi sosok yang dipeluk di dalam bingkai foto itu. Wanita itu tersenyum dengan sangat cantik, rambutnya disanggul ke belakang hingga memperlihatkan leher jenjangnya. Raka mencintai pemilik leher itu, pemilik senyuman itu, bahkan apa yang ada pada sosok di dalam bingkai foto itu disukainya.

“Seharusnya kau ada di sini sekarang. Seharusnya kau melihat Anca tumbuh dengan baik. Dia menjadi anak yang baik dan sangat periang,” katanya seolah berbicara dengan mendiang istrinya.

Dia menyalurkan rindunya pada bingkai foto yang sekarang ada di dalam dekapannya. Mengenang hal-hal manis yang pernah mereka lakukan bersama. Saat wanita itu tertawa, saat mereka berpelukan, juga saat mereka tiduran di atas rumput ilalang. Raka tersneyum masam. Hal-hal yang lalu masih mengingatkannya akan betapa besar cintanya pada mendiang istrinya itu.

“Kau harus membuat anak kita bahagia. Jika nanti aku sudah tidak ada di sini, kau harus mencari seseorang yang menyayangimu, juga menyayangi anak kita,” kata Meera suatu ketika, seolah wanita itu tahu bahwa umurnya tidak akan lama, seolah kalimat itu adalah pesan terakhirnya. “Carilah wanita yang menyayangi Arsa seperti anaknya sendiri,” kata Meera lagi saat mereka sedang piknik di bawah pohon yang ada di belakang rumah.

Arsa saat itu baru lahir dan Raka sudah minta izin satu minggu untuk cuti dari kemiliteran. Dia sendiri heran, kenapa wanita itu mengatakan hal yang demikian. Apakah ada sesuatu yang tidak diketahui oleh Raka mengenai istrinya itu atau mungkin, apakah istrinya sedang sakit?

“Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?” tanya Raka sambil mengelus-elus lembut pipi bayi kecil yang sedang berada dalam gendongan Meera.

Wanita itu mengulum senyum sambil mencium kening bayi kecilnya.

“Untuk apa aku menyembunyikan sesuatu darimu? Aku menyayangi kalian berdua. Jika ada apa-apa, aku selalu memberitahumu. Tapi jika suatu hari nanti aku pergi, kuharap kau bertanggung jawab sepenuhnya atas anak kita, dan carilah seseorang yang mencintai kalian berdua.”

“Kau tidak akan kemana-mana, kita akan membesarkan Arsa bersama-sama. Kita akan melihat anak kita tumbuh dengan baik. Kita bertiga akan selalu bersama,” kata Raka memeluk keluarga kecilnya itu.

Arsa yang merasa hangat dalam dekapan kedua orang tuanya itu tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang belum tumbuh.

***

“Ayah, ayah.”

Pagi itu Raka terkesiap bangun saat dilihatnya Arsa sudah berada di hadapannya. Sepertinya bocah kecil itu baru saja bangun, karena masih mengenakan baju tidurnya sejak semalam. Arsa juga belum mencuci wajahnya, sehingga matanya masih kelihatan mengantuk. Jam berapa sekarang? Ah, dia tertidur semalaman di ruangan itu, ia juga lupa menutup pintu, bahkan bingkai foto istrinya masih berada dalam dekapan. Untung saja, jam weker di samping televisi mereka belum berbunyi, jadi ini masih terlalu pagi untuk siap-siap pergi ke sekolah. Belum juga terdengar suara ayam berkokok, jadi Raka menggendong putranya dan membawanya kembali ke kamar, menidurkan bocah laki-laki itu.

Tapi Raka tetap terjaga. Sembari menunggui subuh, dia membuat sarapan dan bekal untuk putranya. Satu jam lagi, dia akan membangunkan Arsa. Kalau saja Fazwan tidur di sini semalam, mungkin mereka sudah membagi tugas masing-masing. Tapi Fazwan memilih pulang ke rumah dan berjanji untuk datang pagi ini.

Pagi yang sibuk untuk Raka, saat dia harus kembali membangunkan Arsa. Hal itu memang sudah biasa baginya. Untung saja Arsa tidak merengek-rengek saat dibangunkan seperti dulu. Raka menyiapkan seragam sekolah, makanan dan bekal, lalu mengantar anaknya pergi ke sekolah.

“Tidak ada yang ketinggalan?” tanya Raka saat mereka sudah berada di depan mobil.

Arsa memeriksa tas sekolahnya, lalu menggeleng. Berarti semuanya sudah siap. Raka membukakan pintu untuk anaknya, lalu menaikkan bocah laki-laki itu ke kursi penumpang, dan memasangkan sabuk pengaman untuknya.

Pagi ini Raka tidak melihat si tetangga barunya keluar. Tetangganya itu juga tidak mengambil koran pagi yang biasanya sudah diletakkan di depan rumah oleh bapak pengantar koran keliling yang ada di sekitar komplek mereka.

Kenapa tetangganya itu tidak pernah kelihatan? Batinnya.

Raka memutari mobil dan menyusul anaknya ke dalam, lantas mengendarakan mobilnya meninggalkan halaman rumah.

Terpopuler

Comments

₦⑂. Ⓙυ☂€✘

₦⑂. Ⓙυ☂€✘

Hadir

2020-08-24

0

Rabaniyasa

Rabaniyasa

sukses buat karyamu thor..

2020-06-01

1

Dilchan

Dilchan

aku udah mampir nihh..
semangattt😍

2020-04-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!