Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga semuanya sehat selalu ya!
.............
"Aku sudah dewasa, pa! Aku tidak ingin terburu-buru menikah, apalagi dengan gadis pilihan papa!" ucap Zack.
Baru saja ia mau menyantap makan malamnya, papanya menelpon dan menyuruhnya untuk makan malam bersama di rumah. Papanya mengatakan akan memperkenalkan Zack dengan gadis pilihan papa dan mamanya. Gadis itu putri semata wayang dari rekan bisnis papanya.
"Pilihan papa adalah yang terbaik untukmu," seru Cavero di seberang telepon.
"Aku hanya akan menikah dengan gadis pilihanku sendiri," Zack berkata lirih.
"Benarkah? Papa tahu betul bagaimana sifatmu. Kamu itu punya banyak ponsel untuk apa? Untuk mempermudah menjadwal kencanmu dengan wanita-wanitamu, kan? Kamu saja punya banyak wanita dan tidak tahu apa itu cinta, lalu kapan kamu akan menikah? Papa ini sudah tua, ingin cepat menggendong cucu! Apalagi kamu dan Zain sama-sama tidak ingin bekerja di perusahaan,"
"Aku sudah tidak punya banyak wanita, pa! Papa lupa, semua wanitaku berdemo waktu itu? Suruh Zain menikah duluan saja!" jawab Zack singkat.
"Dia tidak mau menikah duluan, belum ada jodoh katanya!"
"Nah... Harusnya papa jodohkan gadis itu dengan Zain saja. Sebagai kakak harusnya dia menikah duluan, pa! Masak aku melangkahi!" Zack tersenyum smrik.
"Zain siap dilangkahi katanya," ucap Cavero.
"Papa mau gendong bayi kan? Ya sudah buat bayi saja dengan mama, seperti Om Erick! Sudah ya pa... Zack sibuk!"
Tut,
Zack melemparkan ponselnya ke sofa. Nafsu makannya hilang seketika. Usianya yang sudah genap 26 tahun membuat papanya selalu memintanya untuk cepat menikah. Padahal kakaknya, Zain yang berusia 27 tahun belum menikah juga. Kalau seperti ini ia harus menemui kakaknya itu, Zack akan meminta Zain menikah. Agar papa tidak terus memaksanya menikah, apalagi dengan cara dijodoh-jodohkan.
Zack mengambil kunci mobilnya, tidak lupa ia mengambil jaket kesayangannya. Ia akan menemui kakaknya sekarang juga. Zain, kakak Zack tinggal di apartemen yang tidak jauh dari apartemen Zack. Ya! Kedua kakak beradik itu tidak ada yang tinggal di rumah orang tua mereka ataupun bekerja di perusahaan milik keluarga. Keduanya mencari pundi-pundi uang dengan hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua mereka. Mereka bukan penikmat harta orang tua. Baru saja Zack melangkah keluar dari unit apartemennya, ada saja yang menguji emosinya.
Gedubrak,
Seorang gadis menabraknya, buku-buku bertebaran di lantai. Parahnya kemeja Zack terkena tumpahan cokelat.
"Kalau jalan pakai mata!" Zack menggibaskan kemejanya.
"Dasar orang gila! Jalan itu pakai kaki lah, mana bisa jalan pakai mata!" sahut gadis itu.
Zack memutar bola matanya malas saat tahu siapa gadis itu. Siapa lagi kalau bukan Mei. Mei sekarang sedang mengejek Zack dengan cara memelototkan matanya sambil menunduk ke bawah.
"Nih, lihat! Mana bisa jalan pakai mata!" seru Mei.
"Terserah kamu saja!" seru Zack.
Zack berjalan meninggalkan Mei yang masih menengomel sambil mempraktekkan jalan menggunakan mata. Terpaksa Zack harus kembali ke unit apartemennya untuk berganti baju.
"Setiap kali bertemu gadis itu hidupku selalu dalam masalah," gumam Zack.
Di luar dugaan Zack, Mei masih ada di depan unit apartemennya. Gadis itu berkacak pinggang.
"Apa lagi? Aku sedang buru-buru!" seru Zack kesal.
"Ganti cokelatku dulu!" ucap Mei.
"Besok aku ganti, sekarang kembalilah ke habitatmu!" Zack menunjuk unit apartemen Mei yang ada di paling ujung.
"Aku maunya sekarang," ucap Mei.
"Beli sendiri saja kalau begitu," jawab Zack.
"Tidak bisa, uang jajanku hari ini sudah habis!" protes Mei.
"Bisa kuliah di sini tapi kok kere," lirih Zack.
"Apa kamu bilang?" Mei melotot.
"Bukan apa-apa, besok akan aku belikan! Sekarang aku ada urusan penting!"
"Baiklah, besok tidak apa-apa. Tapi ada syaratnya," Mei tersenyum smrik.
"Cepat katakan!" seru Zack.
"Selain cokelat, aku juga mau jus alpukat, chicken wings, chicken nuggets, kentang goreng, ice cream vanila, kue sus, puding leci, dan sup jamur! Sudah itu saja!" ucap Mei.
"Kamu mau merampokku?" Zack menatap Mei dengan tajam.
"Ya sudah kalau tidak mau, aku akan mengikutimu!" Mei tersenyum smrik.
"Baiklah, besok akan kubawakan semua itu. Sekarang menyingkirlah!" seru Zack.
"Siap gerak!" Mei berjalan ke unit apartemen miliknya seperti seorang petugas bendera.
"Semoga istriku kelak tidak seperti dia," Zack melangkah pergi.
Zack mengemudikan mobilnya dengan santai. Jarak apartemen Zain tidak jauh juga. Dalam sepuluh menit mobil Zack sudah memasuki basement. Zack masuk ke dalam lift dan menekan angka 16, lantai tempat unit apartemen Zain berada.
Ting,
Sepi, tidak ada orang di lantai itu. Zack berpikir, pasti orang yang menghuni lantai ini sama seperti Zain. Tidak pernah keluar malam, cuek, dan irit bicara. Sesampainya di depan unit apartemen Zain, Zack tidak mengetuk pintu. Tapi ia menggedor pintu itu dengan keras.
Brak brak brak,
"Sebentar," terdengar suara dari dalam.
Pintu besar itu dibuka dari dalam, nampak seorang pria tampan dan kaku keluar dari apartemen itu. Tingginya sedikit lebih rendah dari Zack, tapi mereka sama-sama tampan.
"Oh kau, kukira depkolektor!" ucap Zain dingin.
Zack hanya mengangkat bahunya, lalu ia masuk tanpa permisi. Dan duduk di sofa dengan kaki yang dinaikan ke atas meja. Zain duduk di sofa seberangnya. Menatap Zack dengan tatapan dingin.
"Tidak ada makanan?" tanya Zack.
"Tidak," jawab Zain singkat.
"Minuman ada?" tanya Zack lagi.
"Mau soda, susu, kopi, sirup, atau jus?" tanya Zain.
"Aku mau soda," Zack tersenyum, untuk pertama kalinya Zain menawarkan minuman yang beraneka macam. Biasanya hanya diberikan air mineral saja.
"Soda tidak baik untukmu, air mineral saja ya!" Zain beranjak dari duduknya.
"Kalau begitu kenapa tadi menawarkannya?" Zack kesal.
"Cuma basa-basi," jawab Zain sedikit berteriak dari dapur.
"Aku penasaran bagaimana caramu mengajar di kampus, mahasiswamu pasti kabur semua," Zack menggoda.
Zain adalah dosen di salah satu universitas terkenal negeri ini. Belum lama, mungkin sekitar 15 bulanan. Tapi Zack tidak tahu dimana kakaknya mengajar. Lebih tepatnya, Zack tidak tertarik dengan kehidupan kakaknya. Menurutnya kehidupan kakaknya terlalu kaku dan lurus.
"Beda tempat beda sikap, beda lawan bicara juga beda perlakuan," Zain meletakkan segelas air mineral di meja.
"Terserah kau saja lah, Pak Dosen!" Zack menyerah, berdebat dengan Zain membuatnya pusing kepala.
"Sekarang katakan, apa tujuanmu datang kemari?" Zain memulai obrolan serius.
"Cepatlah menikah, aku lelah mendengar papa yang selalu memintaku untuk menikah!" ucap Zack.
"Kalau kau lelah mendengarnya, menikahkan! Selesai masalahnya." jawab Zain.
"Kau kan kakakku, menikahlah lebih dulu! Aku tidak ingin melangkahimu, aku masih ingin hidup bebas!"
"Aku tidak punya calonnya, lagipula aku tidak keberatan jika kau langkahi!" ucap Zain cuek.
"Papa akan mencarikan calonnya," jawab Zack.
"Aku tidak suka perjodohan," Zain mengalihkan wajahnya.
"Percuma aku berunding denganmu," Zack beranjak dari duduknya.
"Itu kau tahu,' jawab Zain.
Blam,
Zain menutup pintu itu. Diam-diam Zain kepikiran dengan apa yang diucapkan Zack tadi.
"Menikah?" gumam Zain.
Sementara Zack, ia menendang ban mobilnya dengan keras karena kesal. Saat itu juga alarm mobilnya berbunyi dengan nyaring. Dua orang security datang menyerapnya.
"Jangan kabur kau, maling!" seru security itu.
"Ini mobil saya," ucap Zack santai.
"Jangan ngaku-ngaku," security itu tidak percaya.
Akhirnya Zack mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ia menekan tombolnya, dan lampu depan mobilnya berkedip membuktikan mobil itu memang miliknya.
"Maaf, tuan!" kedua security itu menyingkir memberikan jalan.
"Wajah tampan seperti ini bisa-bisanya dikira maling! Tapi sebenarnya aku yang bodoh sih, ngapain nendang ban!" oleh Zack.
-------------------------------------------------‐--------‐------
Di paris,
Reza menyenderkan kepalanya di jok mobil. Pagi ini ia akan menemui psikiater yang sudah dijadwalkan Glen kemarin.
"Bagaimana tikus itu?" tanya Reza memecah keheningan.
"Siang ini akan saya kirimkan semua informasi yang bos minta, sekarang bos harus konsentrasi pada pengobatan!" jawab Glen.
"Hmm," jawab Reza singkat.
Reza merapihkan rambutnya saat mobilnya memasuki area rumah sakit yang mereka tuju. Glen mengikuti Reza sampai ke depan ruangan psikiater. Glen hanya menunggu di depan, membiarkan bosnya masuk sendirian.
Saat Reza masuk, seorang psikiater wanita duduk dengan anggun di kursinya. Mempersilahkan Reza untuk duduk di kursi yang telah di sediakan. Psikiater itu pertama-tama mengajak Reza untuk berkenalan dan mengobrol santai. Psikiater itu bernama Abel. Baru kemudian Reza menceritakan apa yang dia alami, dan awal mula kegilaan itu berawal.
"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanya Reza setelah menceritakan masalahnya pada psikiater itu.
"Gangguan ini bisa dikendalikan dengan cara mengikuti terapi rutin, perlahan anda dapat mengontrolnya. Obat ini hanya bersifat menenangkan saja, anda harus terapi rutin untuk bisa mengelola gangguan kejiwaan ini." Abel menyodorkan sebungkus obat.
"Berikan jadwalnya pada sekretarisku, saya permisi." Reza meninggalkan ruangan itu.
Ada secerca harapan di kedua bola mata Reza. Walaupun psikiater itu menjelaskan gangguan kejiwaannya tidak bisa sembuh karena sudah masuk dalam kepribadiannya. Tapi dengan terapi rutin ia bisa mengelola emosinya. Itu artinya ia tidak perlu takut dibenci Silvi karena kekurangannya ini.
.................
Jangan lupa like, vote, dan tinggalkan komentar sesuka kalian ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Rafiah Taufik
lnjuttt....mdah2an beda dr yg lain
2021-10-28
0
Mommy Gyo
3 like hadir thor mampir dikaryaku cantik tapi berbahaya
2021-08-15
1
Dwi Agustin
zain kan dosennya mei ya...
2021-07-27
1