Arini membaringkan tubuhnya di atas kasur menatap langit-langit kamar kosnya. Pikiran menerawang kemana-mana, antara memikirkan perkataan dosen pembimbingnya dan ibunya yang sedang sakit di sana.
Ia bingung, entah apa yang harus ia lakukan. Ingin pulang kampung dan menjenguk ibunya yang sakit, itu tidak mungkin. Gajinya di kafe tak seberapa, hanya cukup untuk ia membayar sewa kosnya dan makanan untuknya sehari-hari, belum lagi ongkos untuk pulang ke kampung.
Dan jika ia pun berhasil pulang, maka uang dari mana untuk ibunya berobat? Jika ia tidak bekerja lagi di kafe itu, maka bagaimana dengan biaya kebutuhannya sehari-hari? Lalu bagaimana dengan kuliahnya? Pertanyaan demi pertanyaan datang silih berganti menghantui pikiran Arini. Hingga bunyi ponselnya membuyarkan lamunannya.
Drt... drt...
Arini mengambil ponselnya, dan melihat siapa yang meneleponnya malam-malam begini.
Arumi, kenapa Arumi meneleponnya malam-malam? Jangan-jangan...
Dari pada penasaran dan mengira-ngira apa yang terjadi, Arini mengangkat telepon dari adiknya itu.
"Assa...." Belum sempat Arini mengucapkan salam terdengar suara Arumi yang tengah menangis tersedu-sedu di ujung sana.
"Assalamu'alaikum. Kak... kak hiks... ibu, ibu kak, hiks...." Kata Arumi tak jelas karena sambil menangis, suaranya parau.
"Wa'alaikumussalam. Ibu kenapa Rum?" tanya Arini panik pada adiknya.
"Ibu kak hiks... ibu... ibu tadi pingsan hiks... terus pas di periksa sama dokter katanya hiks... salah satu ginjal ibu bermasalah hiks... dan... dan harus di operasi secepatnya hiks... kalau tidak... nyawa ibu jadi taruhannya hiks...." Ucap Arumi sambil menangis tersedu-sedu.
Dunia rasanya bergetar, kepala Arini sakit, tapi cepat-cepat ia menguasai dirinya dan berusaha menguatkan hatinya. Ia bertanya pada Arumi.
"Rum, kamu tanya berapa biaya untuk operasi Ibu?” tanya Arini, saat ini yang terpenting adalah ibunya bisa dioperasi. Ia tahu ibunya tidak akan bisa dioperasi jika biaya administrasinya belum dilunasi.
Masih terdengar suara tangisan di seberang sana, sampai...
"Iya kak, tiga ratus juta hiks... dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu kak hiks...." Kata Arumi masih sambil menangis.
Arini tercengang mendengar nominal biaya operasinya sebanyak itu, air matanya luruh jatuh tanpa permisi, ia bingung bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sampai suara Arumi membuatnya kembali sadar.
"Kak... kak... hiks...." Suara Arumi memanggil namanya.
"Kamu tenang ya, Rum. Kakak akan usaha in untuk dapat uang secepatnya agar ibu bisa dioperasi. Insya Allah ibu akan dioperasi." Jawab Arini berusaha menenangkan hati adiknya. Padahal ia sendiri bingung, hatinya tidak tenang, takut tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
"Iya kak, hiks...." Jawab Arumi, lalu telepon pun terputus.
Setelah sambungan telepon terputus Arini menangis sejadinya, tangisan yang ia tahan sejak tadi. Ia bingung apa yang harus ia lakukan sekarang, agar bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi ibunya.
*****
Arini terbangun ketika matahari bersinar memasuki jendela kaca kamar kosnya. Ia berusaha berdiri, namun sesaat kemudian ia terjatuh. Kepalanya pusing efek dari ia menangis semalam hingga subuh tadi, mata bawahnya hitam pekat akibat ia baru tertidur setelah menunaikan solat subuh.
Arini berusaha ke kamar mandi, berjalan sedikit demi sedikit dengan tangannya memegang tembok untuk membantunya berjalan.
Ia membersihkan tubuhnya dan bersiap ke kampus. Siapa tahu di kampus ada temannya yang memiliki cukup uang, untuk ia bisa pinjam dan membayar biaya administrasi ibunya.
Sebelum pergi, Arini sempat bercermin. Lalu mengambil tas ransel kecilnya dan memakaikan di belakang punggungnya. Ia kembali bercermin merapikan tas di belakang punggungnya, lalu keluar dari kos tersebut.
Di luar kos ia disapa oleh Naya, tetangga kosnya. Naya sama dengan Arini, ia juga adalah anak yang merantau untuk menuntut ilmu. Tapi, Naya beda kampus dengan Arini, sebab ia kuliah di kampus biasa dan buka anak beasiswa seperti Arini.
"Pagi-pagi udah siap aja, Rin! Mau berangkat ke kampus ya?" tanya Naya pada Arini.
"Iya ni, Nay. Ada kelas pagi, sekalian biar nggak macet." Jawab Arini.
"Iya, hati-hati di jalan." Kata Naya dengan sedikit berteriak, karena Arini sudah jalan agak jauh.
"Iya, makasih." Lirih Arini juga setengah berteriak, sambil terus berjalan meninggalkan kos menuju kampusnya.
*****
Tiba di kampus Arini masuk kelas pagi, setelah itu ia pergi ke kantin dan memesan makanan di sana sambil mengobrol dengan sahabatnya Dian.
Arini memesan nasi goreng biasa dan air putih, sedangkan Dian memesan semangkuk soto dan es teh. Mereka makan dengan damai, hingga selesai makan Arini menceritakan bahwa ia membutuhkan uang 300 juta pada Dian.
"Apa?!" teriak Dian kaget, mendengar nominal uang yang akan Arini pinjam kepadanya. "Tiga ratus juta." Dian mengulangi ucapan Arini, takut-takut ia salah dengar dengan apa yang Arini ucapkan barusan.
"Iya." Jawab Arini sambil menunduk dalam. "Kamu punya nggak, Din?" lanjut Arini lagi.
"Mana punya aku uang sebanyak itu Rin, kamu juga tahu kan, aku berasal dari keluarga mana?" ucap Dian sedikit tidak enak pada Arini. Karena kali ini ia tidak bisa membantu Arini sama sekali. "Emang itu uang buat apa, Rin." Tanya Dian pada sahabatnya itu.
"Uang itu buat operasi ibuku, Din. Salah satu ginjal ibu bermasalah dan harus segera di operasi, makannya sekarang aku lagi cari uang itu." Jawab Arini dengan raut wajah sedih.
"Astagfirullah." Dian membekap mulutnya sendiri. Ia tak menyangka, ternyata ibu sahabatnya ini sakit parah bahkan harus dioperasi. "Aku benar-benar minta maaf, Rin. Aku nggak bisa bantu ibu kamu buat bayar operasinya." Kata Dian setelah ia membuka mulutnya dari bekapan tangannya sendiri. Ia sangat merasa bersalah karena tidak bisa membantu sahabatnya, untuk biaya operasi ibunya yang sedang sakit.
Arini mengangguk paham. Ia memahami kenapa Dian tidak bisa membantunya, karena pada dasarnya Dian tidak jauh berbeda dengan keadaannya.
"Iya, nggak papa. Aku paham kok keadaan kamu." Ujar Arini.
"Makasih Rin, aku hanya bisa bantu do'a. Semoga ibu kamu cepat sembuh dari sakitnya." Kata Dian masih dengan rasa bersalahnya.
"Iya, makasih juga do’a nya." Jawab Arini, sambil tersenyum tulus pada Dian.
Beberapa saat kemudian hening, tidak ada lagi suara yang keluar di antara mereka berdua. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.
Hingga Dian memecah keheningan tersebut.
"Rin. Bagaimana kalau kamu coba pinjam di bos kita, siapa tahu dia bisa meminjami uangnya." Saran Dian pada Arini.
Arini mengangguk setuju, tidak ada salahnya ia mencoba. Lagi pula ia tak memiliki kenalan lagi untuk ia bisa meminjam uang, selain bosnya itu. Semoga ia bisa meminjamkan uangnya, hanya itu harapan satu-satunya Arini.
"Iya, aku akan mencobanya. Makasih ya, Din." Ujar Arini pada Dian, dan buru-buru bangun dari duduknya.
"Iya, sama-sama." Jawab Dian. "Eh kamu mau kemana?" lirih Dian, melihat Arini yang bangun dari duduknya dan ingin melangkah pergi.
"Mau ke kafe." Jawab Arini sambil sedikit berteriak karena jaraknya dengan Dian sudah cukup jauh.
*****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Widi Widurai
ga pake bpjs?
2023-01-11
2
Pasmina Aisyah
lanjut
2022-05-23
0
Roroazzahra
😱yang benar masa buat operasi ginjal semahal itu jadi takut mikirnya 🙈
2022-05-12
1