My Son Is My Strength
Ketika mendengar kata Jakarta, yang terlintas dalam pikiran Arini adalah kota metropolitan, kota yang menyesakkan. Kota yang seolah menjadi magnet bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat luar Jakarta berbondong-bondong mendatangi kota ini untuk mencari pekerjaan ataupun menempuh pendidikan.
Pandangan Arini mengarah pada jendela bus yang ia naiki, memandangi lingkungan sekitar. Berbagai macam kesibukan langsung terpampang di depan matanya. Jalanan padat, gedung-gedung menjulang tinggi, juga hiruk pikuk keramaian masyarakat Jakarta yang tak kenal waktu.
Yaa... Arini sekarang ada di Jakarta, untuk menempuh pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu sarjana. Arini awalnya tidak percaya kalau ia bisa kuliah di kota ini dan memasuki Universitas yang cukup bergengsi untuk kalangan atas, apalagi kalangan bawah sepertinya... itu seperti mimpi bagi seorang Arini untuk berkuliah di kampus seperti ini. Sebab ia memasuki Universitas ini hanya bermodalkan beasiswa, bermodalkan kepintaran saja. Kalau seandainya Arini bermodalkan kekuatan ekonominya, dapat dipastikan itu sungguh mustahil.
Untuk menyambung kehidupan di kampungnya saja, ibunya harus bekerja serabutan dari satu tempat ke tempat lainnya dan dia bekerja paruh waktu agar dapat membantu ibunya untuk memikul beban sebagai tulang punggung keluarga.
Ayahnya telah meninggal tiga tahun yang lalu. Awalnya ia kejang-kejang, lalu sesak napas, setelah itu pingsan. Saat itu, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membawa ayahnya ke rumah sakit, maka dari itu mereka hanya membawa ayahnya ke puskesmas.
Sesampainya di sana. Puskesmas terlihat sepi, ayah Arini di masukkan ke ruang IGD. Dari luar Arini melihat beberapa perawat menekan alat pacu jantung di dada ayahnya.
Arini hanya dapat melihat ayahnya dari balik jendela kaca ruang IGD tersebut. Ia sedih melihat ayahnya seperti itu, air matanya menggenang. Hingga suara mesin mengalihkan pandangannya, ia tertegun melihat garis lurus di mesin itu.
Air matanya yang menggenang dari tadi kini jatuh sudah, ia tak bisa menahan lagi. Sedih rasanya, sangat sedih. Ayahnya yang dulu selalu ada untuk Arini dan adiknya kini telah pergi, pergi untuk selama-lamanya.
Semenjak saat itu ibunya lah yang menjadi pengganti kepala keluarga, menjadi tulang punggung bagi keluarga kecil mereka.
Arini mempunyai seorang adik perempuan yang tentunya sangat ia sayangi, mereka hanya dua bersaudara. Namanya Arumi.
*****
Sejak pengumuman kelulusan SMA dan berita yang di sampaikan oleh gurunya kemarin, Arini terus termenung di samping jendela kamarnya. Menatap senja yang datang membawa warna jingga kemerahan. Jika saja suasana hati Arini sedang baik. Tentu saja, senja sore ini sangat indah untuk dinikmati, tapi tidak... hati Arini sekarang sedang tidak baik-baik saja.
Sudah tiga puluh menit lebih ia duduk di sini, merenung, menimbang, mengira-ngira, keputusan apa yang harus ia ambil.
Lama ia hanya diam. Tak tahu keputusan apa yang harus ia ambil, dan apakah keputusan yang ia ambil akan tepat atau malah sebaliknya? Ia bingung tentang semua yang ada di hadapannya, apakah ia harus mengejar impiannya ke kota besar dan meninggalkan ibunya yang semakin tua dan adiknya yang masih belum tahu apa-apa? Atau berdiam diri di kampung ini dan mengubur semua yang pernah ia cita- citakan selama ini?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti, berputar-putar dalam benaknya. Arini sungguh bingung saat ini, bahkan sangat bingung, dengan semua pertanyaan tersebut, hingga satu suara membuyarkan lamunannya.
"Arini." Panggil ibunya, dengan suara lembut dan meneduhkan.
Ia membalikkan kepala ke belakang. Ada seseorang yang memanggilnya, dan tentunya ia kenal suara itu berasal dari siapa.
"Iya, Bu?" Jawabnya, sambil menatap mata Ibu yang telah melahirkannya itu, mata yang sayu, letih, meneduhkan yang juga sedang menatap manik mata Arini.
"Kamu lagi mikirin apa?" Tanya ibunya dengan suara lembut, sambil mendekati dan duduk disebelah anaknya itu.
"Aku nggak mikirin apa-apa. Hanya menikmati suasana senja ini.” Jawabnya dengan sedikit berbohong.
"Kamu nggak usah berbohong sama ibu, ibu sudah tahu sifat kamu itu bagaimana. Jadi nggak usah berbohong sama ibu!" jawab ibunya pada Arini, dengan suara yang masih lembut.
"A... a... aku jadi lulusan terbaik di sekolah, Bu." Jawab Arini dengan sedikit gugup, karena ibunya tahu bahwa ia sedang berbohong.
"Alhamdulillah, bagus dong kalau begitu. Terus kenapa Arin bingung dan terlihat sedih?" Jawab ibu senang dan sekaligus bertanya pada Arini kenapa ia bingung dan raut wajahnya yang terlihat sedang bersedih.
"Sebenarnya bukan hanya itu Bu, Arin juga dapat beasiswa buat kuliah di universitas yang berada di Jakarta. Dan itu berarti, Arin bakalan ninggalin ibu sama adek sendirian di sini.” Jawab Arini dengan raut wajah yang semakin sedih, menandakan ia tak ingin dan tak bisa berpisah dengan ibu dan adik kesayangannya itu.
Ibunya terdiam, beberapa menit, lalu menarik napas panjang. Mengusap rambut Arini.
"Arin. Ibu sama adek nggak sendirian kok di sini, masih ada paman Joni, bibi Anum, dan tentunya ada Allah SWT yang selalu menjaga ibu sama adek. Jadi kamu nggak usah khawatir kalau masalah itu, yang harus kamu khawatirkan itu kamu sendiri nak... karena kamu hanya sendiri di sana, apalagi itu kota besar.” Jawab ibunya, dengan menyebutkan satu persatu nama tetangga yang memang baik kepada mereka.
"Tapi....” Kata Arini menggantung, karena ia bingung apakah ia harus senang? Dengan ibunya yang mengizinkan untuk pergi. Dan itu berarti, ia harus meninggalkan ibu beserta adiknya.
"Ibu mendukung mu nak, kejarlah cita- citamu sampai kau mendapatkannya. Memang semuanya tak mudah, tetapi, tak ada yang tak mungkin, kan?" Kata ibunya, menghilangkan keraguan pada diri Arini.
"Kejarlah cita-citamu!" Ia memeluk Arini. Air matanya mengalir begitu saja, ada perasaan sedih, senang untuk putrinya. Sedih karena sebentar lagi ia harus berpisah dengan putrinya, dan senang karena putrinya bisa kuliah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. "Kamu harus sukses, nak!" Lirihnya lagi.
Mendengar penuturan ibunya, Arini sekarang yakin, akan keputusan apa yang harus ia ambil. Dan sebenarnya keputusan ini jugalah yang Arini inginkan, ia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi serta mengejar semua impian yang telah ia cita-citakan selama ini.
Sore itu menjadi sore yang paling berarti bagi Arini. Ibunya mengizinkannya untuk merantau mengejar cita-cita. Berbekal dari uang hasil kerja kerasnya dan dari uang saku yang di berikan oleh ibunya, ia berangkat ke Jakarta. Ibu kota yang terkenal tak ramah. Namun, Arini bukanlah perempuan yang lemah untuk menghadapi semua itu. Ia perempuan yang kuat dan tangguh.
*****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Mamah Tado
😭😭😭😭
2023-04-22
1
Mamah Tado
kak aku pedatang baru
2023-04-22
1
Edah J
Hadirr ☝️
baru baca udah nangis nih 😢
2023-01-10
1