Ketika Yuna Bertemu Duda
"Lepasin gak!" gertak lelaki bermasker dengan pisau di tangan.
Yuna, gadis berwajah cantik dengan pakaian santai pun menggeleng ragu. Ransel yang sudah si rampok pegang makin Yuna peluk. Dia benar-benar tidak bisa menyerahkan tas itu. Di sana adalah hidupnya. Semua uang yang dia bawa ada dalam situ.
Yuna memucat, antara takut akan senjata yang rampok pegang dan takut jatuh menjadi gelandangan.
"Keras kepala banget, sih! Lepas gak!" hardik si rampok lagi. "Atau aku gak bakalan segan-segan nyakitin kamu." Penuh penekanan pada kalimat ancaman itu.
Tetapi Yuna kembali menentang. Dia sungguh sangat berharap ada yang melihat kalau dirinya sedang dirampok. Sialnya tak ada satu pun yang lewat membuat Yuna makin resah.
Tanpa Yuna harap, senjata itu menggores lengannya. Yuna menjerit dan si rampok pun lari terbirit-birit.
"Rampok! Tolong! Ada rampok!"
Yuna berteriak lantang seraya mengejar. Dia terus melangkah lebar dengan kakinya yang tak seberapa panjang, tapi sialnya si tersangka dihampiri oleh kawanan yang mengendarai motor. Secepat kilat si rampok melompat ke motor.
Yuna panik. Dengan seperempat keyakinan dan diterangi lampu pendar komplek yang sepi, dia buka sepatu kets yang dikenakan lantas melemparkan dengan mantap. Sayangnya meleset. Si rampok sudah melesat kabur dan sepatu mendarat di truk terbuka yang kebetulan melintas.
Orang-orang yang barusan mendengar teriakan Yuna berbondong keluar rumah dan mulai berkerumun. Mereka melihat iba pada Yuna yang histeris menjerit. Bagaimana tidak? Semua uang dan harta berharganya ada dalam ransel yang diambil itu.
"Sabar ya, Dek."
"Kita lapor polisi, ya."
"Keluargamu mana?"
Masih banyak lagi perkataan simpati orang-orang yang sebenarnya makin membuat Yuna kesal. Dia tak punya apa-apa lagi, tak punya ponsel, dompet ataupun uang. Niat hati tadi ingin mencari kontrakan di lingkungan itu. Siapa yang menduga dirinya berakhir dirampok dan terancam menjadi gelandangan.
Yuna kembali meraung. Dia menerjang pasir yang ada di sana, adegan dramatis pun tak terelakkan. Yuna mendadak seperti anak kecil yang merajuk jika tidak dibelikan mainan.
"Sabar, Dek." Seorang tetangga yang iba langsung meraih ponsel dan menghubungi polisi.
Yuna yang meraung tentu saja berhenti. Dia cegah ibu itu. Bisa brabe jika polisi yang turun tangan. Bisa-bisa drama kabur-kaburan yang tengah dilakoni berakhir memalukan. Bagaimana tidak, dia nekat pergi dari rumah karena menentang perjodohan yang keluarganya atur. Apa jadinya jika keluarga besar tahu kalau dirinya mendapat kemalangan saat proses kabur-kaburan yang belum sehari dia lakukan?
Menggelang keras-keras, Yuna hapus air matanya lalu menatap si ibu itu. "Tolong jangan lapor polisi, Buk. Saya gak apa-apa, kok. Beneran. Uang yang diambil juga gak seberapa."
Hais! Ingin sekali Yuna menggigit lidahnya yang berdusta itu. Uang yang barusan dia bilang tidak seberapa sebenarnya berjumlah tujuh puluh enam juta. Uang hasil merampok isi yang ada dalam brangkas ayahnya. Mendadak dia menyesal membawa uang cash dalam tas. Dia pikir jika menarik uang di ATM yang ada di Jakarta, keluarga besar pasti akan mengetahui keberadaannya. Namun, ternyata dia salah menduga. Mengelak singa dirinya malah masuk ke lubang buaya.
"Kamu bener-bener yakin gak perlu lapor polisi?" tanya ibu itu lagi.
Yuna mengangguk.
"Ya udah. Lebih baik kamu pulang. Sekarang sudah malam."
Orang-orang seketika bubar. Tinggallah Yuna yang kembali melangkah. Meski berat dia tetap mengayunkan kaki. Pikiran yang kacau membuat Yuna tak tahu harus melakukan apa. Dia terus berjalan menahan lapar, kedinginan dan lelah. Namun, ke mana tempat bernaung?
Yuna mendesah. Dilihatnya kaki yang kehilangan sepatu sebelah. Melihat itu air matanya meluruh juga. Dia menangis dalam diam lalu berjongkok memeluk lutut.
Entah kenapa Yuna merasa mendapat teguran dari Tuhan. Namun, dia tetap tak punya niatan untuk pulang.
Dalam kebimbangan itu Yuna merasa ada yang aneh. Rasa keram menyerang tiba-tiba. Pinggang mendadak nyeri dan perut menjadi tidak enak. Pikirannya langsung tertuju pada tamu bulanan. Benar saja, sesuatu yang seharusnya tak terjadi membuat Yuna kelimpungan. Dia sadar kalau tengah mengalami menstruasi. Bahkan celana jeans yang dikenakan sudah bernoda dan lengket.
Pasrah, frustrasi, malu dan benci membuat Yuna menangis sesenggukan. Ia terduduk dengan posisi kepala bertumpu pada lutut.
"Tolongin ... tolong, siapapun tolongin aku. Kalau laki-laki akan aku jadikan suami. Kalau perempuan aku akan lakuin apa pun yang dia mau. Tapi tolong, bantu aku dari situasi memalukan ini ...."
Terdengar begitu lirih Air mata pun semakin banyak sebelum akhirnya sebuah cahaya lampu mobil menerpa wajah.
Menghalangi cahaya itu dengan tangan, Yuna dapat melihat lampu mobil itu menyorot tepat kepadanya.
"Neng, bisa minggir sebentar gak? Saya mau lewat!" seru seseorang dari balik kemudi.
Yuna bergeming, bagaimana bisa bergerak dalam sikon begitu? Perutnya nyeri dengan noda darah yang makin meluber di celana.
"Neng! Bisa minggir gak? Saya mau lewat!" ulang pria itu. Terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
Yuna menghapus air matanya, bagaimanapun dia sadar karena sudah berada di depan pagar rumah orang lain. Meski demikian, Yuna tak punya keberanian untuk pergi dari sana.
Bak kepiting, Yuna pun berjalan menyamping dengan posisi masih berjongkok.
"Maaf, Pak," balas Yuna. Dia dapat menangkap ekspresi kesal si pria paruh baya yang ada di balik kemudi. Anehnya pria yang ada di kursi penumpang tak berekspresi sama sekali. Dia hanya memberikan tatapan kosong pada Yuna yang berjongkok di sana.
Mendesah lagi, Yuna tertunduk lalu kembali berkata lirih, "Tolong ... siapapun tolong aku ...."
Visual Yuna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
"¥u°©h@n🌺🌺🌺
👍👍👍
2022-04-12
0
Mur Mursyidah
semagat...?
2022-01-02
0
Fatma Ningsih
dosa di bayar kontan. makanya jangan jadi anak jangan durhaka
2021-12-19
0