Sebuah keputusan yang Aksa ambil sangat menyulitkan. Bukan karena dia tidak ingin memperjuangkan cintanya. Namun, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Keputusan yang telah menyakiti dirinya sendiri. Keputusan yang akan membunuh hatinya.
Maafkan aku, Riana. Aku bukan pria baik. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan. Biarkan aku si pengecut ini tenggelam dalam lautan luka yang tidak berkesudahan.
Sepasang tangan melingkar di pinggang Aksa, dengan cepat Aksa melepaskannya. Membalikan
tubuhnya menatap nyalang ke arah Ziva.
"Kenapa kamu lancang masuk ke dalam kamarku!" sentak Aksa.
"Kamar kamu berarti kamar aku, juga 'kan," kilah Ziva.
"Cih, teori dari mana? Sekarang kamu pergi!" usir Aksa
Ziva masih berdiri di tempatnya. Dia malah membuka piyama yang dia pakai hingga memperlihatkan lekuk tubuh indahnya. Namun, Aksa hanya tersenyum tipis.
"Tidak ada rangsangan apa-apa kepadaku," ucapnya dan meninggalkan Ziva begitu saja.
"Shit!" geram Ziva.
Aksa memilih pergi ke lapangan basket. Tempat ternyaman ketika dia sedang tidak karuhan. Dia duduk di samping lapangan sambil menatap langit malam.
"Benar 'kan, bukan hanya hatiku yang mati rasa. Tubuhku pun ikut mati rasa," gumamnya dengan senyum tipis.
Aksa melihat tubuh Ziva yang mulus tanpa cacat. Namun, semuanya terasa biasa. Tidak ada desiran aneh atau gejolak rasa yang membuatnya bergairah. Seperti melihat manekin, itulah Ziva di mata Aksa.
Suasana rumah di pagi hari terasa memanas karena kehadiran orang tua Ziva. Aska sudah tidak ingin melihat Sarah. Namun, dia juga harus tahu apa yang akan dilakukan oleh Sarah. Pasti akan ada rencana yang Sarah siapkan.
"Gi, aku sudah membelikan rumah untuk anak-anak kita tinggal," imbuh Sarah.
"Untuk apa? Rumah ini masih mampu menampung empat puluh orang," ketus Ayanda.
"Biar anak-anak kita mandiri dan juga bisa bebas memproduksi cucu yang lucu-lucu untuk kita," balas Sarah.
"Cucu dajjal," celetuk Aska.
Ingin rasanya Sarah menampar mulut Aska yang tidak ada sopan-sopannya. Namun, dia harus menjaga sikap di depan keluarga besan.
"Tidak perlu repot-repot," tolak Aksa.
"Aku sudah punya apartment sendiri. Tinggal menempati saja," lanjutnya dengan suara datar.
Setelah kepergian para pria untuk pergi bekerja, Sarah dan Ziva mengobrol di kamar Ziva.
"Ya ampun Mih, Aksa itu gak punya nafsu atau gimana, sih?" keluhnya.
Dahi Sarah mengkerut tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Ziva.
"Kamu sudah tidur satu kamar?" Sebuah anggukan yang menjadi jawaban.
Senyum bahagia terukir di wajah Sarah. "Akhirnya, dia luluh juga," ucapnya pada Ziva.
"Luluh gimana, Mih? Semalaman aku sengaja tidur hanya memakai baju jaring ikan pemberian dari Mamih, tetapi Aksa malah diam saja. Menatap aku pun nggak. Aku mau cium bibirnya aja, aku yang didorong sama dia. Sampai aku terjengkang dan jatuh ke lantai," adunya.
Jika, Aska mendengar aduan Ziva sudah pasti Aska tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba perut Ziva mual dan dia segera berlari menuju kamar mandi. Dimuntahkan apa yang telah dia makan.
"Ya ampun. Kenapa sekarang begini?" gumam Ziva.
"Hasil kemarin bagaimana?"
"Garis dua samar," jawab Ziva.
Wajah Sarah terlihat panik, dia harus bertindak. Dia membisikkan sesuatu ke telinga Ziva dan dijawab anggukan olehnya.
***
Di kafe milik Aska, dia sedang duduk di sofa sambil menatap foto seorang pria yang baru saja dia terima dari anak buahnya.
"Baiklah, kita mulai permainan kita."
Jam istirahat Aska dikejutkan dengan kedatangan Remon ke kafe miliknya. Dahinya mengernyit karena tidak biasanya tangan kanan ayahnya ini datang ke sini.
Remon menyerahkan amplop cokelat kepada Aska tanpa sepatah kata pun. Tubuh Remon dia jatuhkan ke atas sofa empuk.
"Gara-gara kamu, Om dapat bogem mentah," sungutnya sambil menunjuk ujung bibirnya yang berdarah.
"Daddy marah?" Tangan Aska sudah memegang amplop cokelat yang Remon berikan.
"Murka sekali." Aska hanya terkekeh mendengar aduan dari Remon.
Remon terus mengatakan kepada Gio belum ada titik terang tentang surat wasiat. Sehingga Gio benar-benar marah. Kata-kata kasar yang keluar dari mulut Gio harus Remon terima dengan hati yang kesal.
Senyum melengkung indah di wajah Aska setelah melihat isi dari amplop cokelat itu.
"Benar 'kan dugaanku," ucap Aska.
"Ya, tapi kita tidak bisa bertindak mereka pintar berkilah. Kita harus menunggu kondisi bos besar pulih dan juga pengacara Christo sadar. Mereka berdua saksi kunci dari ini semua. Tidak akan ada elakan lagi dari mereka." Aska mengangguk paham.
"Sekarang masalahnya ada pada Abangmu. Apa dia mampu menahan hasrat biologisnya?" Remon sedikit ragu.
Hampir semua laki-laki memiliki nafsu yang lebih besar dari pada wanita. Apalagi Ziva bukanlah wanita jelek, bisa dikatakan Ziva adalah wanita sempurna.
"Abang pasti bisa," jawab yakin Aska.
****
Sesuai dengan ide sang ibu. Ziva masuk ke dalam dapur berniat untuk membawakan kopi panas untuk Aksa. Ziva mengambil kopi yang tersedia di dapur. Ziva sangat tahu bahwa Aksa sangat suka cappucino.
Dia menuangkan serbuk kopi instan itu ke dalam cangkir. Dia tuangkan air panas ke dalamnya. Setelah selesai, dia menuangkan bubuk putih yang dia ambil dari saku piyama.
"Pasti kamu akan menyentuhku," gumam Ziva.
Dengan senyum manis, Ziva masuk ke dalam ruang kerja Aksa yang berada di samping kamar mereka.
"Apa tidak bisa tanganmu mengetuk pintu terlebih dahulu?" sengit Aksa.
"Maaf, aku lupa," sahutnya lembut.
Mendengar ucapan Ziva membuat Aksa bergidik.
"Diminum ya, kopinya." Aksa semakin heran dengan sikap Ziva. Ada kecurigaan di hati Aksa.
Setelah Ziva pergi, Aksa melihat ke arah secangkir kopi yang telah Ziva siapkan.
"Cih, kopi untuk siapa itu? Wanita sok tahu," dengusnya.
Aksa turun ke lantai bawah menuju dapur untuk membuat kopi.
"Bukannya tadi istri Abang buatin kopi buat Abang?" imbuh Aska.
"Bukan, mungkin buat pria lain. Sejak kapan Abang suka cappucino?" Aska pun terkekeh mendengar ucapan sang abang.
Mampoes! Begitulah batin Aska berucap.
"Bang, Adek numpang kamar mandi, ya. Di kamar mandi Adek airnya gak keluar gak tau kenapa. Di kamar mandi yang lain gak enak. Cuma kamar Abang yang kamar mandinya sama kayak kamar mandi Adek," ujar Aska.
"Pake aja, tapi ada si manekin di kamar Abang," sahut Aksa sambil mendudukkan diri di meja makan.
"Manekin?" ulang Aska. Aksa hanya mengangguk.
"Ziva maksudnya?"
"Siapa lagi," sahut Aksa datar.
Sungguh Aska ingin tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan sang abang. Namun, harus dia tahan hingga waktunya tiba.
"Adek mandi dulu, ya."
"Hem."
Pintu kamar terbuka, dengan cepat Ziva membuka mata.
"Sayang," panggil manja Ziva.
"Kamu kegerahan, ya," lanjut Ziva yang kini sudah turun dari tempat tidur. Melangkahkan kaki menuju orang yang baru saja masuk ke dalam kamarn. Sedangkan orang itu menatap Ziva dari bawah hingga atas dengan alis yang menukik.
"Stop!" serunya, ketika langkah Ziva berada satu meter di depannya.
Ziva mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Padahal sang suami sudah memaki boxer serta membuka bajunya menandakan obat yang dia berikan bereaksi.
"Apa lu gak punya baju, Juminten?"
Mata Ziva membelalak mendengar suara yang bukan suara suaminya. Apalagi sekarang dia hanya memakai baju jaring ikan yang sangat tipis.
...****************...
Komen mana komen ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 356 Episodes
Comments
Wildan Abd
si juminten🤣🤣🤣🤣🤣
2022-02-08
0
Susan Roveline Tedja
hahaha..gk bisa bedain mana Aska atau aksa
2021-09-13
0
nani haryati
ngakak... salah sasaran
2021-08-12
0