Gio, Ayanda serta kedua putranya menghampiri ranjang pesakitan Genta. Gio menatap monitor yang ada di samping sang ayah. Dahinya mengkerut, tetapi seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Kemudian tangannya menekan tombol urgent untuk memanggil dokter.
"Dad, Ayah tidak apa-apa 'kan?" Wajah Ayanda terlihat sangat cemas.
Tidak ada jawaban dari Gio. Matanya terus menatap ke arah layar monitor. Aksa menatap sedih ke arah sang kakek. Dia menggenggam tangan Genta dengan eratnya.
"Bangunlah, Kek. Abang butuh bantuan Kakek," batin Aksa lirih.
Para dokter yang menangani Genta pun berhambur masuk ke dalam ruang perawatan. Mereka segera mengecek kondisi Genta. Lima belas menit kemudian, senyum terukir di wajah salah satu dokter senior.
"Saya yakin Anda sudah mengetahuinya," ujar dokter Christ kepada Gio. Anggukan lah yang menjadi jawaban dari Gio.
"Maksudnya apa, dok?" tanya Aksa penasaran.
"Tuan Genta sudah melewati masa kritis."
"Alhamdulillah," ucap Ayanda serta dua anaknya.
Hati Aksa bisa sedikit lega. Genta lah yang akan menjadi penentu kebahagiaan Aksa nantinya.
"Bukalah mata, Kakek," pinta Aksa.
Aska mengusap pelan punggung sang kakak. Memberikan ketenangan kepada Aksa.
"Adek yakin, Kakek pasti sadar. Namun, kita harus bersabar." Aksa menatap ke arah Aska dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
Tidak ada seorang pun yang menanyakan perihal Ziva. Padahal Aksa pergi ke Jogja bersama Ziva. Namun, dengan sengajanya Aksa meninggalkan wanita jelmaan jelangkung itu. Ziva memang menantu dari Gio dan juga Ayanda. Namun, sebagai menantu yang tidak diinginkan.
Aksa masih betah berada di samping ranjang pesakitan sang Kakek. Menatap sedih ke arah Genta yang masih terbaring lemah dengan alat medis yang menempel di tubuhnya.
"Kek, apa Kakek tidak lelah tertidur terus? Apa Kakek tidak rindu dengan cucu kesayangan Kakek?" Bibir Aksa memang tersenyum. Namun, air matanya menetes begitu saja.
"Kakek tidak hadir dalam pernikahan Abang yang penuh penderitaan dan kesakitan. Kakek juga tidak melihat betapa sedihnya Abang di acara akad serta resepsi. Kata orang Abang menjadi raja sehari. Sedangkan bagi Abang hari itu adalah hari di mana penderitaan Abang yang sesungguhnya akan dimulai."
"Kakek tahu, tidak? Ada wanita yang sangat Abang sayangi. Dia datang ke acara pernikahan Abang. Dia terlihat sangat cantik dengan menggunakan gaun berwarna baby blue kesukaannya. Dia juga mengucapkan kata selamat dengan deraian air mata." Kini, Aksa pun mulai terisak.
Ayanda sungguh tidak sanggup melihat putranya seperti ini. Dibalik kharisma yang Aksa miliki ada kerapuhan yang dia pendam seorang diri.
"Abang ingin menangis pada waktu itu, tetapi Abang tahan, Kek. Abang tidak ingin dinilai laki-laki berengsek yang sudah menyia-nyiakan wanita secantik dia," ucapnya lagi.
"Apa surat wasiat itu benar adanya? Atau hanya rekayasa belaka, Kek." Aksa meletakkan punggung tangan Genta ke arah pipi Aksa.
"Abang ingin bahagia bersama wanita yang Abang sayangi dan cintai, Kek. Kakek pasti tahu siapa orangnya," imbuhnya lagi.
"Wanita yang kata Kakek mirip dengan Kak Echa dan harus Abang perjuangkan. Namun, kenapa nasib Abang seperti ini, Kek? Abang menikahi wanita yang sama sekali tidak Abang sayangi, apalagi cintai. Abang hanya mencintai Riana, Kek. Hanya Riana yang Abang cintai." Aksa pun menunduk dalam dan menumpahkan segala kesedihannya kepada sang kakek.
Genta adalah orang yang sangat menyayangi Aksa. Dia sudah menyiapkan Aksa untuk menjadi penerus Wiguna Grup. Semua yang terbaik dari yang baik sudah Genta berikan. Termasuk restu yang memang sudah Aksa dapatkan untuk menikahi Riana.
"Kek, Abang mohon sadarlah. Katakanlah yang sebenarnya. Abang hanya ingin sebuah kebenaran. Jangan siksa Abang dengan penderitaan berupa kesedihan dan kesakitan yang selalu menghampiri Abang. Sekarang ini Abang menjelma menjadi laki-laki lemah dan cengeng, Kek."
Aska dan Gio merasakan kesedihan yang Aksa rasakan. Sangat sakit, tetapi tidak berdarah. Pepatah itu yang cocok untuk Aksa.
Dua hari sudah mereka berada di Singapura. Keluarga Gio memilih untuk kembali ke Jakarta, Pekerjaan sudah menunggu mereka di tanah air. Kondisi Genta yang menunjukkan perkembangan yang baik setiap harinya membuat Gio sedikit tidak khawatir meninggalkan sang ayah. Lagi pula Gio sudah megerahkan beberapa orang kepercayaannya untuk menjaga Genta. Para dokter pun siap untuk menjaga Genta. Karena mereka banyak memiliki hutang budi kepada Genta. Serta penjagaan ketat Gio kerahkan di depan ruang perawatan Genta serta rumah sakit.
Mereka sudah dijemput oleh pesawat pribadi untuk menuju Indonesia. Aksa hanya bisa menutup matanya. Mengingat pertemuannya dengan Riana beberapa hari yang lalu yang berakhir sebuah perpisahan yang terlambat mereka lakukan.
"Apa benar kamu sudah memiliki calon suami?" Hati Aksa tidak mempercayainya. Dia yakin, Riana juga susah untuk melupakannya. Begitu juga Aksa yang memang tidak bisa melupakan Riana.
Tibanya di Indonesia, Aksa pulang ke rumah kedua orang tuanya. Sedangkan Gio, Ayanda serta Aska datang ke rumah Echa untuk menengok cucu-cucu dan keponakan mereka.
Baru saja Aksa menekan gagang pintu kamar di mana dia tertidur terpisah dengan Ziva. Suara seseorang membuat tangan Aksa hanya diam di atas gagang pintu.
"Suami macam apa, kamu? Meninggalkan istrimu seorang diri di Kota orang," omel Sarah.
"Mana tanggung jawabmu?" seru Sarah.
"Harusnya kamu itu membahagiakan istrimu, bukan malah selalu menyakitinya, Jika, bukan karena surat wasiat itu, saya juga tidak sudi untuk menikahkan putri kesayangan saya dengan pria lembek sepertimu," ujar Sarah yang penuh dengan emosi hingga menunjuk-nunjuk wajah Aksa.
"Bagus jika begitu, itu akan mempermudah perceraian anakku dan putrimu." Sarah mematung mendengar suara yang sangat dia kenali.
"Sekarang juga aku bisa mengurus perceraian Aksa dan juga Ziva," ucap Gio dengan suara tenang. Namun, wajahnya sudah menunjukkan kemarahan.
"Jangan Dad," tolak Ziva yang memang sedari tadi bersama sang Mamih.
"Putra Daddy sudah meniduri aku. Apa Daddy tega memisahkan aku dengan Aksa yang sudah menggilai tubuh aku?" terang Ziva,
"Bohong, Dad," elak Aksa.
"Jangan mengelak, Aksa. Aku punya bukti." Ziva memberikan beberapa lembar foto kepada Gio. Aska pun mendekat ke arah Daddy-nya. Dahinya mengkerut, kemudian dia menatap ke arah Aksa. Aksa hanya menggeleng. Menandakan itu tidak benar.
Foto yang Ziva berikan adalah foto intim mereka berdua. Apalagi bibir Aksa yang sudah menyentuh bagian sensitif Ziva. Seperti bayi besar. Aska menyerahkan foto itu kepada Aksa. Mata Aksa melebar dengan sempurna.
"Ini tidak mungkin, Dek. Ini tidak mungkin, Dad." Lagi-lagi Aksa menolak.
"Ya udah, kalo ini sudah terjadi. Surat wasiat itu tidak penting lagi. Kita tidak perlu susah-susah mencari tahu tentang itu lagi. Kita fokus kepada kesehatan Kakek saja," jelas Aska.
"Kamu benar, Dek." Ada gurat kecewa yang Gio tunjukkan kepada Aksa. Begitu juga Ayanda.
"Dad, Mom, itu tidak benar. Abang belum pernah menyentuhnya," terang Aksa.
"Itu sudah ada buktinya, Abang. Masih bisa kamu mengelak," geram Ayanda.
Gio, Ayanda serta Aska meninggalkan Aksa yang masih menatap keluarganya yang pergi. Sedangkan Ziva dan Sarah sudah tersenyum tipis.
"Makanya kalo melakukan itu jangan dalam keadaan mabuk. Gak sadar 'kan," cela Sarah.
Aksa benar-benar mengerang kesal. Dia memukul dinding ketika semua orang telah pergi.
"Aku tidak melakukannya. Sungguh tidak melakukannya," teriak Aksa.
...****************...
Komen lebih dari 70 aku up lagi siang ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 356 Episodes
Comments
mommy neng
apa ini syarat buat jd penerus keluarga? kudu nangis2 dulu
2023-03-21
0
Putri Salsa Bila Jasmin
dasar Aksa kucing garong ternyata 🙄🙄🙄
2022-02-11
0
Dee01
juminten menang kali ini
2021-09-30
0