Sebelumnya, untuk yang mau baca silahkan baca yang gak mau baca silahkan di skip aja. Dan yang bilang ceritanya rumit sok tinggalkan saja. Aku mah tidak memaksa. Ceritaku diperuntukan hanya untuk yang suka.
Sudah cukup aku pusing memikirkan jalan cerita. Tidak ingin meladeni sebuah komentar yang tidak berguna. Jika tidak suka dengan alur ceritanya. Sok, buat cerita sendiri saja. Agar kalian merasakan bagaimana jadi seorang penulis cerita.
...****************...
Pintu kamar Aksa terbuka, Aska menatap pilu sang kakak karena sudah banyak darah yang mengalir di jari-jemari Aksa.
"Bang," panggil lirih Aska.
Tubuh Aksa semakin bergetar menandakan dia sedang menangis tanpa suara. Aska mendekat ke arah Aksa dan memeluk tubuh sang kakak. Setiap kesedihan Aksa akan menjadi kesedihan untuknya. Begitu pula sebaliknya. Saudara kembar itu memang sehati. Aska memilih pergi dari hotel karena takut terjadi sesuatu dengan sang abang. Benar saja, abangnya sedang menikmati setiap luka batin dan fisiknya.
"Aku sudah mati rasa," lirih Aksa yang masih menunduk.
Aska tidak dapat berbicara. Mulutnya kelu melihat Aksa seperti ini. Aska bangkit dan mencari kotak obat. Dengan telaten Aska mengobati tangan Aksa. Tanpa ada yang berbicara. Terlebih Aksa sedang menikmati kesedihannya.
"Abang sudah memiliki istri. Ikhlaskan Riana, dia juga berhak bahagia, Bang."
Aksa menatap sendu ke arah Aska. Matanya menyorotkan kesedihan yang sangat mendalam.
"Mengucap kata ikhlas di bibir itu sangat mudah. Bukankah keikhlasan datang dari hati?" balas Aksa dengan suara bergetar.
"Kamu mudah nyuruh Abang bilang ikhlas karena kamu tidak merasakan apa yang Abang rasakan," ungkap Aksa dengan deraian air mata yang tidak bisa surut dari matanya.
"Abang ingin menikah dengan wanita yang Abang cintai. Ingin menjabat tangan ayah dari orang tua wanita itu untuk mengucapkan ijab kabul. Bersanding di pelaminan dengan senyum sungguhan. Menampilkan kemesraan yang sesungguhnya. Bukan hanya kepura-puraan. Seperti sandiwara pernikahan," sambung Aksa lagi.
"Abang tidak sanggup, Dek. Abang ingin menyerah." Air mata Aska menetes melihat kerapuhan Abangnya di depan matanya. Hatinya ikut sakit mendengar penuturan yang berasal dari hati Aksa terdalam.
"Abang lebih memilih untuk mati. Dari pada harus menjalani hidup berumah tangga dengan wanita yang tidak Abang cintai."
"Jangan bicara seperti itu, Bang. Bukan hanya Abang yang kecewa. Mommy, Daddy, serta Kak Echa pun kecewa. Mereka juga tidak tega melihat Abang dan Riana harus berpisah seperti ini. Di dalam pernikahan ini yang menjadi korban bukan hanya Riana. Abang pun menjadi korban," jelas Aska.
"Adek tahu, Abang sangat menyayangi Riana. Begitu juga Riana yang masih mencintai Abang. Akan tetapi, status Abang sekarang ini sudah berubah. Abang sudah sah menjadi suami Ziva," lanjut Aska lagi.
"Abang tidak mencintai dia, Dek. Abang hanya mencintai Riana," jawab Aksa pilu.
Aska harus sabar menghadapi Aksa yang benar-benar sedang depresi. Menghubungi Radit pun tidak ada jawaban. Ingin memanggil abang iparnya di rumah sebelah tidak mungkin. Aska tidak akan meninggalkan kembarannya ketika kondisinya sedang terguncang seperti ini.
Satu jam berselang, Aksa sudah terlelap dengan perban di tangannya. Aska selalu setia mendampingi sang Abang. Karena dia tahu, abangnya membutuhkan teman untuk sekedar menghilangkan keluh kesahnya, kesedihannya serta kekecewaannya.
Hingga suara sedikit berisik terdengar dari lantai bawah. Aska bangkit dari duduknya dan hanya menghela napas kasar ketika mereka semua merangsek masuk ke dalam kamar Aksa. Kedua orang tuanya serta orang tua Ziva dan juga Ziva sudah berada di hadapan Aska.
"Jangan masuk, Abang sedang tidur," larang Aska dengan wajah tegas.
"Aku istrinya, aku ingin melihat suamiku," paksa Riana.
"Kamu hanya istri bukan Ibu dari Abang. Mommy pun aku larang masuk. Kenapa aku harus mengijinkan kamu masuk? Kedudukan kamu masih di bawah Mommy. Seorang pria meskipun sudah menikah, orang pertama yang harus dia utamakan adalah seorang ibu. Baru istri," pungkas Aska tanpa ekspresi. Sedangkan Ziva sudah diselimuti emosi.
"Apa Abang kamu baik-baik saja?" tanya Gio dengan raut wajah khawatir.
"Nyaris bunuh diri." Ucapan Aska membuat semua orang terkejut.
"Adek harap, kalian mengerti bagaimana kondisi Abang saat ini. Psikis Abang terguncang karena sebuah pernikahan dadakan. Hanya karena surat wasiat yang belum tentu benar," terang Aska.
"Harusnya kita menunggu Kakek. Jangan terlalu gegabah. Pikirkan perasaan Abang. Jangan hanya memikirkan perasaan satu belah pihak," tukas Aska.
"Pihak perempuan pasti sangat senang. Berbeda dengan pihak laki-laki yang memang sudah memiliki wanita yang dia cintai. Tidakkah kalian kasihan melihat nasib Abang seperti ini?" Aska benar-benar meluapkan unek-uneknya.
"Apakah kamu tidak merasa menjadi wanita yang tidak memiliki harga diri?" sergah Aska kepada Ziva.
"Jaga ucapanmu, Aska!" bentak Sarah yang tidak terima.
"Kenapa? Bukankah itu benar adanya. Ziva wanita dan Riana pun wanita. Pasti Ziva tahu bagaimana rasanya dikhianati. Pasti Ziva tahu betapa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi pas lagi sayang-sayanganya. Harusnya Ziva tahu itu dan mengerti. Tidak seenaknya mengambil keputusan tanpa adanya sebuah kesepakatan," balas Aska menggebu.
"Harusnya kalian itu tidak egois. Tunggu Kakek sadar dulu baru kalian bertindak," bentaknya pada keluarga Sarah.
"Gio, didik kedua anak kamu itu untuk berbicara sopan kepada orang yang lebih tua," tegur Sarah pada Gio.
"Dan Tante, didik juga anak Tante untuk menjadi wanita yang lebih terhormat," sahut Aska. Dia pu segera masuk ke dalam kamar sang Abang dan menguncinya dari dalam. Dia tidak ingin kondisi abangnya semakin terguncang karena sebuah keributan.
"Jaga sikap kamu, Sarah. Kita memang sudah jadi keluarga. Belum tentu anak pertamaku menyetujuinya meskipun kata sah sudah diserukan. Karena dari awal aku sudah menolak surat wasiat itu. Kamu lah yang menjebak kami, dengan membuat undangan pernikahan yang telah kamu sebar kepada semua orang. Kamu tahu, aku dan Ayank sedang fokus mengurus Ayah. Kami juga sedang dirundung duka. Akan tetapi, kamu malah membuat masalah yang harusnya tidak ada menjadi ada," geram Gio.
"Apa yang anakku katakan tidak ada yang salah. Dan kamu masih bisa berbahagia karena Aksa tidak akan pernah mempermainkan janji suci pernikahan. Namun, aku tidak menjamin anakku mau mengakui anakmu sebagai istrinya." Tubuh Ziva seketika lemas mendengar ucapan dari ayah mertuanya. Begitu juga Sarah yang sudah melebarkan matanya.
"Ketiga anakku tidak akan pernah melawan kepada siapapun kecuali, mereka terusik," tegas Gio. Mengajak istrinya yang sedari tadi menatap pintu kamar Aksa untuk pergi. Membiarkan Ziva dengan kedua orang tuanya mematung di sana.
"Ayah, cepatlah sadar," batin Gio lirih.
Aska hanya bisa memandang sendu tubuh kembarannya. Siluet kesedihan dan kepedihan terlihat jelas. Badannya pun semakin kurus.
"Apa yang harus Adek lakukan, Bang? Adek gak tega liat Abang seperti ini," lirih Aska.
Abangnya yang dijodohkan Aska lah yang marah besar. Dia benar-benar menentang. Meskipun Aksa masih menyikapinya dengan tenang. Aksa berpikir perjodohan ini tidak akan berlangsung. Ternyata, surat undangan telah tersebar luas ke para kolega Gio dan Genta, serta sahabat Aksa. Di situlah kemarahan Aksa memuncak. Aksa hampir membunuh Ziva jika tidak dihentikan oleh semua orang.
Ketika Riana kembali ke Jakarta dan rumah Ayanda sepi seperti tidak berpenghuni. Gio beserta keluarga sedang berada di Singapura. Mereka mendapat kabar jika kondisi Genta semakin menurun dan dinyatakan kritis.
...****************...
Komennya banyakin dong ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 356 Episodes
Comments
guntur 1609
sabar thor tetap semangat
2023-09-02
0
henny soelistyo
waahh... makin seru aj... braavoo tjoooorrr
2021-09-28
0
Susan Roveline Tedja
kakek Genta cepatlah sadar
2021-09-13
0