Tiga hari kemudian, Jesi ditelpon bahwa ia diterima ditempat perusahaan yang dilamar dan bahwa ia besok bisa mulai bekerja dikantor.
"Ya, Tuhan, akhirnya aku diterima," kata Jesi, sambil meloncat-loncat karena kegirangan. Dengan segera Jesi menyiapkan pakainya serta keperluan yang lain, ia ingin besok bekerja dengan penampilan yang rapi dan sopan sehingga tidak ada yang memandang dirinya dengan aneh ataupun memprotes penampilannya yang sederhana itu.
"Ibu ... ayah ... akhirnya aku sudah bekerja di sebuah perusahaan yang aku inginkan selama ini. Ibu dan ayah tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi karena aku akan berjuang sekeras mungkin mencapai impianku yang selama ini kalian ingin. Sekarang kalian bisa tenang disana, selamat malam Ibu ... ayah ..." ucap Jesi menatap foto kedua orang tuanya yang telah meninggal itu, rasanya ia sangat merindukan kedua orang tuanya yang sudah lama meninggalkan dirinya untuk selamanya. Setelah mempersiapkan semuanya, perlahan-lahan Jesi merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil memeluk foto kedua orangtuanya dengan sangat erat hingga tanpa sadar lagi membuat nya tertidur dengan buliran air mata di kedua pipi cantik nya itu.
***
Pukul 4.30 menit alarm Jesi berbunyi dengan cukup nyaring dan menandakan hari sudah pagi. Akhirnya gadis itu bangun dengan penuh semangat dan langsung menuju kedapur. Seperti biasa ia membuatkan serapan, walaupun hanya roti dengan di isi telur dan minuman susu. Jesi sangat bersyukur menikmatinya karena masih banyak yang diluar sana tersiksa, hingga meninggal karena kelaparan.
Dari situlah Jesi belajar, bahwa hidup itu memang selalu ada manis pahitnya, jadi ia harus mensyukuri atas semuanya. Setelah semuanya beres, Jesi langsung mandi dan ganti pakain, kemudian serapan dengan tergesa-gesa, walaupun sebenarnya waktunya masih banyak, tapi ia tidak ingin terlambat sedikit pun.
"Akhirnya kenyang juga ini perut," ucap Jesi sambil mengelus perutnya dengan pelan.
"Sebaiknya aku berangkat sekarang."
Jesi segera mengambil tasnya yang terbuat dari kain yang sudah terlihat cukup kusam itu yang isinya hanyalah sebuah ponsel serta beberapa lembar uang di dalamnya. Uang tersebut ia pergunakan sebaik mungkin untuk bertahan hidup sementara dirinya mendapatkan gajih pertama, walaupun bekerja di perusahaan yang besar dan tentu gajihnya tidak sedikit. Jesi berjanji tidak akan pernah mengunakan uang tersebut dengan sembarangan, ia berencana akan mengunakan uang itu untuk membeli rumah serta keperluan yang ia inginkan selama ini. Terutama menganti motornya yang sudah sering kali mogok itu karena motor tersebut sudah cukup tua dan seharusnya tidak bisa terlalu sering dipakai lagi namun, keadaan memaksa dirinya untuk memakai motor tersebut hingga sampai saat ini.
Pergi kekantor tidaklah memerlukan waktu yang begitu lama, hingga 30 menit saja Jesi sudah sampai di tempat dirinya bekerja.
"Aku yakin, aku pasti bisa!" Jesi mencoba untuk menyemangati dirinya, berharap ia bisa berhenti untuk memikirkan hal yang tidak-tidak saat ini.
"Semoga saja, laki-laki kemaren yang dingin seperti bongkahan salju itu, tidak melihat ku ya, Tuhan," kata Jesi sambil berjalan menuju kantor.
Jesi sebenarnya sangat takut jika laki-laki yang kemarin ia tabrak meminta rugi jas yang tidak sengaja ia kotori itu karena saat ini dirinya juga belum memiliki banyak uang. Jangankan mengganti jas, untuk biaya makan saja ia hanya mampu makan roti yang seadanya bahkan hampir setiap hari ia harus memasak mie rebus untuk mengisi perutnya supaya tidak terlalu lapar.
Setelah bergumam cukup lama di depan kantor, Jesi memutuskan untuk segera masuk ke dan seketika langsung di sambut oleh beberapa karyawan yang lain namun, ada juga yang tidak peduli dengan kedatangan dirinya termasuk Tara.
Tara adalah sosok perempuan yang sombong, egois, tidak suka di bantah dan suka mengoda lelaki yang kaya raya dengan gaya modis nya. Termasuk bos nya sendiri tapi sayangnya bos nya tidak pernah untuk merespon apa yang diperbuat Tara kepadanya. Sudah berulang kali Tara melakukan trik kotor nya dan saja usaha nya tidak pernah berhasil sama sekali. Sampai sekarang, dia berjanji akan selalu melakukan hal apa pun untuk mendapatkan hati bos nya itu.
"Selamat pagi," sapa karyawan lain yang menyapa Jesi sambil tersenyum manis sedangkan Jesi merasa sangat kaku untuk membalas sapaan itu sehingga ia hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum saja.
"Apa aku harus membalas sapaan mereka?" Jesi pun berpikir apa yang ia lakukan seperti tidak menghargai orang lain, sehingga ia mencoba untuk membalas sapaan tersebut dengan sangat hati-hati.
"Selamat pagi juga, perkenalkan saya karyawan baru disini mohon bimbingannya," ucapnya sambil membukukkan badannya.
"Ok, semoga kamu betah bekerja disini ya," ucap salah satu karyawan itu.
"Semoga saja," ucap Jesi sambil tersenyum manis.
"Oh, ya sudah, meja kerja kamu ada ditengah-tengah itu ya dan saya permisi dulu bye," ucap perempuan itu yang bernama Yola.
"Terima kasih," ucap Jesi, lalu Yola pun pergi dari hadapan Jesi.
Setelah menyapa dan kenalan dengan karyawan lainnya, Jesi pun berniat untuk duduk di kursi dimana seharusnya ia bekerja saat ini namun, tiba-tiba saja seorang perempuan yang cantik, sekitar umur 26 tahun itu menghampiri nya dan menghentikannya.
"He! Tolong kamu kerjakan ini semua tapi kamu belikan kopi untuk saya terlebih dahulu!" ucap Tara kepada Jesi dengan sangat ketus sambil menatap ke arah gadis itu dengan wajah yang ketus, sedangkan Jesi merasa tidak nyaman sama sekali melihat raut wajah itu.
"Maaf Mbak ...tapi say— " ucap Jesi terpotong dan tidak sempat ia menyelesaikan bicara nya karena sudah terlebih dahulu di sahut oleh Tara.
"Jangan membantah! Cepat pergi sana!" usir Tara.
"Tapi Mba... saya baru sampai dan kenapa malah menyuruh saya? Saya bukan OG disini..." jawab Jesi berusaha untuk menjawab dengan sopan kepada orang yang posisinya lebih atas darinya.
"Perempuan ini, berani juga membantah omongan ku, lihat saja kamu!" batin Tara.
"Kalau kamu tidak ingin menuruti perintah saya! Ok, baiklah saya akan laporkan kamu kepada atasan, bahwa kamu orangnya pemalas dalam bekerja!" ancam Tara.
"Ya, sudah deh, dari pada cari ribut mending aku turutin aja, aku malas berdebat apalagi ini hari pertama ku bekerja," batin Jesi.
"Baiklah, mana uangnya, Mbak?" ucap Jesi sambil mengarahkan telapak tangannya ke arah Tara.
"Ini, jangan sampai membuat saya menunggu terlalu lama ya! Awas kamu!" ancam Tara lagi.
"Baik, Mbak," ucap Jesi, lalu pergi keluar untuk membeli pesanan Tara, sedangkan Tara tersenyum senang karena sudah berhasil mengerjai Jesi.
"Huh! Nenek sihir itu menyuruhku seenak jidadnya saja!" gumam Jesi kesal.
Jesi pergi keluar dari kantor menuju ke arah cafe yang berada di seberang kantor untuk membelikan kopi pesanan Tara barusan akan tetapi, tiba-tiba saja ia tidak sengaja melihat laki-laki yang sangat ia hindari itu baru saja keluar dari mobil dengan gaya yang terlihat begitu sombong dan angkuh. Jesi yang tidak ingin laki-laki itu melihatnya, ia pun segera berlari terbirit-birit dan hampir saja menabrak tiang listrik yang berada di hadapannya itu saking merasa takutnya ia.
Jesi segera memesan kopi sesuai dengan pesanan Tara. Ia sangat berharap, gadis itu tidak akan mempersulit kan dirinya bekerja setelah ini karena ia sangat ingin bekerja dengan keadaan yang tenang dan damai.
Setelah membelikan kopi Jesi pun langsung memberikan nya kepada Tara.
"Kenapa cepat sekali sih keluar membelinya?!" batin Tara dalam hati, sambil kesal dengan Jesi.
"Ini Mbak pesanan nya tadi." Tara pun mengambilnya dengan kasar sambil menatap Jesi dengan sinis.
"Lain kali kalau di suruh jangan membantah lagi!" ucap Tara.
"Baik, Mbak."
"Ini, kerjakan sekarang juga! Jangan sampai ada kesalahan apa pun, awas kamu!" Lalu Tara langsung pergi, padahal Jesi mau memprotes, karena berkas yang di pegang Jesi seharusnya bukan bagiannya.
"Huh! Hidupku selalu saja tidak ada hal yang baik, pasti selalu ada masalah," batin Jesi, lalu ia duduk dan mengerjakan tugas yang di berikan Tara tadi kepadanya.
Namun, baru saja Jesi mendudukkan bokongnya di atas kursi tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang lumayan gagah, berjas hitam dengan badan yang tegap menghampirinya.
"Permisi, kenalkan saya Alfin sekertaris bapak Adrian," kata Alfin sambil memperkenalkan dirinya.
"Oh, jadi Adrian nama CEO di perusahaan ini," ucap Jesi dalam hati.
"Kalau saya Jesi Cleopatra. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Anda telah dipanggil oleh bapak Adrian, untuk masuk dan bertemu dengan nya terlebih dahulu keruangan nya. "
"Baik, Pak, " ucap Jesi lalu berdiri.
"Mari saya tunjukan jalannya."
Jesi terus mengikuti langkah kemana Alfin membawanya saat ini, Jesi melihat mereka berdua masuk kedalam lif menuju ke lantai atas. Keringat dingin sudah menguasai hati dan pikiran gadis itu, ia begitu gugup dan takut jika harus bertemu dengan seorang CEO yang katanya sangat galak dan suka membentak bawahannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya berada di posisi itu nantinya, ia sangat berharap dirinya tidak memiliki urusan kepada CEO tempat dirinya bekerja saat ini.
Alfin berhenti di depan pintu yang cukup besar yang tentunya itu adalah tempat dimana CEO itu bekerja saat ini. Jesi melihat sendiri laki-laki yang berada di hadapannya saat ini mengetuk pintu dengan sangat hati-hati, hingga terdengarlah suara orang yang menyahuti dari dalam ruangan tersebut untuk segera masuk kedalam.
"Permisi." Jesi pun masuk dengan penampilan yang begitu rapi dan anggun.
"Ya, silahkan masuk!" Dengan wajah dinginnya, Adrian menjawab, kemudian Jesi pun masuk.
"Hah! Jadi ... si dingin ini ... bos ku? Astaga betapa sempit nya dunia ini!" ucap Jesi dalam hati.
"Kenapa kamu masih berdiri di depan pintu sana? Kesini kamu!" teriak Adrian dengan kesal.
"Astaga gendang telingga ku hampir saja pecah, ternyata bos di kantor ini suaranya seperti terompet juga," gumam Jesi dalam hati.
"Ba—baik, Pak," jawab Jesi terbata-bata, sambil berjalan dan menundukan kepalanya tanpa melihat kearah Adrian, karena dia benar-benar takut, untuk melihat wajah bos nya itu.
"Kamu! kalau menjawab pertanyaan saya hadap kedepan saya! Wajah saya bukan dibawah lantai, kenapa tidak sekalian saja kamu bungkus wajah kamu pakai karung saja, supaya tidak melihat saya!" ucap laki-laki yang berusia 28 tahun itu dengan nada dingin dan kesal.
"Ba—baik, eh salah. Maaf, Pak." Lagi-lagi Jesi menjawab dengan terbata-bata, hingga membuat kesalahan lagi namun Jesi masih saja tidak berani melihat ke arah Adrian,
ia merasa tenang menatap lantai dibandingkan wajah bosnya itu.
"Alfin!" teriak Adrian dengan nyaring memanggil Alfin.
"Iya, ada apa, Pak?" ucap Alfin yang kalang kabut di panggil.
"Tolong kamu cari karung untuk saya segera!" perintah Adrian dengan kesal.
"Buat apa, Pak?" tanya Alfin dengan heran.
"Untuk membungkus wajah karyawan baru saya ini, dari tadi ia terus menatap lantai. Apa wajah saya semengerikan itu?" tanya Adrian kepada sekertarisnya itu dengan kesal.
"Bagaimana orang mau menatap wajah Papak? suara Bapak saja seperti suara terompet kapal," gumam Alfin dalam hati.
"Tentu saja tidak, Pak," ucap Alfin dengan tegas, namun tidak jujur.
"Kamu dengar itu?" tanya Adrian.
"Saya dengar, Pak," jawab Jesi.
"Lalu kenapa terus menatap lantai dari tadi? Angkat wajahmu sekarang juga!" kesal Adrian
Kemudian Jesi menatap Adrian, sehingga tatapan mereka saling bertemu beberapa detik, kemudian mereka pun segera memalingkan wajahnya dengan serentak.
"Perempuan ini selalu saja terbata-bata menjawab pertanyaan ku. Tapi kenapa saat melihatnya, aku tidak berani menatap mata nya itu," gumam Adrian dalam hati
"Ok, kamu sudah tau kan posisi kamu bekerja dimana? Jadi sebaiknya, kamu harus profesional dalam bekerja. Jangan sering membuat kesalahan dan mempermalukan perusahaan saya paham!" ucap Adrian dengan tegas.
"Baik, Pak."
"Sekarang kamu boleh pergi bekerja," ucap Adrian. Jesi pun menundukan kepalanya, memberi hormat sebelum keluar, saat ingin keluar tiba-tiba saja Adrian memangilnya.
"Tunggu!" kata Adrian, seketika langkah Jesi terhenti.
"Ya, Tuhan apa lagi ini?" gumam Jesi dalam hati.
"Urusan pribadi kita belum selesai, tapi kenapa kamu mau cepat-cepat keluar?" kata Adrian dengan nada sinisnya.
"Astaga bongkahan salju ini tadi disuruh aku keluar, sekarang malah menyalahkan aku! Huh! Menyebalkan!" gumam Jesi.
"Apa kamu bilang?"
"Tid—tidak ada apa-apa, Pak.
"Hem, kamu jadi kan ganti rugi jas saya?" tanya Adrian
"Sudah ku duga, pada akhirnya ia meminta ku untuk mengantikan jas itu ..." gumam Jesi dalam hatinya
"Jadi, Pak" jawab Jesi, rasanya ia ingin meminta keringanan saja dengan mencuci jas tersebut namun ia tidak memiliki keberanian untuk memprotes sekarang.
"Ini harga yang harus kamu ganti." Adrian memberikan sebuah kertas ke arah Jesi, kemudian mata gadis itu tiba-tiba saja terbelalak karena melihat harga jas tersebut melebihi harga motornya.
"Bapak, yakin ini harga yang saya ganti?" tanya Jesi tidak percaya.
"Tentu saja, jas saya bukan murahan seperti pakain yang kamu miliki itu!" ucap Adrian merendahkan Jesi.
"Ciuh, sombong sekali. Ingin rasanya aku sumpal mulutnya itu pakai jasnya itu!" ucap batin Jesi.
"Tapi Pak saya tidak punya uang sebanyak ini."
"Ya, itu bukan urusan saya!" ucap Adrian tidak peduli.
"Tapi bisa kan saya mencicil dari gajih saya, Pak?" Jesi berusaha meminta keringanan dengan bosnya itu
"Tidak bisa!" tegas Adrian.
"Tapi—" Belum Jesi menyelesaikan perkataannya, sudah terlebih dahulu Adrian menyahuti pembicaraannya
"Tidak ada tapi-tapi!" bentak Adrian, seketika membuat Jesi semakin takut dan gemetar.
"Pak, saya mohon ... saya tidak punya uang untuk membayar saya mohon, Pak ... " ucap Jesi sambil memohon belas kasihan Adrian.
"Ok, saya kasih waktu kamu 10 hari, kalo kamu tidak bisa bayar dalam jangka 10 hari, maka gajih kamu saya tidak akan membayarnya selama 6 bulan paham!" kata Adrian.
"Ya, Tuhan. Betapa kejamnya memiliki bos," gumam Jesi dalam hatinya, ia hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan lemah tidak berdaya karena ia rasa dirinya percuma untuk memprotes lagi. Apa lagi ia tahu, bahwa desas-desus tentang CEO di perusahaan tempat dirinya bekerja saat ini, orang yang tidak pernah memiliki hati untuk memaafkan orang lain dengan sangat mudah.
"Ok, sekerang kamu bisa keluar!"
"Baik Pak, saya permisi."
Setelah itu Jesi langsung keluar dengan perasaan yang sedih. Rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin karena hatinya benar-benar terasa sesak, padahal ia sudah bermimpi untuk bebas dari segala penderitaan yang ia alami selama ini. Jesi tidak ingin meminta kemewahan, hanya saja ia ingin merasakan nikmatnya memakan nasi dengan lauk yang enak setiap hari akan tetapi, apa yang ia inginkan selama ini sepertinya harus butuh lebih sabar lagi.
"Ya, Tuhan. Dari mana aku dapat uang sebanyak itu dalam waktu yang dekat, cobaan apa lagi ini?" gumam Jesi dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Cahya Aini
boss dingin kaya es tp tengil..
2021-04-09
1
Dina Hafana
jasnya dilaundry saja. kan cuma ketumpahan lopi
2021-03-02
2
Ccyaa
benci jd cinta wkwkwk
2021-02-14
0