TERRA, THE BEST MOTHER
"Apa! Ayah kecelakaan!" teriakan Terra menggema di koridor sekolah. Gadis itu baru saja lulus SMA.
Butuh waktu 30 menit bagi gadis dengan tinggi 165cm dan berat 55kg. Sungguh proposional. Belum lagi ditunjang dengan wajahnya yang sangat cantik. Dengan bola mata beriris coklat terang. Dihiasi bulu mata tebal dan lentik. Alis hitam yang melengkung teratur. Bibir sedikit tebal.
Bentuk tubuh seperti gitar spanyol. Belum lagi aset dada dan bokong seksi. Sungguh pahatan mahapurna sang maha kuasa.
Tidak hanya terlewat cantik. Gadis itu juga cerdas, baik hati. Walau sedikit manja, ceroboh serta lugu. Terra berlari menuju lobi rumah sakit. Menanyakan pada perawat yang sedang bertugas di bagian administrasi.
"Saya Terra. Di mana Pak Ben Hudoyo yang tadi malam kecelakaan?" tanyanya panik.
"Silahkan ke IGD di lorong sebelah sana, Dik," jawab suster sambil menunjukkan ruangan yang mesti Terra tuju.
Setengah berlari. Gadis berambut coklat alami sepinggang ini bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Di depan pintu IGD, ia menatap dua anak kecil yang terduduk di bangku tunggu.
Seorang anak laki-laki sekitar umur 8 tahun tengah memangku bayi laki-laki sekitar usia 8 bulan. Sedang di sisinya seorang anak perempuan berkuncir dua tengah menyandar di bahu anak laki-laki itu sambil memejamkan mata dan mengemut jempolnya.
Sekilas hatinya sedikit terenyuh. Dalam pikirannya, ketiga bocah itu menunggu orang tuanya di rumah sakit ini.
"Keluarga Hudoyo!" tiba-tiba seorang perawat pria keluar dari ruang IGD memanggil dengan suara keras.
Terra menoleh.
"Saya, Pak," jawab gadis itu masih dengan suara tersengal.
"Silahkan masuk. Ayah anda memanggil," ujar perawat itu.
"Bagaimana kondisi Ayah saya?" tanya Terra sambil menatap perawat itu.
"Adik, masuk saja dulu ya" jawab perawat itu, sambil mendorong pintu IGD.
"A ... yah ...!" suara Terra menyeru tertahan.
Gadis itu menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca. Ia menahan segala kesedihannya.
Ben Hudoyo. Pria berusia 48 tahun itu melirik putri cantiknya. Setetes air mata terjatuh dari sudut netra pria itu. Segudang penyesalan merasuk dalam benaknya saat itu. Antara malu dan takut. Tapi, ia merasa tak sanggup lagi bertahan. Saatnya, ia mengatakan kejujuran. Sebuah kenyataan yang mungkin membuatnya dibenci oleh putrinya sendiri.
Ben, tahu. Kebohongan ini harus diungkap.
"Nak ... putriku!" panggilnya dengan suara merintih.
Sosok tampan dan gagah itu hanya tergeletak lemah. Napasnya satu-satu.
Bajunya penuh dengan darah. Kepalanya diperban. Wajahnya memar dan sebagian mulai membiru.
Terra mendekat. Masih menahan isak. Gadis itu duduk di kursi samping brangkar tempat ayahnya terbaring dengan kondisi memprihatinkan.
Terra menggenggam, tangan sang ayah.
"A ... yah ... huuu ... uuu!!" panggilnya sambil terisak.
"Ma-af k-an Ayah," ujar Ben dengan suara tersendat menahan sakit.
"Tenanglah, Yah. Ayah baik-baik saja. Ayah pasti bisa melewati ini semua," ucap Terra dengan suara serak menahan tangis.
Ben menggeleng. Napasnya tersendat. Tampak waktunya di dunia tidak lama lagi. Segala untaian doa yang Terra ingat, ia rapalkan untuk kesembuhan sang ayah.
"Ti-dak, Nak," ujar pria itu kemudian.
"Se-belum, ke-sini ... hhh ... apa kau lihat tiga anak kecil di luar?" tanya Ben masih dengan suara tersendat.
Terra sedikit terdiam mengingat, lalu ia mengangguk.
"Me-mereka ... a-da-lah, adik-adik mu ... hhh ... hhh!"
Perkataan Ben membuat Terra tercenung. Ia sedikit tidak percaya.
"Apa?!" desisnya tertahan. "Apa maksud, Ayah?"
"Sem-bilan tahun. Ayah meng-khi-anati Ibu mu!"
Suara tercekat milik pria yang terbaring di depannya itu, sukses membuat Terra langsung berdiri terkejut, hingga membuat kursi yang didudukinya terjatuh.
Brak!
"A-pa?!"
Genggaman tanganya pada tangan si ayah terlepas. Ben, merintih. Dadanya sesak. Ia tahu, dan putri shock mendengarkan kejujurannya itu. Air mata pria itu berderai.
Berkali-kali ia memanggil nama putrinya. Tapi, Terra nampak bergeming dengan tatapan kosong.
"Terra ...."
Suara lirih sang ayah akhirnya membuat ia sadar. Terra menatap pria yang tengah kesakitan. Jujur, perasaan kecewa kini menggerogoti hatinya.
"Maafkan Ayah, Nak."
Permintaan maaf pada seorang putri yang memujanya. Netra yang dulu memujanya perlahan mulai menghilang. Ben mulai menangis tersedu.
"Huueek!" Ben muntah darah.
Netra itu kembali panik. Terra menangis. Ben menjulurkan tangan ke arah putrinya. Dengan tatapan penuh pengharapan. Sungguh, ia sangat menyesali perbuatannya. Walau ia sadar. Jika penyesalannya ini sangatlah terlambat.
'Jadi selama ini, Mama menangis bukan karena penyakit-penyakit yang dideritanya. Tapi, karena Papa yang mengkhianatinya,' gumam Terra bermonolog.
"Terra!" panggil Ben. "Sayang!"
Melihat ayahnya kembali muntah darah. Terra mengesampingkan egonya. Gadis itu menghampiri ayahnya.
"Ayah!" Terra menitikkan air mata.
"Kenapa Ayah lakukan ini?" tanya Terra lirih.
Titik bening itu kini menganak sungai di pipi mulus Terra. Sungguh cobaan ini begitu berat ia tanggung.
Bersambung.
Holaa.... Aku balik lagi dengan cerita aku... Moga menghibur.
Boleh minta like, komen dan votenya ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 603 Episodes
Comments
Lina Maulina
sampe akhir hayat nya Ben g ngasih tau ttng keluarga nya d eropa
2024-12-01
0
Susilowati Susilowati
semoga bagus seterusnya
2024-12-11
0
Anonymous
ok
2024-12-01
0