Argilla dan Lisna tengah bersantai ria mengantri ayam geprek di kantin. Jangan salah, kantin adalah salah satu terobosan murid-murid saat melarikan diri dari jam pembelajaran. Biarpun bel masuk sudah berbunyi, tak jarang masih ada beberapa murid yang setia berleha-leha di kantin.
Saat ini giliran pesanan Argilla dibuatkan. Seperti biasanya, Argilla akan memesan ayam geprek level 2, sama seperti Lisna.
"Pake gorengannya dua ya mbak, jangan lupa dikasih sambel dikit," ucap Argilla.
"Beres, Gil!" seru mbak-mbak penjual ayam geprek itu.
Beberapa saat kemudian, pesanan Argilla sudah siap. Argilla segera mencari bangku kosong. Ketemu! Argilla pun segera mendaratkan diri di bangku kantin paling pojok itu.
Sembari menunggu Lisna, Argilla pun berniat mengeluarkan ponselnya. Sial! Ternyata ia malah lupa membawa ponselnya. Ponselnya malah ia tinggalkan di tas. Astaga, Gil! Kepikunanmu makin bertambah nih kayaknya!
Beberapa saat kemudian, ya agak lama juga sih, Lisna datang dan menyejajari Argilla. Argilla pun mulai menyuapkan nasi beserta ayam geprek itu ke dalam mulutnya. Baru saja satu suapan mendarat, Lisna menjadi heboh sembari memukul-mukul lengannya. Membuat Argilla tersedak seketika.
"Uhuk-uhuk!"
Melihat Argilla yang terbatuk-batuk, Lisna langsung menyodorkan es jeruk di meja itu kepada Argilla. Argilla pun meneguknya hingga habis.
"Makasih esnya," ucap Argilla seraya bersendawa.
"Bukan punya gue," sahut Lisna.
"Lah terus punya siapa?" tanya Argilla. Tiba-tiba feeling-nya menjadi tidak enak.
"Gak tahu, gue kira punya lo. Lagian gue juga belum pesen minum tuh," jawab Lisna santai.
"Tega ya lo ngasih gue minuman bekas orang hueekkk!" kesal Argilla.
"Ya gak papa, Gil! Ketimbang lo mati gegara tersedak ayam geprek, kan kasihan mbak-mbak ayam gepreknya nanti kena kasus," ujar Lisna.
"Kambing lo!" pekik Argilla.
"Gue gak punya kambing. Bokap gue punyanya sapi tuh," seru Lisna.
"Yaudah, sapi lo!" umpat Argilla.
"Eh resek lho ya, dasar orang gila!" seru Lisna tidak terima.
"Asss udah-udah, capek gue! Lo tadi kenapa heboh gitu? Mau bikin gue mati jantungan apa!" sewot Argilla.
"Lo baca deh, Gil!" ucap Lisna sembari menyerahkan ponselnya ke arah Argilla.
"Gina said, 'Argilla, lo disuruh ke ruang kepsek sekarang' lah, dia ngapain ngirim di grup kek gitu ya?" tanya Argilla bingung.
"Emang gue salah apa?" tanya Argilla lagi.
Sedetik kemudian, Lisna kembali memukul-mukul lengan Argilla. Argilla menatap Lisna dengan pandangan jengkel.
"Apa?" sahut Argilla dingin.
"Pasti ini ada hubungannya sama Arsya, Gil!" seru Lisna heboh.
"Arsya? Siapa tuh?" tanya Argilla.
"Lo gak tahu Arsya? Dia tuh cowok kece yang tadi lo lemparin sepatu. Wah gila, so pasti ini alasan lo dipanggil ke ruang kepsek. Pasti karena Aldan yang ngelaporin juga nih!" pekik Lisna.
"Ah suara lo cempreng banget dah! Lo tambah bikin panik aja deh. Gimana nih, Lis!" panik Argilla.
"Tenang, sekarang kita habisin ayam gepreknya dulu, entar gue temenin deh. Udah keburu laper nih gue," seru Lisna.
Argilla pun menyetujui ucapan Lisna. Namun dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia bergejolak seperti ombak pantai yang tak kunjung lenyap. Rasa khawatir, cemas, tertekan, dan takut apabila hanya karena masalah ini membuatnya di drop out dari sekolah. Bukan bagaimana, neneknya bersusah payah menyekolahkannya ke sekolah ini. Sekolah elite di ibu kota, impian neneknya.
Entah mengapa, Argilla seakan kembali ke masa-masa bersama neneknya kala itu. Waktu itu, ia masih mengenakan seragam berwarna putih biru. Seragam yang masih baru. Argilla dan neneknya baru saja pulang dari pasar. Membeli beberapa cemilan dan lauk-pauk untuk dimakannya nanti.
Jemari neneknya pun menunjuk ke sebuah bangunan megah itu. Itu sekolah Argilla saat ini. Waktu itu, Argilla memandang neneknya dengan pandangan bingung. Namun, neneknya hanya menggeleng lantas menggulas senyumnya.
"Oma ingin suatu saat kamu ada di sana, dulu, almarhum ibumu pun juga bersekolah di sana," ucap nenek.
"Tetapi itukan sekolah bagus, Oma, mahal lagi, dari luar aja kelihatan megah gitu, Argilla gak mau ngerepotin Oma," sahut Argilla.
"Kalau soal biaya, Oma bisa kok ngejual seluruh aset Oma, asalkan masa depan kamu kelihatan." Nenek menyentuh hidung Argilla.
"Oma…"
Argilla sontak memeluk tubuh wanita paruh baya itu. Diam tapi pasti, hatinya bergetar. Sejak itu, ia bertekad untuk mewujudkan keinginan neneknya itu.
"Gil, kok lo malah bengong sih?"
Lamunan Argilla langsung buyar seketika. Seperti tersedot kembali ke sebuah waktu faktual pemisah ruang imajinasinya itu. Argilla geragapan. Senyum, wajah, dan sentuhan neneknya itu kini mendekam dalam benaknya saja.
"Ah eh apa?" tanya Argilla.
"Hih kenapa tuh makanan lo gak di makan? Emang kalau dilihatin doang bisa bikin kenyang apa?" seru Lisna.
"Ah iya eh ini gue kepedesan tadi, makannya diem," alibi Argilla.
"Kalau kepedesan ya minumlah!" ketus Lisna.
"Kan gue belum beli minum, makannya gue diem tadi, siapa tahu bisa reda pedesnya," elak Argilla.
"Terus yang di hadapan lo itu apa kalau bukan minum. Wah ternyata lo dari tadi bengong ya? Sampai-sampai gue beli minum aja gak nyadar," kesal Lisna.
"Eh kapan lo belinya?" tanya Argilla.
"Wah beneran nih anak…jangan-jangan lo udah kesambet ya gegara kelamaan bengongnya?" pekik Lisna heboh.
"Udah deh, Lis! Bercanda lo garing tahu gak, cepet makan, entar dimakan setan baru tahu rasa lo!" ketus Argilla.
Lisna menundukkan kepalanya. Ia pun mengerucutkan bibirnya sejenak dan mulai melanjutkan aktivitas makannya lagi.
***
Argilla dan Lisna telah sampai di depan ruang kepala sekolah. Argilla menatap pintu itu dengan perasaan tidak karuan. Sejauh ini, meskipun ia berulah, ia tak pernah sampai dipanggil ke ruang kepala sekolah seperti ini. Palingan mentok cuma sampai di ruang bk saja. Itu pun cuma dihukum membersihkan toilet atau apalah itu.
Berbeda dengan hari ini. Ia tahu dari mulut ke mulut, jika yang masuk ke ruangan ini hanyalah orang-orang yang berbuat kesalahan besar. Argilla segera menggelengkan kepalanya. Ia sadar, ia hanya berbuat masalah kecil. Toh, cowok itu juga yang mulai, bukan salah Argilla dong kalau cuma membela diri doang!
"Kenapa bengong? Takut ya?"
Ini jelas bukan suara Lisna. Argilla menolehkan kepalanya. Sedetik kemudian, ia menatap tajam ke seorang cowok yang saat ini tengah berdiri di sampingnya sembari melipat tangan di dada.
"Elo! Oh pasti elo ya yang bikin gue dipanggil ke ruang kepsek? Ngaku lo!" pekik Argilla.
"Seperti yang lo lihat! Salah siapa bikin hidung gue mimisan tadi," kesal cowok itu, Arsya.
"Dasar brengs*k! Lagian lo duluan kan yang mulai. Salah siapa bikin kening gue nyut-nyutan tadi!" pekik Argilla tidak terima.
"Itu gak sebanding sama yang lo lakuin ke gue yah! Pertama, lo bikin hidung gue mimisan. Kedua, lo bikin darah rendah gue kumat. Ketiga…."
"Itu mah karena elonya aja yang penyakitan!" potong Argilla cepat.
Arsya mengepalkan tangannya. Berusaha menahan amarahnya yang saat ini tengah bergejolak. Tanpa pikir panjang, Arsya menggenggam tangan Argilla dan menyeretnya masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Di sisi lain, Lisna pun turut membuntuti Argilla. Baru selangkah masuk, ia terkena gertakan dari Arsya.
"Ngapain lo ikutan masuk?" ketus Arsya.
"Gue…emm gue mau nemenin Argilla," jawab Lisna gugup.
"Orang yang gak berkepentingan dilarang masuk!" cetus Arsya dingin.
"Terus kenapa mereka berdua ada di sini? Bukannya mereka juga 'GAK BERKEPENTINGAN'!" sahut Argilla penuh penekanan di akhir kalimatnya.
Arsya geragapan. Pandangannya bertemu dengan arah pandang Argilla lantas ia alihkan pandangan itu cepat-cepat. Arsya menghembuskan napasnya.
"Ya udah!" seru Arsya.
"Apa?" seru Argilla dingin.
"Ya udah, mereka boleh keluar," tegas Arsya.
"Maksud lo kita berdua, Sya?" tanya Jerry seraya menunjuk dirinya dan Aldan.
"Bertiga tepatnya," tegas Arsya lagi sembari mengarahkan pandangannya ke arah Lisna.
"Oke, deal!" sahut Argilla mantap.
"Gil, lo seriusan ngebiarin gue di luar bareng para cecunguk itu?" seru Lisna memelas sembari menggoyang-goyangkan lengan kiri Argilla.
"Gak papa, ketimbang lo kena omel si cowok resek di samping gue ini," sindir Argilla seraya menatap tajam ke arah Arsya.
"Udah gih pada keluar sana, CEPETAN!" pekik Arsya.
Aldan dan Jerry pun mulai beranjak dari tempatnya. Namun, saat Aldan beriringan dengan Arsya, Aldan tiba-tiba menepuk bahu Arsya.
"Gandengan mulu kek pengantin baru," cibir Aldan.
Seketika Arsya langsung menyadari sesuatu. Dengan cepat, Arsya langsung melepas genggaman tangannya. Kasar.
"Apaan sih lo? Sakit tau gak tangan gue!" pekik Argilla.
"Diem! Gak usah banyak sewot!" ucap Arsya dingin.
"Yuk beb, kita keluar, kan udah diusir sama 'PENGANTIN BARU'," cibir Aldan seraya merangkul bahu Lisna.
"Gak usah pake rangkul-rangkulan, gue takut tertular virus corona!" pekik Lisna seraya menyingkirkan lengan Aldan dari bahunya.
"Yeee emang gue apaan," seru Aldan diakhiri kekehan tawa.
"Elo kan sumber virusnya," telak Lisna.
Aldan berganti merangkul Jerry. Ia mendekatkan kepalanya untuk berdiskusi dengan Jerry.
"Jer, lo tahu apa yang lebih sakit dari patah hati?" tanya Aldan.
"Sakit gigi?" tanya Jerry.
"Yeee itu mah lagunya Bang Roma!" sewot Aldan.
"Terus apa?" tanya Jerry.
"Yang lebih sakit dari patah hati itu, dikatain virus sama gebetan sendiri gengs!" seru Aldan dengan nada dibuat se-merana mungkin.
"Udah yuk cabut. Takutnya ada yang gak pengen ditularin virus corona!" cibir Aldan.
"Yuk!" sahut Jerry.
Aldan dan Jerry pun lebih dulu angkat kaki dari ruang kepala sekolah. Selang beberapa detik kemudian, barulah di susul oleh Lisna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments