Marissa tiba di rumah sakit tepat pukul delapan, wanita itu mendesah pelan saat dirinya berpapasan dengan korban kecelakaan lalu lintas pagi ini. Karena hal itu juga mobilnya terjebak macet, dan ia harus menggunakan bus agar tidak terlambat. Beruntung, pagi tadi ia berangkat bersama sang kakak. Jadi mobilnya tidak sendirian berada di kemacetan.
"Selamat pagi, Dokter Risa." sapa resepsionis.
Risa hanya mengangguk dan tersenyum simpul.
"Tunggu, Dokter, ada sebuah undangan untuk anda."
Marissa menghentikan langkahnya, berbalik dan kembali berjalan menuju resepsionis untuk mengambil undangannya.
"Dari siapa, Yu?" tanya Risa. Dayu, adalah teman satu angkatan Risa, tapi wanita itu lebih memilih menjaga resepsionis daripada menjadi dokter.
"Dari Ketua Ikatan Dokter, para dokter lain juga dapat." Dayu memamerkan tumpukan undangan berlogo sebuah organisasi Ikatan Dokter.
Marissa membuka undangan miliknya, disana tertera malam nanti akan diadakan penghargaan kepada para dokter muda yang berprestasi. Dirinya salah satunya, minggu lalu, Ketua Ikatan Dokter datang menemuinya untuk menyampaikan sesuatu.
Dayu melirik sekilas undangan milik Marissa, "Jadi, itu benar?"
"Apa?" Marissa mendongak.
"Kau, kau terpilih sebagai dokter terbaik tahun ini?"
Risa hanya tersenyum singkat, memainkan undangan di tangannya. "Ku rasa undangan ini akan menjawab pertanyaanmu."
Dayu memutar bola matanya, harus ia akui Marissa sangat narsis dan percaya diri. Tapi, memang semua itu terbukti adanya. "Baiklah baiklah, terserah kau saja Risa."
Marissa terkekeh, menyimpan undangan itu di dalam tas dan melanjutkan perjalanannya.
Penghargaan dokter terbaik adalah mimpinya, kali ini akan menjadi ketiga kalinya seorang Marissa Darwanti mendapatkan penghargaan sebagai dokter terbaik. Marissa memang layak mendapatkannya, kerja kerasnya selama ini patut diacungi jempol.
Tiba di barisan ruang praktek, Marissa sengaja menuju salah satu pintu bergambar koala.
"Jessy, apa kau akan datang?" wanita itu sengaja menggoyangkan undangan di tangannya.
Jessy menghela napas berat, ia hampir saja melompat dari kursinya saat Risa tiba-tiba membuka pintu. Dasar Risa! dia tidak pernah mengetuk pintu dulu. Jessy hanya bisa tersenyum canggung pada perawat dan dokter residen yang menemaninya.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintu?" tanya Jessy tajam.
Marissa terkekeh pelan, bersedekap sambil menatap sang sahabat. "Kau bahkan tidak pernah melakukannya di ruangan ku."
"Kau ingin membalasnya." Jessy menghidupkan layar komputernya.
"Sudah kau siapkan?"
"Apa?" Jessy melirik datar pada Risa.
"Dompetmu," Marissa tersenyum sengit. "Kali ini aku ingin membeli sesuatu yang mahal."
Jessy memejamkan matanya sejenak, "Awas saja kau, tunggu pembalasanku."
"Sudahlah Jes, sebaiknya aku kembali ke ruanganku." Marissa berbalik, lalu kembali lagi. "Malam nanti kau harus datang."
Jessy memutar bola matanya malas, hari ini ia kurang tidur karena jadwal padatnya. Dan kini, Risa datang menganggu. "Kenapa aku harus?"
"Ya, kau harus." Marissa mengangguk yakin, wanita itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya melihat Jessy berhasil ia goda. "Untuk..... melihatku menang! Hahahha."
Marissa berlari cepat, sebelum boneka beruang milik Jessy mengenai wajahnya.
"Huhhh..... In hale... ex hale....." Jessy menarik napas panjang, ia harus menenangkan emosinya agar para pasien tidak ketakutan.
Salahkan Marissa yang membuatnya marah, minggu lalu mereka memang bertaruh. Jika salah satu dari mereka mendapat penghargaan sebagai dokter terbaik, maka pemenangnya boleh meminta apapun. Dan Jessy yakin sahabatnya itu sudah menyusun rencana untuk mengeruk semua isi dompetnya. Marissa, wanita licik itu sama beringasnya dengan Jessy. Entahlah, bagaimana bisa Marissa lebih disukai oleh anak-anak.
Helen, perawat yang mendampingi Jessy hanya bisa menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa dia menjadi yang paling disayangi anak-anak." ujarnya tak habis pikir, melihat tingkah Marissa dan Jessy. Ini bukan kali pertama ia melihat kedua sahabat ini saling mengadu kelicikan.
"Kau tahu Bu Helen, anak-anak bahkan menolak melakukan pengobatan jika bukan Dokter Risa yang menangani mereka." ujar seorang dokter residen.
"Sungguh?"
"Ya, Dokter Risa begitu terkenal di kalangan anak-anak." sambung yang lain.
Helen menatap Jessy, "Aku tidak tahu mengapa kalian memilih menjadi dokter anak."
Jessy menghela napas dalam, "Kau tau Helen, aku tidak akan terjebak disini jika bukan karena kelicikan Marissa."
"Maksudmu?"
"Dia mengajakku bertaruh, dan sialnya dia menang. Akhirnya aku harus memilih jurusan yang sama dengannya, tapi karena aku takut melihat darah. Aku memilih menjadi dokter anak." Jessy menerawang jauh mengingat kembali dirinya dan Marissa. "Dia sangat menyayangi anak-anak kau tahu, dia seperti malaikat di mata anak-anak, tapi seperti iblis jika bersamaku. Oh, entahlah mengapa dia selalu beruntung." keluh Jessy.
...****************...
Marissa berjalan pelan menuju ruang rawat inap, kamar melati. Wanita itu menyimpan kedua tangannya di saku jas dokter yang ia kenakan, karena hari ini jadwal operasi siang. Ia bisa bersantai sejenak.
Pintu kamar dibuka olehnya, di dalam hanya tersisa tiga orang anak. Tiga lagi sudah meninggalkan kamar, karena keadaannya sudah membaik.
"Selamat pagi." sapa Risa.
"Selamat pagi, Dokter Risa."
Marissa berlalu menuju ranjang dekat jendela, dengan satu tirai yang senantiasa ditutup. Wanita itu menyibak pelan tirainya, menampilkan seorang anak laki-laki yang terdiam dengan tatapan kosong. Anak itu setia menatap jendela, dan tidak menyentuh makanannya. Padahal jam makan sudah lewat hampir dua jam.
Risa mendekat pelan, kemudian duduk di sisi ranjang menatap sang anak.
"Kau tidak menyentuh makananmu?" tanyanya.
Tak ada jawaban, hanya hening, "Apa yang kau lihat?" Risa turut menatap ke jendela, dari jendela lantai tiga ini, yang terlihat hanya gedung tinggi dan pepohonan.
Risa mendesah pelan saat lagi-lagi ia tak mendapat jawaban. Wanita itu perlahan mendekat, menatap lekat anak laki-laki bernama Dion itu. Mengusap wajah sayunya pelan, dan meraih tubuh mungil itu untuk dipeluk. Marissa hanya menepuk pelan punggung anak itu tanpa banyak bicara, ia memilih bungkam saat Dion mulai membalas pelukannya dengan bahu yang bergetar.
Dion menderita meningitis, diusianya yang masih sangat belia, ia harus menderita karena sakit yang parah. Rumah sakit ini sudah menjadi rumah keduanya sejak dua tahun terakhir. Penghuni kamar melati pun sudah silih berganti, tapi tidak dengan ranjang dekat jendela ini. Kedua orang tua Dion adalah pembisnis terkenal di kota, mereka selalu sibuk hingga tidak sempat melihat keadaan anaknya, yang kian hari kian melemah.
Risa sudah berulang kali memberikan pengertian kepada kedua orangtua Dion, bahwa anak itu menderita penyakit yang berbahaya, dan membutuhkan peran mereka untuk mendukungnya sembuh. Tapi, kedua orang itu hanya mengangguk, dan setelahnya kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Risa mengurai pelukannya, menyeka sisa air mata anak laki-laki itu dengan lembut.
"Dokter akan menemanimu sayang." Ujar Risa, ia mengambil piring makanan yang belum disentuh oleh Dion. "Sekarang, habiskan makananmu."
Dion menatap makanan yang tertata di piring itu sendu, makanan hambar yang setiap hari menunya selalu sama. Bahkan, untuk sekadar menelannya saja ia enggan.
Dion menggeleng, "Tidak mau."
"Kenapa?"
"Tidak enak." jawab anak itu pelan.
Marissa tersenyum, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku jasnya. Dokter itu membukanya dan Dion langsung berbinar, "Apa aku boleh?" tanya anak itu.
"Tentu saja, tapi," Risa meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Ini rahasia."
Dion mengangguk senang, seulas senyuman terbit di wajah tampan nan pucat anak itu. Risa membawakannya beberapa kornet, salah satu makanan kesukaan Dion.
Awalnya, Risa ingin menemani Dion menghabiskan makanannya. Ia harus memastikan anak itu makan dengan benar. Tapi, sebuah panggilan darurat datang untuknya dari UGD. Risa bergegas pergi saat suara ambulance terdengar nyaring.
Kali ini seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun, korban kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Marissa memakai sarung tangan medis dengan cepat, mengambil senter dan melihat pergerakan pupil mata sang anak. Karena setibanya di rumah sakit, gadis kecil itu sudah tidak sadarkan diri. Dari pemeriksaan fisik yang Marissa lakukan, ia menemukan banyak sekali lebam di perut dan sekitar punggungnya. Bekas luka kering juga terdapat di tangan dan kaki, seperti sayatan panjang dan tidak terlalu dalam.
"Bagaimana hasil test radiografi?" tanya Risa pada salah satu dokter UGD.
Dokter itu menggeleng dengan wajah sendu, "Sangat parah Dok," ia menunjukkan layar komputer yang menunjukkan hasil dari test radiografi beberapa saat lalu. "Banyak terjadi pendarahan di rongga dalam dan abdomen. Tulang bahu meleset dan lengan kirinya retak."
Risa memejamkan matanya, menghela napas dalam. Penyiksaan macam apa yang dialami oleh gadis kecil itu, bagaimana bisa ada iblis yang merasuk ke dalam jiwa kedua orangtuanya.
"Siapkan ruang operasi." ujar Risa. Dokter UGD itu. mengangguk dan memanggil dokter residen dan perawat lain, untuk menyiapkan ruang operasi.
...****************...
"Ya, ya, ya." Risa kembali menghela napas saat suara di seberang panggilan teleponnya kembali memekik keras. "Aku baru saja selesai melakukan operasi, Jess. Aku akan segera kesana."
Marissa menutup panggilan teleponnya sepihak, ia merasa sangat lelah setelah melakukan tiga kali operasi dalam satu hari. Sungguh hari yang sibuk.
Hari ini adalah hari dimana penghargaan untuk dokter-dokter berdedikasi diberikan. Jessica sudah mengomel karena tidak mendapati sahabatnya berada disana, padahal wanita itu sudah bersiap sejak sore hari.
Organisasi Ikatan Dokter memang selalu memberikan beberapa penghargaan untuk dokter yang layak mendapatkan, sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka selama ini. Ada banyak kategori di dalamnya, dan memenangkan salah satunya adalah sebuah kebanggaan.
Marissa membuka pintu mobilnya, entah kapan sang kakak mengembalikan mobilnya. Tapi mobil sedan putih itu sudah terparkir di basement rumah sakit, tepat di tempat biasa wanita itu memarkirkan mobilnya.
Untuk acara formal seperti ini, Marissa memilih dress panjang dengan jas berwarna senada. Wanita itu hanya memoles sedikit wajah cantiknya karena terburu-buru.
Warna lampu jalan berganti hijau, Marissa melaju dengan kecepatan normal. Tapi, cahaya menyilaukan datang dari arah kanan saat mobilnya mencapai persimpangan jalan. Detik selanjutnya, suara benda bertabrakan memekak ditelinganya bersamaan dengan kesadaraan wanita itu yang seolah ditarik dari raganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
𝒮🍄⃞⃟Mѕυzу᭄
.
2024-11-10
0
Oi Min
yah......bagaimana dg anak2.....dokter kesayangan mereka g bsa menengok mereka lagi
2024-04-01
3
mecca
dasar orang tua luknut yg kejam gk punya perasaan anak kecil d siksa d mana letak otak mereka ya ampunnnn
2024-03-21
1