Back In Time (Reinkarnasi Selir Kejam)
Marissa Darwanti, Sp.BA. Seorang dokter berdedikasi tinggi yang bercita-cita menyembuhkan seribu nyawa. Diusianya yang kurang tiga tahun lagi menginjak kepala tiga, Marissa memilih mengabdi kepada dunia kesehatan daripada mencari pasangan. Kecintaannya pada anak-anak, membuatnya memilih jurusan dokter spesialis bedah anak. Dokter Risa, begitulah wanita dewasa itu dipanggil. Sikap baik hati dan ramah, membuat anak-anak nyaman berada di dekatnya.
"Bagaimana Dokter Risa?" tanya seorang pria paruh baya dengan jas putih dokter.
Marissa menatap lurus pada lantai, menghela napas pelan dan beralih menatap sang dokter kepala rumah sakit. "Jadwal operasi saya sudah penuh hingga dua bulan kedepan, maaf Dokter Ridwan. Saya tidak bisa. Lagipula, minggu depan ada jadwal seminar yang harus saya hadiri."
Dokter Ridwan menghela napas dalam, sudah kelima kalinya Risa menolak tawarannya. "Karirmu sebagai seorang dokter sedang naik-naiknya Risa, dengan reality show itu, pasti jauh lebih pesat lagi."
"Saya mengerti dokter, tapi saya tidak bisa." Risa tersenyum simpul. "Lagi pula, sudah ada Dokter Hisyam, kan."
"Mereka meminta wajah baru Risa, dari Departemen Bedah Anak."
Risa mengulum bibirnya, "Masih ada dokter lain, selain saya. Saya yakin Dokter Ridwan sudah ada pandangan."
"Saya hanya memandang----"
Ting.... tingg..... tingggg.......
Risa mengambil ponsel yang berdering di saku jasnya, menatap Dokter Ridwan sebentar untuk meminta izin. Sebagai seorang dokter, Dokter Ridwan jelas memahami panggilan mendesak dari UGD.
"Ya?" jawab Risa.
"Anak-anak, berusia lima tahun, jatuh dari ayunan. Dislokasi bahu........"
"Tanda vital?"
"Denyut jantung melemah.........."
"Baik, saya segera kesana." Risa bangkit, mematikan panggilan telepon dengan tergesa-gesa. "Saya harus pergi Dokter Ridwan, dan sekali lagi mohon maaf untuk tawarannya."
Dokter Ridwan mengangguk sekilas, menatap punggung Risa yang mulai menjauh. Dokter paruh baya itu memijat pangkal hidungnya. Reality Show tentang kehidupan dokter di rumah sakit sedang banyak digemari saat ini. Marissa Darwanti, akan menjadi kandidat yang cemerlang di episode Dokter Bedah Anak, yang dijadwalkan tayang minggu depan. Siapa yang tidak tahu Risa, dokter kesayangan anak-anak itu, pasti akan menjadi trending topik untuk kemajuan rumah sakit. Tapi apa mau dikata, benar jika jadwal dokter muda itu sangat padat hingga bulan depan. Banyak pasien anak-anak yang menolak melakukan pengobatan, jika bukan Dokter Risa yang menangani.
"Dia tidak mau lagi?"
Dokter Ridwan sedikit tersentak dalam lamunannya, seorang dokter muda berwajah rupawan masuk tanpa mengetuk pintu. Oh, dimana kesopanan anak itu.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintu? Apa kau buta, tidak melihat ada pintu disana?" pertanyaan sarkas untuk seorang laki-laki berjas putih yang wajahnya sudah malang melintang di televisi.
Dokter Hisyam Al Fahrizi, Sp.OG. sering di sapa dokter seleb, karena ia satu-satunya dokter di rumah sakit yang cukup sering tampil di reality show. Tak heran, wajah tampan rupawan, perawakan tinggi dan gagah, dengan gelar dokter. Siapa yang tidak betah melihatnya berlama-lama di layar televisi.
"Ayolah ayah, aku kan anakmu."
Dokter Ridwan memutar bola matanya, "Disini, aku adalah kepala rumah sakit."
"Ya, ya, ya, terserah kau saja. Tapi apapun itu, aku tetaplah anakmu." ujar Hisyam enteng.
Tak mau menanggapi sang anak, Dokter Ridwan membuka lembaran-lembaran yang berserakan di mejanya. Laporan seputar keuangan dari UGD.
"Bujuklah ia." pinta Dokter Ridwan.
Hisyam meletakkan kembali rubik di tangannya, "Siapa?"
"Dokter Risa, kau kan temannya."
"Ya, aku temannya."
"Lalu?" Dokter Hisyam mengangkat satu alisnya, "Bukankah akan lebih mudah?"
Hisyam menghela napas jengah, "Jika kau saja tidak bisa membujuknya, Ayah. Apalagi aku."
...****************...
Risa mendongak, saat lampu di ruangannya mendadak padam, lalu menyala, padam dan menyala. Risa menoleh ke arah pintu, menatap malas pada orang yang memainkan sakelar lampu ruangannya.
"Apa kau akan menggantinya jika itu rusak?" tanya Risa, wanita itu menutup layar komputernya saat orang itu mendekat.
"Tentu saja tidak."
"Lalu, apa yang kau lakukan disini?"
"Oh, Markisaa, aku hanya merindukanmu."
"Pergilah Jes, aku sedang sibuk." Marissa kembali membuka layar komputernya, menampilkan materi seputar seminar yang akan ia hadiri.
Jessica Nasution, Sp.A. Teman satu angkatan Marissa, bisa dibilang Jessy adalah satu-satunya sahabat yang wanita itu miliki. Marissa sangat pemilih dalam berteman, meskipun ia bisa berteman dengan siapa saja.
Awal pertemuan Marissa dan Jessy adalah saat ospek di kampus, mereka terlibat perkelahian karena memperebutkan gelar sebagai maba tercantik. Sifat keduanya yang sama-sama beringas, membuat katingnya kewalahan. Hingga adegan jambak menjambak tak terelakkan. Akibatnya, mereka harus dihukum selama seminggi untuk membersihkan toilet Fakultas Kedokteran. Mungkin, dari sanalah awal mula kedekatan mereka hingga menjadi sepasang sahabat. Lain halnya dengan Marissa yang memilih sendiri, Jessica sering bergonta-ganti pasangan dan tidak pernah serius dalam berhubungan.
"Apa kau tidak membaca link novel yang kukirimkan di emailmu?"
"Hemm."
"Bagaimana menurutmu?"
"Menarik."
"Hanya itu?" Jessy menatap Marissa jengah, pasti sahabatnya ini tidak sungguh-sungguh membaca novelnya.
Selain menjadi seorang dokter, Jessica juga melanjutkan hobi menulisnya. Menjadi penulis lepas di salah satu laman internet. Novel terbaru miliknya, akan terbit bulan depan. Berjudul 'Back In Time', dengan plot kekaisaran yang terinspirasi dari dinasti-dinasti di China.
"Apa kau tidak bisa mengganti nama-nama tokohnya? Aku pusing jika kau terus menggunakan nama seperti orang China." keluh Marissa.
Jessy menggeleng, "Novel itu bercerita tentang Kekaisaran seperti Dinasti Tang di Tiongkok, Ris. Wajar jika namanya seperti itu."
"Apa kau masih tergila-gila dengan Meteor Garden?" Risa memicingkan matanya, dulu saat Meteor Garden versi China sedang heboh-hebohnya. Jessica termasuk penggila Dao Ming Si, ia menempel semua poster aktor asal Negeri Tirai Bambu itu di setiap sisi tembok kamarnya.
Jessy tertawa renyah, "Tentu saja aku masih menyukainya, Meteor Garden dan drama China lainnya adalah inspirasiku untuk novel ini." Jassy kembali menggulir layar ponselnya, menampilkan rating 'Back In Time' yang semakin meroket.
"Apa mereka nyata?"
"Maksudmu?" Jessy mengerutkan kening, namun pandangannya masih fokus pada layar ponsel.
"Mereka," Marissa menjeda kalimatnya guna melihat ekspresi Jessy. "Nama mereka benar-benar ada dalam sejarah?"
Jessy menoleh, "Kurasa tidak, tapi entahlah." wanita itu mengendikkan bahunya. "Aku hanya asal mengarang nama saja, aku tak tahu jika nama itu benar ada."
"Oh, ayolah Risa. Ada ribuan orang di China mustahil tidak ada yang memiliki nama seperti tokoh dalam novelku." jelas Jessica lagi.
Marissa mengendikkan bahunya, kembali fokus pada layar komputernya. Materi seminar adalah kekerasan pada anak. Entah mengapa ada banyak sekali orang tua di luar sana yang masih melakukan kekerasan pada anaknya. Sebagai spesialis bedah anak, Marissa sendiri merasa sangat miris saat ada pasien anak-anak yang mengalami luka parah akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Marissa Darwanti, seorang putri bungsu dibesarkan di lingkungan yang penuh kasih sayang, ayahnya tergabung dalam satuan kepolisian, sang ibu mengelola sebuah panti asuhan untuk menampung anak-anak terlantar, kedua kakaknya menjadi dokter, sama seperti dirinya.
"Omong-omong, Ris." Jessy mendongak, "Jika kau jadi karakter di novelku, siapa yang kau pilih?"
"Wu Li Mei, mungkin." balas Marissa asal.
...****************...
"Selamat pagi, Dokter Risa." sapa Fahri, salah satu. dokter residen bedah anak.
"Selamat pagi, Dokter Risa."
Marissa hanya tersenyum dan mengangguk singkat, kemudian mensejajarkan langkahnya dengan Fahri dan Lintang, Lintang mahasiswa magang yang energik dan bersemangat. Risa menyukai orang-orang yang selalu bersemangat dalam hidupnya, sekalipun dirinya tidak selalu demikian.
"Jadwalku hari ini?" ujar Risa.
Mengerti dengan itu, Fahri dengan telaten menjelaskan jadwal periksa pasien untuk Marissa. Semua jadwal sudah tertulis rapi sampai satu bulan ke depan.
Lintang membuka pintu kamar melati, dari luar terdengar suara tawa anak-anak yang saling bersahutan. Perasaan Risa menghangat saat pintu terbuka, dan dia melihat pasien kecilnya saling tertawa bahagia.
Risa melangkat, langsung disambut pelukan hangat seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Anak laki-laki tersenyum, meskipun perban masih membalut sebagian kepalanya.
"Dokter Risa." panggilnya.
Risa membalas pelukan anak itu dengan sayang, tangannya mengelus kepala berbalut perban anak itu. "Merindukan dokter?" tanyanya.
"Iyaaaa." balasnya dengan senyum cerah.
"Kalau begitu kembalilah ke ranjangmu, Dokter Risa akan datangi satu persatu."
Anak itu, dan anak-anak yang lainnya duduk dengan tenang di ranjang mereka masing-masing. Ada sekitar enam orang anak disana, dan orang tua mereka selalu berjaga di sampingnya. Kecuali seorang anak.
"Selamat pagi, Herlin." sapa Risa dengan ramah, "Apa perutmu masih sakit?"
Anak yang dipanggil Herlin itu menggeleng, lalu tersenyum cerah. "Tidak lagi dokter, aku sangat rajin meminum obatku, sekalipun rasanya.... emh... pahit."
Risa dan yang lainnya terkekeh mendengar jawaban lucu Herlin, tangan wanita itu mengelus pelan puncak kepala gadis kecil itu. Risa menoleh pada Fahri.
"Kualitas urin sudah mulai membaik dokter." membaca resume untuk Herlin.
Risa tersenyum lembut, menatap kedua orang tua Herlin. "Kalau begitu besok, paling lambat lusa. Herlin sudah bisa pulang."
Kedua orang tua Herlin tersenyum cerah, mereka saling berpelukan dan bersalaman dengan Risa. "Terima kasih Dokter Risa, anda dokter yang baik."
"Kita harus berterima kasih pada Herlin, dia anak yang kuat dan pemberani."
Risa beranjak setelah berpamitan dengan Herlin dan kedua orang tuanya.
Begitulah pagi cerahnya di mulai, menjadi seorang dokter dan memeriksa satu persatu pasien kecilnya. Risa sangat bahagia bisa membuat anak-anak itu kembali tersenyum dan tertawa, mereka masih belia dan hidup mereka masih sangat lama.
Risa melangkah menuju pasien kecil terakhir di kamar itu. Seorang anak laki-laki yang meringkuk menghadap jendela, tirai ranjangnya ditutup sebelah agar tidak ada yang menganggunya. Tidak seperti yang lainnya, dialah satu-satunya anak yang tidak ditemani orang tuanya.
"Dion?" panggil Risa lembut. Wanita berjas putih itu mendekat pada duduk di sisi ranjang, ia tahu anak itu tidak benar-benar tidur.
"Dion?" panggil Risa lagi, "Apa kau tidak ingin bertemu denganku?"
"Bolehkah aku memeriksamu?"
Dion akhirnya membuka mata, namun tetap bergeming di posisinya. Menatap Risa yang mulai meletakkan stetoskop di dadanya, kemudian tangan dokter muda itu menempel di dahinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Araaa
jhh
2024-11-20
0
Fajar Ayu Kurniawati
.
2024-11-20
0
Ira
keren
2024-10-23
1