Sari yang melihat kesempatan itu, tak menyia-nyiakannya untuk mendekatkan Sita dengan lelaki yang tengah menatap sang putri penuh harap.
"Wah beneran nih Nak Agung, ngga ngerepotin?" tanya Sari hanya sekedar basa basi.
Sita melirik kesal kepada sang ibu, sudah tercium niat busuknya di balik kata kata manisnya.
"Engak Bu eh Mak," ucap Agung membetulkan panggilan yang di minta calon mertuanya itu.
"Syukurlah, dah sono buru Ta, ambil tas kamu, keburu ujan," Sari mendorong Sita agar segera mengambil bawaannya yang lain.
Sita dengan enggan menuruti sang ibu, setelahnya dia dan Agung berpamitan, Sita berdiri di sebelah motor Agung saat lelaki itu tengah mengengkol pedal gasnya.
"Kerumah dulu ya Dinda eh Sita anter rantang, sambil ambil helm," pinta Agung.
Sita yang sebenarnya sebal dengan panggilan itu namun menjawab dengan sesuatu yang membuat Agung tersenyum senang.
"Panggil Dinda juga ngga papa bang, senyamannya Abang aja."
Sita berpaling lantas memukul pelan bibirnya, yang malah berucap sesuatu di luar keinginan hatinya.
Dirinya bahkan berpikir, jika mulut dan otaknya sepertinya sudah tak sejalan.
Namun Sita ingat akan permintaan Ameliya, ia lantas mencekal lengan Agung, "Bang aku mau ke rumah temen dulu bentar di sana—" tunjuk Sita ke arah jalan samping rumahnya yang berlawanan dengan jalan rumah Agung.
Ameliya tinggal tak jauh dari rumah Sita hanya berjarak kurang lebih 250 m.
"Ya udah ke sana dulu, nanti dari rumah Abang langsung berangkat," jawab Agung yang masih tersenyum memperlihatkan lesungnya.
Sita meminta Agung berhenti di depan pohon mangga yang berjarak 10 m dari rumah Ameliya, dia tak ingin keluarga Ameliya melihatnya berboncengan dengan Agung.
Bisa jadi bulan-bulanan ledekan nanti, pikirnya.
"Maaf Bang ... Abang tunggu di sini sebentar ya, cuma ambil barang aja kok!" rayu Sita, berharap Agung setuju dan tidak tersinggung.
"Iya," Agung tak keberatan, dia masih menampilkan seulas senyum tulusnya.
Sita lantas buru-buru menghindar dari sana, senyuman Agung benar-benar membuat jantungnya berdebar-debar.
"Jangan-jangan tuh orang pake susuk, mau pelet gua kayaknya, abis senyumnya bikin jantung gua berdisko," batin Sita.
Sita langsung menyalami Ayah Ameliya yang terlihat tengah meletakan kandang burung di gantungan depan rumahnya.
"Assalammualaikum," sapa Sita, meski berbeda keyakinan dengan keluarga Ameliya, tapi ucapan salam yang sudah menjadi kebiasaan tetap di lakukan Sita.
"Kumsalam, eh Sita ... pulang? Emak kamu bae-bae aja kan?" tanya Iwan pada sahabat anaknya itu.
"Bae Om, tante ada Om?"
"Noh di belakang lagi njemurin, si Amel minta di bawain sesuatu?" tebak Iwan.
"Biasalah Om."
"Ke Tante ya Om," Sita lantas pamit, sebab dia memang sedang terburu-buru karena hari sudah semakin siang, dia tak ingin terjebak macet di perjalanan.
Sita memilih melewati samping rumah Ameliya, karena tujuannya adalah halaman belakang rumah Ameliya.
Terlihat Ibu Ameliya tengah bersenandung sembari menjemur pakaian.
Sita lantas mendekat dan menyapanya, "Assalammualaikum Tante."
"Astaga!" Maria yang terkejut lantas mencengkram erat kalung rosario yang bertengger di lehernya.
"Kamu—" Maria memukul bahu Sita karena terkejut. "Ngagetin Tante aja!" lantas menggiring Sita untuk duduk di bale belakang, tempat biasanya Sita dan kawan-kawannya berbincang jika sedang bermain ke rumah Ameliya.
"Emak kamu ngga papa kan?" pertanyaan yang sama terlontar dari mulut Maria seperti Iwan suaminya.
"Emak bae-bae aja Tante, cuma pengen pulang aja," jawab Sita.
Wajar jika Maria dan Iwan bertanya seperti itu, karena biasanya mereka bertiga pulang bersamaan, jika hanya salah satu dari tiga serangkai itu pulang biasanya ada hal penting, wajar jika pertanyaan mengenai keadaan keluarga menjadi pertanyaan utama.
"Syukurlah—"
"Ada perlu apa Sita, Amel minta di bawain sesuatu?"
"Iya Tante dia minta di bawain jaket—"
"Bentar Tan ... jaket apa ya?" tanya Sita pada dirinya sendiri.
Sita lantas membuka ponselnya, panggilan tak terjawab di dominasi oleh Ameliya.
Saat membuka pesan, sumpah serapah menjadi pembuka omongannya.
"Ck!" decak Sita membaca baris omelan Ameliya.
Hingga akhirnya dia sampai pada chat jaket apa yang di inginkan sahabatnya itu.
"Yang ini Tante," Sita lantas menunjukan photo selfie Ameliya mengenakan jaket berjenis denim itu.
Maria lantas mengambil ponsel Sita, dan segera mengembalikannya, "bentar ya Tante cari dulu," lantas meninggalkan Sita di belakang.
Tak lama Maria menyerahkan pesanan sang putri yang sudah di bungkus dengan tas, agar Sita dengan mudah membawanya.
"Kalo tau kamu pulang, Tante siapin makanan buat kalian di sana."
"Tenang Tante, nih!" Sita menunjukan rantang berisi makanan yang di bawakan oleh ibunya.
Maria tertawa, dia juga menyayangi sahabat sang putri, menganggap mereka juga putrinya sendiri, sebab mereka bertiga berteman dari kecil.
"Emak kamu emang the best dah pokoknya." Puji Maria kepada ibunda Sita.
"Ya udah Tan, Sita berangkat ya, keburu macet, Assalammualaikum," sambil menyalami Maria.
"Iya, ati-ati, kumsalam."
Sita bergegas kembali mendekati Iwan, untuk sekedar berpamitan, dia lantas terburu-buru mendekati Agung yang menunggunya, dan masih setia bertengger di jok motornya.
Sita menatap Iwan dan bersyukur Ayah sahabatnya itu memunggungi dirinya.
Agung mengendarai motornya kembali kerumah, di depan sudah ada Aminah yang sedang menyirami tanaman bunganya.
"Ya ampun calon mantu," sapa Aminah senang.
Sita sebenarnya keberatan dengan panggilan itu, sebab dia masih berusaha mencari cara menolak perjodohan itu.
Namun demi sebuah kesopanan dia tetap mencium punggung tangan Aminah.
"Ini dari emaknya Dinda Mi," Agung menyerahkan rantang milik ibunya yang isinya sudah berubah.
"Ya ampun si Sari, pake di isi segala," ucapannya tertuju pada orang yang tak hadir di sana.
Aminah lantas mempersilahkan Sita untuk duduk di kursi depan rumahnya.
Sedang Agung, dia masuk ke dalam mengambil helm untuk mereka kenakan.
Saat akan keluar Aida ikut membuntuti sang kakak, dan terlihat oleh Sita tengah merajuk.
"Bang katanya mau anter Ai ngampus gimana sih!" kesal Aida kepada sang kakak yang menurutnya ingkar janji.
Sita merasa senang atas rengekan Aida kepada Agung, membuatnya bisa menolak kebaikan Agung.
"Ya udah Bang, anter Ai aja, aku bisa naek kereta ini."
"Enggak ... enggak, Ai kamu berangkat sama bang Aji apa bang Safar aja, biarin abang kamu pedekate," sela Aminah yang senang jika Agung akan mengantar Sita.
Musnah sudah harapan Sita, niat hati ingin menolak namun terhempas begitu saja oleh ucapan Aminah.
Sedang Aida menatap sengit Sita, tapi Sita tak memperdulikannya, toh dia sudah berusaha menolak.
Saat mereka akan meninggalkan kediaman Agung, sang ibu mencegahnya, "Umi lupa tadi si Aji ke mari, dia minta nota pengiriman kedele kemaren."
Agung lantas menoleh ke arah Sita, "mampir sebentar ke pabrik ya Dinda," ucapnya meminta izin.
Sebenarnya Sita malas harus datang ke pabrik tahu Agung, meski sudah biasa melewati pabrik tahu itu, namun dia pasti menutup hidungnya sebab bau ampas tahu yang sangat menyengat, membuatnya tak nyaman.
Agung mewarisi pabrik tahu keluarganya, bisa di bilang pabrik itu lumayan terkenal di perkampungan mereka, penghasilan yang di dapat juga lumayan untuk usaha home industri.
Banyak warga yang menggantungkan nasibnya di pabrik tahu keluarga Agung, sebab karyawan Agung rata-rata dari kampung sekitar saja.
Tahu yang di produksi Agung terkenal akan kualitasnya, Agung tak sekalipun memakai pengawawet berbahaya, para karyawannya pun bekerja dengan bersih, pantas lah jika Tahunya terkenal di kota mereka, meski harga sedikit lebih tinggi dari harga Tahu pada umumnya.
Sebenarnya untuk urusan limbah pabrik Agung sudah mengikuti prosedur penangan limbah ampas dan sisa airnya, jadi bisa bisa di pastikan pabrik Agung mengikuti peraturan yang ada.
Namun tetap saja, bau yang di timbulkan tetap tak bisa di hilangkan.
Agung memarkirkan motor Rx kingnya di depan gerbang pabriknya.
"Boss, tumben siangan baru dateng," sapa Aji pada atasannya itu.
"Jaga pabrik dulu bentar ya Ji, aku antar Adinda Sita dulu ke kota," jelas Agung sambil berjalan ke ruangannya di ikuti Aji meninggalkan Sita yang memilih menunggu di depan.
Aji, karyawan sekaligus teman Agung, tersenyum mendengar panggilan spesial bossnya kepada wanita cantik yang memasang mimik muka cemberut yang mereka tinggalkan itu.
Sita menunggu di depan dengan menutup hidung serta mengibas-ibaskan tangannya, berusaha menghilangkan bau yang sangat tak sedap dari pabrik tahu Agung.
Tak lama Agung keluar, dan mereka pun melanjutkan perjalanan kembali ke kota, tempat Sita bekerja.
.
.
.
tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments
dite
😅😅😅
orang cantik mah bebas ya, bau limbah tahu jg bebas aja cemberut ama tutup idung.. wkwkwkw
kalo kita mah cm berani tahan napas aja, maklum.. nasih orang jelek
2021-08-21
1
Yulian
lanjut
2021-08-16
1
Bidadarinya Sajum Esbelfik
ceritanya merakyat..... semangat author 💪💪💪💪
2021-08-16
2