Part 6

Kanza menatap ponselnya berkali-kali, tapi ponsel Kanza tak memperespon, entah berdering atau sekedar getar saja sudah membuatnya senang, nyatanya keduanya nihil.

Harusnya dia kekantor hari ini, magang dengan di bimbing Hanif, tapi kata Daffa Hanif ada keperluan di luar kantor hari ini,sebel.

Padahal kemarin dia baru berjanji tak akan memikirkan Hanif takut kebablasan. nyatanya hari ini dia rindu dapat pesan dari Hanif.

Walau cuma sebatas itu rasa yang dia punya, itu rasa biasa cuma mengagumi tak lebih.

Ting

Kanza terlonjak girang, ya allah cuma pesan Za, kamu sesenang itu.

"Sore Nona," bunyi pesan Hanif.

Kanza kembali terlonjak girang, dengan segenap perasaan dia mendekap ponselnya di depan dada.

"Sore kak Hanif," balas Kanza dengan emot senyum.

Ting

Pesan Hanif kembali masuk, Kanza kali ini cuma senyum-senyum sendiri.

"Tadi aku ada pekerjaan diluar kantor, ini baru pulang."

"Iya gak apa, kalau lelah istrahat aja dulu," balas Kanza.

"Baiklah Nona, selamat sore."

Kanza manyun, harus nya Hanif gka langsung setuju, bilang nanti aja atau apalah, bukan malah nurut perkataan Kanja.

"Asalamualaikum kak," sapa Kanza di telpon.

"Waalaikumsalam, ada apa?"

"Iss, ketus amat udahlah gak jadi," rajuk Kanza lalu memutus telponnya.

Wajah Kanza terlihat cemberut hari ini kenapa orang bersikap nyebelin semua sih.

Ponsel Kanza berdering pangilan masuk dari Daffa, Kanza cuma melirik sekilas ke ponselnya, dia memilih mengabaikan pangilan Daffa.

Kurang lebih tiga kali Daffa menelpon baru Kanza angkat.

"Asalamualaikum gadis kecilku," ucap Daffa dengan suara lemah lembut.

"Waalaikumsalam," sungut Kanza.

"Kemana kita dek,?" tanya Daffa tetap dengan tutur yang lemah lembut.

"Udah gak minat," rajuk Kanza.

"Hmm padahal mau ajak jalan, film di bioskop yang tayang hari ini bagus -bagus, sayang kalau gak nonton," pancing Daffa.

Hening sejenak, di sebrang sana Daffa menghitung dengan jarinya hitungan kelima Kanza buka suara.

"Jemput," sahut Kanza pelan.

"Baiklah tunggu supir otw kesitu," ujar Daffa, lalu memutus telpon.

Kanza tersenyum simpul, Daffa memang paling bisa di andalkan, dia pun bersiap sebelum sopir Daffa menjemputnya.

Kanza menyesap jus jeruk yang baru di antar waiters, Daffa membawanya makan di kafe sebelum nonton karena Daffa memang belum makan sedari siang.

"Kenapa bete, materi kuliahmu sulit?" tanya Daffa seraya mengunyah makananya.

"He,em" sahut Kanza.

"Jadi gimana masih sanggup nerusin kuliah?" tanya Daffa lagi.

"Masih kak,"

"Jangan dipaksakan kalau sudah tidak mampu, belajar mengelola prusahaan aja Za," usul Daffa.

"Kuliah aja aku pusing apa lagi urus perusahaan kak."

"Walau begitu tetaplah belajar dengan Hanif, nanti sesekali kakak bawa ke pertemuan pemilik perusahaan."

"Iya baiklah kak,"

"Udah kasih kabar umi tadi kita tidak makan di rumah?"

"Udah kak."

"Udah cepat makan mu, bentar lagi bioskop buka tu,"

Kanza menyudahi makannya, tak ingin ketingalan film yang akan di putar di bioskop.

***

Hanip tiduran di kursi taman berbantalkan lengan. Sementara tangan kanannya memegang gawai, pada layar gawai tampak foto nona Kanza, entah benar atau salah dia dengan sengaja diam-diam mengambil foto Kanza.

Foto yang begitu manis, dengan senyum yang selalu mengetarkan hatinya, kalau dia tak salah tanggap tatapan nona Kanza juga mengandung rasa.

Tapi rasa yang ada mungkin hanya sebatas asa semata, insan seperti Hanif tak kan berani menggapai nona Kanza tak kan terjangkau.

"Cantik." tiba -tiba suara ibu sudah ada di sebelah Hanif.

"Eh ibuk."

Hanif baranjak duduk, diikuti ibu yang duduk disamping Hanif.

"Temen kerja Nif," ujar ibu seraya melongok ke gawai Hanif yang sudah mati layarnya.

"Bukan buk?"

"Terus saiapa?"

"Kanza anak pimpinan perusahaan buk," sahut Hanif.

Ibu menatap Hanif sesaat lalu melempar pandangannya kedepan.

"Kamu suka dia Nif,?" tanya ibu.

"Cuma kagum buk, dia bukan kelas Kita," ujar Hanif menerawang.

"Sudah tau bukan kelas kita kenapa membiarkan perasaan mu berkembang sejau ini?" ucap ibu mengandung tanya, ibu benar, harusnya Hanif tak membiarkan perasaan yang ada kalau tau mereka tak sekelas.

"Susah buk, perasaan kadang tak mau di ajak kompromi, kita maunya begini dia maunya begitu, semakin menghindar malah semakin rindu," ujar Hanif dengan tawa kecil di bibirnya.

"Sadar siapa kita, jangan di teruskan kalau tidak ingin kecewa," ujar ibu seraya menepuk pundak putranya.

Dia hanya ingin putranya membuka mata siapa mereka bagi Kanza.

"Udah malem ibu tidur dulu," ujar ibu seraya benjak bangkit.

Hanif cuma mengangguk, seraya menatap punggung ibu yang sudah berjalan menjauh.

Helaan nafas terdengar dari bibir Hanif, mungkin ibu ada benarnya.

Ting

"Kak sudah tidur?," begitu bunyi pesan dari Kanza.

Hanif menatap layar yang menampilkan pesan dari Kanza, terbayang olehnya raut wajah imut milik Kanza.

"Belum, baru mau tidur, Nona sendiri kenapa belum tidur?"

"Gak bisa tidur."

"Tidurlah besok pagi mau kuliah."

"Iya, selamat malam," tulis Kanza pada pesannya.

Hanif kembali menghela nafas dalam, begini bagai mana bisa menjauh.

Andai nona Kanza gadis biasa, Hanif kembali berandai Kanza terlahir dari keluarga biasa yang tak melihat kasta.

"Malam," jawab Hanif walau telat, tapi ternyata Kanza di sebrang sana masih menanti balasan Hanif.

**

"Pa," rengek Anita pada papanya.

Tuan Hermanto hanya diam tak mengubris rengean Anita, dia tak habis pikir kenapa tiba -tiba Anita minta di tempatkan di salah satu prusahaan miliknya.

"Ada apa,apa yang terjadi?" tanya pak Herman penuh selidik.

"Pokonya aku mau kerja di perusahaan papa titik!"

Herman menghela nafas berat, Anita bukan anak yang gampang di kasih pengertian, apa lagi sedari kecil dia dan istrinya selalu menuruti kemauannya.

"Beri papa alasan kenapa tiba-tiba mau terjun kedunia bisnis?"

"Papa banyak nanya, harusnya papa senang aku sukarela terjun kedunia bisnis," sungut Anita.

"Ya harus bisnis bukan dunia main-main salah melangkah bisa hancur usaha kita, jadi papa harus tau apa tujuan mu terjun ke bisnis?"

"Baiklah-baiklah, biar aku bisa sering ketemu Daffa."

Herman mengerut kan keningnya Daffa, apa Anita menyukai Daffa.

"Kamu suka sama Daffa?"

Anita mengangguk, pak Herman menghela nafas dalam, pak Daffa bukan lelaki yang mudah dirayu, akan banyak rintangan untuk mendekati Daffa.

"Bagaimana dengan Daffa, dia suka tidak?"

Kanza mengeleng, Daffa sama sekali tak merespon perasaannya, itu sebabnya dia minta bantuan pada papanya.

"Kau mau papa membantumu mendapatkan Daffa?" tanya Herman pada putrinya, yang lansung di sambut anggukan kepala oleh Anita.

"Baiklah papa akan bantu, tapi ingat niatmu terjun di dunia bisnis harus serius jangan sekedar main-main ingat ."

"Bener pa?" Anita terlonjak kegirangan mendengar ucapan papanya.

"Makasih pa," ujar Anita memeluk tubuh ayahnya.

.

.Happy reading readers

.

.🙏🙏🥰

Terpopuler

Comments

Turmiati Jevienia Raesa Putri

Turmiati Jevienia Raesa Putri

maaf Thor tilsanya banyak yg salah apalagi pas nyebut nama si A jadi nama siB lebih diperhatikan lg Thor tulisanya. buat cerita q suka banget is the best buat author nya

2022-05-21

0

Ade Safitri

Ade Safitri

🙏 masih ada typo nya...

2021-09-14

2

Jarkasih

Jarkasih

masih sering salah ketik ya thor..
tapi tetep paham kok

2021-06-20

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!