Kembalinya Aida ke kantin, sudah ada Tama yang sedang menunggunya. Terlihat wajah kacau Aida membuat Tama juga Anis khawatir. Banyak yang kasa-kusu menggosip tentangnya, akan tetapi Aida mungkin akan lebih cuek kepada mereka. Hidup itu pilihan bila kita tetap merespon mereka yang tidak suka kepada kita, semakin mereka menindas kita sesuka hati mereka. Menunjukan ketegaran adalah jalan satu-satunya Aida, akan tetapi semua itu hanya topeng semata untuk menyembunyikan rasa sedih di relung hatinya.
"Apa kamu tidak apa-apa?" Tanya Anis.
"Tidak, Kak Tama sudah lama di sini?" Tanya Aida.
"Tidak juga, kita segera pesan makanan saja, perutku sudah keroncongan," ujar Tama membuat Anis menahan tawa.
Adrian segera datang bersama kedua temannya, melihat Aida bersama Tama dia semakin geram. Hanya tatapan tajam yang selalu membuat Aida tidak nyaman dari Adrian.
"Aku tidak lapar, kalian saja yang makan. Aku mau ke perpustakaan," seru Aida segera bangkit dan berjalan ke arah perpustakaan.
Tama juga Anis hanya menatap nanar kepergian temannya itu.
Hanya tempat sunyi yang bisa membuat Aida mencurahkan segala kesedihannya. Entah sampai kapan dirinya menyembunyikan kerapuhannya. Isak tangis Aida membuat Adrian semakin menang melawannya. Tanpa Aida tahu, Adrian mengikutinya sampai dia mendapatkan Aida sedang menangis di pojok lorong perpustakaan.
"Apakah aku salah telah di lahirkan kedunia yang kejam ini! Aku tahu Ibuku wanita hina, tapi tolong kalian jangan menghina orang yang sudah meninggal. Aku bukan wanita seperti yang kalian nilai sesuka hati," Isak tangis Aida di kesendiriannya.
Adrian hanya bisa diam mendengar ucapan Aida seorang diri. Tapi lagi-lagi dia menepis rasa kasian terhadapnya.
"Tidak, wanita itu tidak boleh aku kasihani," geram Adrian membalikan tubuhnya dan segera keluar.
Tiga jam sudah.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, sejak istirahat Aida tidak bersuara lagi membuat Anis khawatir melihat keadaan teman sekaligus sahabatnya itu. Tidak banyak teman, Aida hanya punya Anis yang bisa menerimanya di sekolah.
"Aku pulang duluan yah, kalau kamu sudah pulang ke rumah kasih tahu aku," seru Anis memeluknya. Aida hanya mengangguk dan melambaikan tangan tanda perpisahaan.
"Hei, kau sedang menunggu jemputanmu? Kalau bisa aku antar kamu ke rumahmu," tawar Tama.
"Tidak usah Kak, sebentar lagi Pak Supir datang kok. Aku tidak mau merepotkanmu Kak," sahut Aida ramah.
"Baiklah, Kakak pulang duluan," ujar Tama tersenyum manis.
Adrian hanya tersenyum sinis sambil menjalankan mobil mewahnya. Ia bisa sesuka hati mengejeknya.
"Wanita murahan sepertimu tidak pantas bersama Tama. Aku yakin orangtuanya juga tidak suka kalau tahu kamu menggodanya," ejek Adrian.
"Kalau kamu mau pulang, pergilah aku tidak mau mendengar ucapan sampahmu," seru Aida bersikap tenang. Tidak terima atas ucapan Aida, Adrian keluar dari mobil dan mencengkram tangannya dengan sangat erat.
"Berani sekali kamu hah," pekik Adrian.
"Aku tidak takut sama kamu, beraninya hanya sama wanita sepertiku!" Seru Aida menatap penuh kebencian.
Adrian pun semakin mencengkram tangannya sampai Aida menatap tajam menahan rasa sakit. Tatapan mereka beradu pandang satu sama lain, ada kedamaian dalam mata Aida membuat Adrian tidak berhenti menatapnya.
"Apa kau puas menatapku begini," ejek Aida.
"Dasar wanita sialan, berani sekali kamu menggodaku," ujar Adrian menghempaskan tangannya.
Aida hanya bisa tertawa kecil sambil membenarkan kerah bajunya dan berlalu pergi meninggalkannya. Melihat keangkuhan Aida, Adrian mengejarnya.
"Apalagi kamu, sudah puas menghinaku seperti orang lain," ujar Aida membalikan tubuhnya dan berhadapan kembali. Adrian semakin geram, ia segera mencekal kembali tangan Aida.
"Aku pastikan, kau akan mengejarku dan menjual tubuh murahanmu seperti Ibumu yang sudah menyerahkan tubuhnya kepada Kakakku," bisik Adrian dan segera menghempaskan lagi tangan Aida. Aida tercengang, membuat dirinya berderai air mata, Adrian hanya bisa tersenyum puas dan segera meninggalkan Aida di tepi jalan sendiri.
****
Sejak kejadian siang, Aida sedikit melamun di dalam mobil. Ia terus memikirkan bagaimana orang-orang hanya bisa menghinanya, memandang sebelah mata terhadapnya termasuk Adrian.
Amira menyambut kepulangan Aida. Namun, hanya ada raut wajah murung dari anaknya itu membuat Amira khawatir. Ia segera menyusul ke kamarnya.
Pintu kamarnya tertutup rapat, akan tetapi suara tangis dari dalam kamar menandakan anaknya sedang tidak baik-baik saja.
"Sayang, apa yang terjadi?" Tanya Amira mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban membuat Amira mengurungkan niatnya untuk memaksa masuk. Amira melangkah pergi meninggalkan kamar Aida.
Di dalam kamar.
"Apa aku salah, aku di lahirkan hanya untuk di caci sama orang lain. Ibu kenapa aku di lahirkan kedunia ini kalau hanya untuk menderita seperti ini. Tuhan tolong ajarkan aku lupa, agar aku tidak mengingat omongan mereka dan hinaan mereka kepadaku," lirih Amira sambil menangis sampai dia tertidur lelap membawa kepedihan di hatinya.
JANGAN LUPA DUKUNGANNYA BUAT AUTOR.
LIKE
KOMEN
VOTE
HADIAH
RANTING 5.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Lidyawati Lidya
mana foto peran utamanya author
2021-12-06
0
☆chika
umur gak sesui sama cerita nya thor.
anak usia 13 sampai 16 masih pikiran main sama teman2.
belum sampai sedewasa ituu..
apa lagi sekejam itu.
sedih aq tuh.😢😭
author mempertegas
kalau anak jaman sekarang,
seusia itu udah kepikiran sampai kesana nya
2021-07-19
0
arin
semoga dsni peran cwenya kuat dan pinter
2021-07-10
1