Arya mulai mengetuk-ngetuk jarinya di meja, tapi Mariko belum juga bicara. "Aku menunggu penjelasanmu, Ricky ...."
"Apa aku salah? Aku kan tidak menculiknya." Mariko mengangkat kepalanya. Wajahnya sendu menatap Arya.
"Tapi kamu masuk ke rumah orang lain saat pemiliknya tidak ada. Kau bukan saudaranya atau apa. Kalau ada barang yang hilang dan ia menuduhkannya padamu bagaimana? Atau ia melaporkanmu telah menerobos masuk rumahnya, bagaimana?"
"Rumah orang lain? Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya ...." Mariko kesulitan bicara. Aku kan hanya ingin menemui anakku sendiri. Anak yang kulahirkan dan darah dagingku. Apakah itu salah satu tindakan kriminal? Dunia benar-benar tidak adil bagiku ....
Ia hampir menangis dan mengerucutkan mulutnya sambil memainkan pinggiran bawah baju kaos yang di kenakannya dengan jari. Arya mulai merasa iba.
"Kenapa kau tidak bilang kalau kau kemari?"
Mariko hanya diam. Ia berusaha menahan tangisnya.
Arya memiringkan tubuhnya kearah Mariko dan berbisik. "Ricky. Kamu tahu kan ini berbahaya untukmu."
"Sepi. Rindu ini mengusikku. Aku rindu tawa kecilnya."
Ah, sial. Kenapa Ferdi mengajarinya puisi sih? Arya menepuk-nepuk bahu Mariko. "Ya sudah. Kalau mau ke sini bilang padaku. Nanti kuantarkan."
"Aku sudah bilang pada Sri, kalau tidak di izinkan aku masuk juga tidak apa-apa, tapi ia mengizinkanku."
"Iya, iya sudahlah." Arya masih menepuk-nepuk bahu Mariko. Kemudian ia berdiri. "Ayo kerja lagi. Sepertinya besok kita bisa memasang besi untuk atapnya agar bisa mengecor. Coba tolong tanya persediaan besi panjang yang ukuran kemarin, mereka punya berapa banyak. Kalau tidak cukup aku akan pesan tambahan di tempat lain. Juga semennya ya?"
"Iya, kak." Mariko mulai kembali bersemangat bekerja. Ia mengambil hpnya dan menelepon.
Sementara itu di luar, ada satu kendaraan bermotor yang mendekat. Mereka ingin memasuki rumah Chris tapi di tahan oleh para bodyguard. Salah satu dari bodyguard itu masuk mencari pemilik rumah tapi tidak di temukan. Terpaksa ia mendatangi hingga ke taman belakang dan bertemu Mariko.
"Mas, di depan ada yang mengaku saudara ibu Reina. Ibu Reinanya ke mana ya?"
"Oh, mungkin di kamarnya." Mariko berdiri.
"Bisa kasih tahu ke ibu Reinanya mas, karena saya tidak tahu kamarnya dan saudaranya kami tahan di luar. Untuk memastikan, tolong minta ibu Reinanya keluar."
"Oh, iya ya." Mariko masuk dan mendatangi kamar Reina, sedang bodyguard itu segera kembali keluar.
Mariko mengetuk pintu dan Reina membukanya.
"Oh, Ricky. Ada apa?"
"Ada saudara ibu di luar."
"Benarkah?" Reina segera keluar kamar melewati ruang tamu dan keluar ke halaman. "Uniiii ...." Ia melambaikan tangannya ke pagar.
Para bodyguard membiarkan Sarah dan suaminya, Bujang masuk ke halaman rumah menggunakan motor. Mereka memarkir motornya di depan garasi.
"Kenapa pagarnya di ganti? Uni sampai ragu-ragu mau masuk ke dalam rumah." Sarah yang turun dari motor menunjuk pagar Reina yang masih menggunakan kayu sederhana.
"Oh, itu Uni. Pagarnya mau di ganti tapi pagarnya belum jadi. Jadi untuk sementara pakai yang model kayu ini dulu."
"Oh, itu mau di ganti lagi?" Sarah hampir tak percaya. "Oo."
"Uni apa kabar?"
"Baik. Uni setelah mengantar Bundo, Uni tinggal di Padang. Kemarin Uni baru balik."
"Lama benar Ni. Hampir sebulan ya?" Reina membawa Sarah dan suaminya masuk ke dalam rumah. "Duduk di sini Ni." Ia mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu.
"Iya. Assalamualaikum. Suamimu mana Reina? Eh, kamu tidak kerja ya?" Sarah mencoba duduk di kursi. "Oya, ini ada oleh-oleh dari Padang." Ia meletakkannya di atas meja di depannya.
"Oh, terimakasih. Suamiku masih sakit."
"Iya, aku lihat di tv. Jahat benar orang itu ya? Makanya aku mengira-ngira jangan-jangan kamu masih di rumah. Indak bakarajo. (tidak bekerja) Ternyata benar. Apa sakitnya masih parah?"
"Ah, tidak. Lengannya retak tapi besok gipsnya sudah bisa di buka." Reina tersenyum. "Oh ya, aku panggilkan Uda dulu ya?"
Reina melangkah ke kamar. Tak lama ia keluar bersama Chris.
"Oh, Uni."
"Sehat Chris?" Sarah dan suaminya berdiri menyambut Chris.
"Iya, Alhamdulillah."
"Masih sakit ya?" Sarah menunjuk dengan matanya ke arah lengan Chris yang di beri gips.
"Sudah tidak." Chris duduk di kursi sofa di hadapan Sarah dan Reina pergi ke dapur.
"Ini Chris, kami baru pulang dari Padang kemarin habis mengantar Bundo, lihat di tv kamu dapat musibah. Sekalian menengok, kami ada sedikit bawa oleh-oleh dari Padang." Sarah mendorong bungkusan yang di bawanya pada Chris.
"Oh ya." Mata Chris terlihat senang. "Maaf pakai tangan kiri." Ia mengambil dan membukanya.
"Ini kripik Sanjay dan kipang kacang."
Chris memegang bungkusan kripik itu. "Pedas ya? Merah sekali."
"Oh, itu hanya warnanya saja. Tidak terlalu pedas dan ada manisnya."
"Oh ya." Mata Chris terlihat bercahaya. "Aku mau coba. Tolong bukakan untukku."
"Pakai gunting."
"Coba tanya Reina di belakang di dapur."
Sarah mendatangi dapur. Ada Reina di sana sedang membuat teh dan Mariko yang mengambil air dingin dari dalam kulkas. Mariko menganggukkan kepala saat keluar membawa 2 buah gelas air dingin.
"Sia paja ko Na?(Siapa orang ini Na?)" Sarah melirik Mariko yang pergi ke taman belakang.
"Oh, itu asistennya kontraktor. Di belakang Uda lagi membangun lagi untuk tambahan kamar." Sahut Reina sambil menuang teh ke cangkirnya.
"Kok padusi?(Kok perempuan?)"
"Itu laki-laki Uni." Reina hampir tertawa.
"Masa?"
"Iya."
"Mmh." Sarah masih mengintip ke arah taman belakang. "Eh, lupa. Ambo mancari guntiang. (aku mencari gunting)"
"Ini Uni, di laci." Reina mengambilkan gunting dari laci rak.
"Na, Uni sudah lama meninggalkan Jakarta. Uang Uni habis. Bisa tidak pinjam uangmu Na, buat modal usaha." Sarah mengambil gunting dari tangan Reina.
Reina memutar tubuhnya menghadap Sarah. "Usaha dagang baju lagi?"
"Entahlah."
Reina kembali membalikkan tubuhnya dan mengambil baki yang sudah terisi 4 cangkir teh. Ia membawanya ke ruang tamu di iringi Sarah.
"Kira-kira apa ya Na?"
"Uni mau dagang apa?"
"Mmh ...."
"Ada apa?" Sahut Chris.
Mereka sudah mencapai meja ruang tamu dan Chris mendengar sedikit percakapan mereka terakhir.
"Oh, Uni mau buka usaha. Tapi dia bingung mau usaha apa." Reina meletakkan cangkir tehnya satu-satu di atas meja sedang Sarah menggunting bungkus kripik Sanjay.
"Sebelumnya usaha apa?" Chris penasaran.
"Sebelumnya aku jualan baju di pinggir jalan." Bujang menjawab.
"Kamu jualan itu?" Chris tak percaya.
"Yah, modal kami kecil. Kami ke Padangpun modal nekat. Pinjam uang tetangga."
"Oh." Chris melongo. "Lalu sekarang bagaimana?"
"Yah, mau pinjam untuk modal usaha, kalau bisa." Bujang menyatukan tangannya.
"Usaha apa?"
"Entahlah. Kami tidak tahu."
"Kalau buka usaha itu yang kamu bisa. Kalian bisa buat apa?"
Sarah tertawa. "Saya hanya bisa masak di dapur."
"Tapi itu kan bisa jadi usaha." Chris mengarahkan.
"Tapi itu butuh modal besar. Harus sewa toko." Sarah terlihat segan.
"Tidak apa-apa, aku akan modali."
Sarah dan bujang saling berpandangan tak percaya.
"Yang benar Chris?" Sarah berusaha memastikan telinganya.
"Iya. Mulailah dari toko kecil dulu. Biar nanti Reina yang memantaunya. Cari saja dulu toko yang bisa di sewa. Itu kalau kalian mau ikuti saranku."
"Oh, mau mau!" Sarah dan Bujang serempak menjawab.
Reina tersenyum. "Nanti Uni makan siang di sini kan? Ina baru mau masak."
"Oh, Uni bantu ya?" Sarah segera beranjak dari kursinya.
Ia menemani Reina ke dapur. Chris melirik ke arah kripik yang sudah di gunting bungkusnya oleh Sarah. Ia mencobanya.
"Mmh, ini enak. Kok bisa rapuh ya? Keripik singkong kan ya?"
"Iya, khas Padang. Di potongnya memang lebar-lebar begini."
"Oh ...."
Mereka mengobrol hingga jam makan siang dan makan siang bersama di sana.
Sarah membantu Reina membawa piring kotor ke dapur dan mencucinya. Sejak dari makan siang Sarah memperhatikan Arya dan Mariko yang bolak balik melewati ruang tengah. Membawakan makanan untuk tukang dan pergi sholat. Saat Arya kembali ....
"Itu kontraktornya?" Sarah bertanya pada Reina yang sedang membuka kulkas.
"Oh, iya." Reina melihat sekilas.
"Bukankah dia yang datang waktu tahlilan suamimu?"
"Mmh? Iya betul." Reina memasukkan makanan sisa ke dalam lemari es.
"Oh, ternyata dia seorang kontraktor? Beruntung sekali hidupmu, Ina. Bertemu orang-orang hebat."
"Ya tidak juga. Bertemu orang-orang seperti itu juga banyak godaannya. Seakan masalah yang tidak ada habisnya. Bukankah hidup lebih menyenangkan seperti Uni yang hanya memikirkan cara mencari makan. Lebih sederhana. Tidak neko-neko."
"Masa sih?"
"Yah, rumput tetangga memang lebih hijau."
Mereka tertawa. Mariko masuk ke dapur membawa botol kosong.
"Eh, maaf." Mariko segan melihat tawa Reina dan Sarah berhenti. "Airnya habis. Boleh saya minta lagi air esnya, soalnya di luar mulai panas udaranya." Katanya berhati-hati. Ia takut karena kedatangannya, tawa mereka berhenti.
"Oh, ya. Ada kok." Reina mengambilkan satu lagi botol berisi air dingin dari lemari es. "Ini."
"Terimakasih." Mariko mencoba tersenyum sambil meletakkan botol kosong ke tempat cuci piring di mana Sarah sedang mencuci. "Maaf."
"Ya, tidak apa-apa."
Kemudian Mariko menghilang di balik pintu menuju taman belakang.
"Tapi dia lebih mirip perempuan ya, di banding laki-laki." Sarah masih memperhatikan pintu tempat Mariko pergi tadi sambil mencuci piring.
"Ya, kadang-kadang aku berpikir, pria ini kalau jadi wanita pasti banyak yang suka."
"Iya kan ...." Sarah mengacungkan spon penggosok panci yang di pegangnya.
Reina tertawa. "Tapi jadi laki-lakipun wajahnya tetap menarik."
"Kau tertarik padanya?" Sarah berhenti menggosok piring dan berbisik sambil menatap Reina.
"Ya tidaklah Uni. Aku kan suka tipe pria yang matang. Bukan seperti anak muda begitu. Uni kan tahu?" Reina berbicara sedikit berbisik sambil menyenggol lengan Sarah.
Mereka berdua tertawa. Di saat bersamaan Chris masuk dan melihat Reina dan Sarah saling berbisik sambil tertawa. Ia penasaran.
"Ada apa?"
"Oh, tidak ada apa-apa." Sarah mencoba bersikap normal.
Chris menatap Reina.
"Tidak ada honey. Hanya bercanda biasa."
Sarah berdehem membersihkan tenggorokannya sehabis tertawa.
Chris masih curiga tapi kemudian ia akhiri karena tidak ada tempat untuk bertanya. "Mmh, aku mau minum air dingin."
"Oh, iya honey." Segera Reina mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin dari dalam kulkas. "Ini."
"Tolong bawakan ke meja makan."
"Oh, iya."
Reina dan Chris berjalan ke meja makan. Tapi saat Reina hanya meletakkan gelas, Chris mencegahnya.
"Tolong temani aku di sini."
"Tapi kasihan Uni di dapur sendiri."
"Suamimu bagaimana?"
"Kan ada Bujang menemani di sini." Reina menatap sekilas bujang yang duduk berseberangan dengan Chris.
"Tidak mau. Kamu di sini saja."
Bujang menahan tawa.
"Eh, ya sudah." Reina mengusap tengkuknya. Ia sedikit malu pada Bujang karena Chris terlihat manja.
Setelah mencuci, Sarah datang dan meminta pamit pulang.
"Sebentar." Chris masuk ke dalam kamar. Ia kemudian keluar dengan sejumlah uang di tangan dan memberikannya pada Sarah.
"Oh, Chris. Tapi ini banyak sekali." Sarah memegang uang itu sedikit gemetar. Tiga ikat yang masih utuh.
"Ya, sekalian untuk sewa toko. Kalau kurang, bilang saja."
"Oh, terimakasih ya." Sarah memasukkan dalam tasnya.
Tak lama Sarah dan suaminya pulang.
Reina merapikan meja ruang tamu dengan membawa cangkir tehnya ke dapur. Ia kemudian menyusul suaminya ke dalam kamar.
"Da, aku mau membersihkan kamar mandi dulu ya?" Reina melihat Chris duduk di tepian tempat tidur.
"Eh, Reina. Ada yang ingin kutanyakan."
"Apa?" Reina mendekat.
"Duduk di sini." Chris menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
"Iya?" Reina duduk di samping Chris.
"Kamu bicara apa tadi dengan Uni?"
"Oh, hanya pembicaraan ibu-ibu biasa."
Chris menatap Reina. "Benarkah? Tentang apa?"
"Da, kami hanya mengobrol. Pastilah Uda mengerti. Ibu-ibu, biasa."
"Tapi aku dengarnya ada kalimat 'tipe pria'nya."
Reina tersenyum dan menatap mata Chris yang redup. Ia bisa merasakan Chris sedang rapuh. Reina menakup wajah Chris dengan kedua tangannya dan menatapnya lekat.
"Da, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tipe pria idamanku hanya kamu. Tidak ada yang lain."
"Sungguh?"
"Iya Da. Kalau tidak, mana mungkin aku menikah dengan Uda."
"Janji?"
"Janji apa?"
"Kalau ada yang lebih tampan atau lebih muda dariku, kau tidak akan berpaling?"
Apa yang dia pikirkan sih? Dia suamiku sekarang dan tentu saja hanya dia dan anak-anak yang aku pikirkan. Kenapa dia jadi rapuh begini?
"Da, mungkin ini efek dari Uda terlalu lama di rumah, jadi Uda tergoda untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting. Barangkali Uda sudah rindu ingin bekerja lagi di kantor, jadi Uda sedikit stres."
"Mmh, mungkin kau benar." Chris mulai berpikir.
Reina memeluk leher suaminya dan menempelkan wajahnya pada Chris. "Apakah aku seperti wanita yang ada dalam pikiranmu itu?"
"Mmh, tidak."
Reina melepas pelukannya. "Nah, kan? Uda bisa menjawabnya sendiri."
"Iya, kau benar." Chris tersenyum mengingat kebodohannya tadi.
"Sudah ah, aku mau membersihkan kamar mandi." Reina berdiri.
Di taman belakang, Arya yang bolak balik di area bangunan mulai mendapati bajunya terkena debu semen dan juga semen basah yang mulai mengering. Ia juga menutup mulutnya dengan saputangan menghindari debu semen yang beterbangan karena panas dan keringnya udara.
Ia keluar dari area bangunan dan mendatangi Mariko yang masih duduk di kursi yang di letakkan dekat pintu masuk.
Arya menurunkan saputangannya ke dagu. "Uh, udaranya kering sekali."
Mariko yang melihat kemeja Arya yang mulai kotor, menarik tangan Arya dan menepuk-nepuk debu di bagian lengan. Arya menarik kembali lengannya.
"Tidak usah, nanti saja. Aku mau masuk kembali."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Sinyo
so sweet nya mariko
2021-07-14
1