"Kak."
Ayo, coba. Apa kau bisa merayuku? Arya menunggu.
Sambil masih menggenggam jemari Arya, Mariko mendekati tubuh Arya dan membentur-benturkan wajahnya pada dada bidang Arya pelan, kemudian mendongakkan kepalanya ke atas melihat wajah Arya dengan tatapan sendu. Benar-benar terlihat manja dan sedikit merajuk. Wajahnya seperti melihat kucing memohon sepotong tulang. Terlihat aneh tapi benar-benar ampuh.
Huh, wanita. Punya seribu satu cara untuk menaklukkan pria. Tapi kuakui, aku luluh melihat wajah kucingnya ini. Sangat menawan. Rasanya ingin aku menculiknya dan membawanya ke suatu tempat di mana aku tidak hanya luluh tapi lepas kendali.... Oh stop. Apa yang kupikirkan? Aku belum menghalalkannya bodoh!
Arya mundur, menahan rasa agar tidak semakin jauh membawa fantasi liarnya terbang ke langit ke tujuh.
"Sudah, iya. Aku ke depan." Arya berjalan memimpin di depan. Terlihat konyol, tapi kenapa pria gampang tergoda hal-hal seperti ini ya? Apa karena dia cantik? Heh, tapi itu benar.
Mariko mengekor saja mengikuti Arya melewati ruang makan, ruang tamu hingga keluar rumah. Ia bahkan mengikutinya hingga menemui Ferdi di luar.
"Eh, kamu kenapa ke sini?" Arya melihat Mariko yang mengikutinya hingga keluar pagar.
"Itu." Mariko menunjuk Ferdi.
"Tidak, kau masuk! Lihat pekerjaanmu!" Arya dengan tegas menunjuk pada para pekerja Ferdi yang sedang menimbun semen dan batu bata di taman depan.
"Mmh? Iya." Mariko terpaksa mundur dan melangkah ke arah taman. Ia masih memperhatikan Ferdi dan Arya dari kejauhan sambil mengawasi pekerja.
"Ada apa?" Arya memulai pembicaraan. Ia melipat tangannya di depan dada.
"Eh." Ferdi sedikit ragu memulai, melihat wajah angker Arya. "Kak, jangan galak-galak kak, aku mohon. Aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak bermaksud mengajari Ricky hal-hal yang buruk. Tidak. Aku hanya menawari kakak."
Arya terlihat semakin kesal. Ia menghela napas.
Ferdi merasa bodoh. Ia buru-buru meralatnya. "Eh, maaf aku tidak tahu kalau kakak tidak suka. A a aku minta maaf kak. Aku senang kakak bisa main denganku kemarin. Aku sudah lama tidak punya teman yang bisa bantu aku menaikkan level gamesku sampai banyak seperti kemarin. Aku benar-benar ingin main lagi sama kakak, makanya aku tanya kesukaan kakak apa tapi kakak tidak kasih tahu, jadi aku menebak-nebak saja sendiri." Jawaban jujur Ferdi sedikit meluluhkan hati Arya.
"Tapi untuk sekarang ini aku sedang banyak kerjaan." Arya bingung menjawabnya.
"Yaaa ... kakak. Sejam saja malam, masa tidak bisa kak?"
Arya menatap Ferdi dengan pandangan kesal bercampur rasa iba. "Aku tidak tahu."
"Eh, nanti kalau mau main ke rumah beri tahu Ricky ya kak, biar Ricky kasih tahu aku."
"Ya." Arya menjawabnya dengan ketus.
Tak lama, pekerjaan menurunkan barang-barang telah selesai. Ferdi pun pamit dengan membawa mobil truknya pergi.
"Kok dia langsung pergi?" Mariko datang menghampiri.
"Kan pekerjaannya sudah selesai. Kenapa, kamu suka padanya?" Mata Arya penuh selidik.
"Kan biasanya dia pamit padaku?" Mariko menunjuk wajahnya.
"Itu berarti kamu tidak penting lagi baginya."
"Masa?"
"Ck! Kamu banyak bertanya. Sudah waktunya kita ke klinik. Ayo, kita pamit pada pak Chris."
"Sudah."
"Mmh? Tapi kan kita mau pinjam motornya?"
"Sudah." Mariko memperlihatkan kunci motor Chris.
"Oh, bagus kalau begitu." Arya mengambilnya dari tangan Mariko.
Mereka mendatangi garasi dan membukanya. Setelah mengeluarkan motor, kendaraan itu melesat ke klinik yang di tuju.
Klinik pagi itu tidak terlalu ramai. Mereka mendaftar dan menunggu di ruang tunggu.
"Kak, sebenarnya aku bisa datang sendiri kak."
"Mmh? Kau mengusirku?"
"Tidak. Hanya aku merasa, aku sudah ganggu kakak bekerja. Harusnya sekarang kakak kerja dan aku ke sini sendiri."
"Bukankah aku turun terlibat dengan kejadian yang melukaimu itu." Arya menatap ke lantai. Ia sendiri masih rancu dengan keterangannya sendiri tentang keterlibatan dirinya.
"Kan kakak tidak terlibat. Tidak sama sekali. Malahan kakak bantu aku hingga aku bisa berdiri di sini."
Arya menatap Mariko. Alasan ia berada di situ karena ... ingin menemaninya. "Aku hanya ingin pastikan kau benar-benar memeriksakan diri ke klinik. Kau bisa saja kan berbohong sudah padahal belum."
"Aku kan tidak begitu kak."
"Aku tidak percaya."
"Kak."
"Sudah, jangan membantah." Arya melihat ke arah lain.
Mariko mengerucutkan mulutnya.
Suster mulai memanggil nama-nama pasien. Di ruang tunggu yang besar itu terdapat beberapa poli yang mengelilingi mereka. Beberapa poli lain juga telah mulai memanggil pasiennya. Seorang ibu muda yang sedang hamil besar datang bersama pasangannya. Ia duduk tak jauh dari Mariko dan Arya. Sambil berbincang dengan suaminya sesekali ia mengelus perutnya. Sepertinya mereka sedang menanti kelahiran si buah hati.
Arya berdehem. "Kamu, kalau bertemu dengan pria yang kau suka lalu menikah. Apa ... kau ingin punya anak lagi?" Ia kembali menatap Mariko.
"Mmh?" Kenapa ia menanyakan hal-hal aneh seperti ini?
Arya menunggu.
"Apa aku harus menjawabnya?" Mariko masih sedikit bingung.
"Kau tidak ingin punya anak lagi?"
"Mungkin."
"Mungkin apa?"
"Mungkin ingin."
"Kenapa mungkin?"
Mariko menatap Arya.
"Oh, aku hanya ingin tahu apa kamu tidak trauma setelah mendapatkan Tama." Arya mencari alasan tapi ternyata yang keluar malah yang sejujurnya dari hati.
"Oh." Mariko membetulkan duduknya. "Tidak, aku tidak trauma."
"Jadi ... kenapa mungkin?" Arya masih mencecarnya.
"Mmh?" Dia mau apa sih tanya seperti ini? Aku kan risih. "Tergantung pasangannya."
"Tergantung pasangannya? Maksudnya bagaimana?"
"Ibu Mariko. Ibu Mariko Wiraguna." Suster memanggil nama pasien berikutnya.
"Itu pakai namamu?" Mariko heran mendengar nama belakang namanya.
"Ayo, kita sudah di panggil." Arya berdiri dan menarik tangan Mariko.
Mereka masuk ke ruangan praktek dokter.
"Oh, kalian." Dokter itu langsung berdiri. "Ayo, langsung periksa saja."
Mariko di ajak duduk di tempat tidur pasien yang tersedia. Gorden kemudian di tutup. Setelah beberapa lama gorden kembali terbuka. Mariko terlihat sedang mengancingi kancing kemeja terakhirnya.
Dokter itu kembali duduk di kursinya dan menatap Arya. "Sudah mulai membaik ya, tapi tetap untuk seminggu ke depan agar tetap tidak mengangkat yang berat-berat dulu karena lukanya baru menutup."
"O, iya dok."
Mariko duduk di samping Arya.
"Ini saya resepkan obat pereda nyeri dan demam tapi di minumnya saat sakit saja ya." Dokter itu menuliskan resepnya.
"Baik dok."
Dokter itu merobek kertas itu dari buku yang di tulisnya dan menyerahkannya pada Arya. "Jaga baik-baik istrinya pak."
"Oh, iya dok. Terimakasih." Arya segera bangkit.
"Eh, is ...."
Arya segera memotong ucapan Mariko. "Ayo kita keluar." Ia menarik tangan Mariko.
Di luar. "Kak, kenapa dokter itu bilang istri?"
"Oh, itu tidak penting. Apa kamu harus menceritakan seluruh kisah hidupmu pada dokter itu? Kesalahpahaman ini tidak mengganggumu kan?" Arya berjalan ke arah apotik.
"Tapi kak ...." Mariko berjalan sejajar dengan Arya.
"Apa itu mengganggumu? Kalau itu mengganggumu kita bisa balik lagi ke tempat dokter tadi praktek dan menerangkannya."
"Tidak."
"Ya sudah."
Setelah mendapatkan obat merekapun meninggalkan klinik. Saat mengendarai motornya, Arya melewati sebuah toko yang menjajakan aneka topi di depannya. Ia menghentikan motornya di depan toko itu.
"Mmh? Kita mau beli apa?"
Seorang pria berdiri di depan toko itu. Sepertinya ia adalah penjualnya.
"Pak boleh lihat topi yang itu pak?" Arya menunjuk ke sebuah topi yang di letakkan agak ke tengah.
"Yang ini?"
"Iya pak."
Pria itu mengambilkannya untuk Arya dan ia mencobanya.
Arya menatap Mariko. "Bagus tidak?"
"Mmh ...." Mariko menggigit ibu jarinya, kemudian melihat ke arah topi lainnya. "Bagaimana dengan yang itu?"
Di rumah Chris, Reina sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di kamarnya. Ia kemudian mematikan pengering rambut itu dan menarik colokannya dari stopkontak. Reina yang baru saja berdiri dari kursi meja riasnya, didatangi Chris yang merengkuh bahunya dari belakang dengan tangan kirinya. Ia mencium pucuk kepala Reina.
"Mmh. Setiap hari kau membuatku semakin nyaman denganmu, apalagi dengan penyatuan kita tadi. Rasanya seperti, tidak ada hari yang sempurna tanpa kehadiranmu. Kau membuat hari-hari sepiku dulu sebagai anak tunggal jadi berwarna. Dengan kehadiranmu, anak-anakmu dan aku berharap, anak-anak kita nanti bisa membuat cinta kita tak terpisahkan Reina. Hanya kamu, pertama dan yang terakhir bagiku."
"Da, tidak boleh begitu. Kita boleh berharap tapi kita tidak akan tahu takdir apa yang sedang menanti kita di depan sana. Yang pasti, takdir Allah yang terbaik."
"Reina, kau jangan menakutiku seakan-akan kita akan berpisah. Aku tidak mau itu terjadi pada kita. Aku tak rela." Chris mengerucutkan mulutnya dan mengeratkan pelukannya. "Apa kau menyukai pria lain selain diriku?"
Reina tersenyum simpul. "Da, aku sehari-hari bersama Uda. Mana mungkin aku punya selingkuhan?"
"Mungkin saat aku tidur?" Chris mencari cela.
Reina tertawa. "Kalau sehari-hari aku bersamamu saja kamu sudah curiga, bagaimana kalau aku punya usaha sendiri. Bisa-bisa kamu akan menyewa dektektif untuk membuntutiku setiap saat."
"Habis kamu bicaranya, seakan-akan kamu ingin pergi jauh."
Reina menengok ke samping ke arah wajah suaminya. Ia kemudian mencubit pipinya dengan mesra. "Tidak mungkin sayangku. Aku tidak mungkin bisa menemukan suami sebaik dan seperhatian seperti kamu lagi di luar sana yang wajahnya seperti ini. Tidak akan. Karena cetakannya sudah tidak ada." Ia menunjuk-nunjuk wajah Chris.
Chris akhirnya tertawa.
"Berharap saja takdir Allah itu selalu berpihak pada kita. Itu yang terbaik."
"Amin."
"Nah, begitu dong. Senyum." Reina mencolek hidung Chris. "Eh, ngomong-ngomong, aku jadi ingat perkataan Bundo soal sunat. Uda sudah di sunat?"
Chris melihat ke bawah tubuhnya. "Belum." Ia menoleh pada Reina. "Bagaimana ini?"
"Kau kan bisa tanya ke rumah sakitmu, mungkin mereka menyediakan layanan untuk itu."
"Benarkah? Aku tidak tahu kalau ada yang seperti itu di rumah sakitku. Besok saja, kalau benar ada di sana. Kan bisa sekalian. Tapi sakitkah?" Wajah Chris seperti bisa merasakan nyerinya.
"Aku tidak tahu, karena perempuan biasanya saat bayi. Tapi katanya ada yang sampai tidak terasa sakit."
"Benarkah?"
Terdengar suara mobil memasuk halaman depan.
"Oh, Tama mungkin."
Reina dan Chris keluar menyambut kedatangan pria kecil itu. Saat hampir mencapai pintu, Tama sudah masuk dan berlari mengejar Reina. Ia mencapai kaki Reina dan minta di gendong. Reina menggendongnya.
"Watashi wa nihonjin." Tama mengucapkan kata-kata itu dengan senang.
"Oh, sudah pintar bahasa Jepang ya?" Reina meledek Tama.
"Tama tadi di kelas punya teman baru dari Jepang, jadi mungkin sama-sama dari Jepang. Eh ... maaf." Sri terlanjur bicara. Yang tadinya menatap Reina kini menatap Chris dengan rasa bersalah.
Duh, kenapa aku ngomong 'sama-sama Jepang' sih? Jadi tersinggung deh, pak Chris. Marah tidak ya? Bodoh, bodoh, bodoh ... Ingin rasanya saat itu Sri membenturkan kepalanya ke dinding.
"Oh, jadi dia belajar bahasa Jepang dari teman?" Chris menatap Sri.
"Bukan pak, temannya baru datang hari ini." Sri menggoyang-goyangkan tangannya.
"Lalu siapa yang mengajarinya bahasa Jepang?"
"Oh, itu Ricky pak. Waktu bapak pergi ke pengadilan, dia ke rumah pak." Akhirnya Sri nekat memberitahu.
"Apa?"
"Oh, dia main ke rumah ya? Mungkin suka bermain dengan Tama ya?" Reina tanpa curiga menatap Tama dengan tersenyum.
Tama merebahkan kepalanya di dada Reina, sepertinya lelah. Sedang Chris kembali mengingat pembicaraannya dahulu dengan Redi.
Di saat bersamaan terdengar suara motor yang memasuki halaman rumahnya. Mariko dan Arya sudah kembali dan masuk ke dalam rumah.
Reina menyerahkan Tama pada Sri yang langsung membawanya ke atas.
"Oh, pak. Ini kuncinya." Arya menyerahkan kunci motor ke tangan Chris. "Terimakasih."
"Ricky kemarin waktu kami ke pengadilan, kamu main ke rumah ya?" Kali ini yang bertanya adalah Reina.
Mata Chris dan Arya tertuju pada Mariko.
"Eh, iya." Mariko bingung kenapa semua orang menatapnya.
"Oh, tidak apa-apa. Tama pasti senang punya teman bermain." Reina masih tersenyum.
"Eh, hanya berkunjung. Kebetulan saya sedang bekerja di restoran." Mariko tertawa dengan kikuk karena ada 2 pasang mata yang memandanginya penuh selidik. Mata Arya dan Chris, dan itu sangat tidak nyaman.
"Well, tidak apa-apa, sih. Kalian sudah kami kenal." Kata-kata Chris meredakan suasana.
"Maaf pak atas ketidak nyamanan ini." Arya meminta maaf.
"Oh, tidak apa-apa."
Karena merasa canggung, Arya segera pamit. Ia menarik Mariko ke taman belakang, sementara Chris dan Reina kembali ke kamar.
Chris mengambil laptop dan membukanya. Saat ia mulai menghidupkannya, pikirannya mulai menerawang ke percakapan dirinya dengan Redi waktu itu.
Orang Jepang itu. Benarkah Arya berteman dengan kakaknya? Kalau tidak, maka ke curigaan Redi beralasan. Untuk apa orang Jepang itu masuk rumahku?
Kata mama waktu itu, wajahnya familiar. Aku juga merasa begitu. Entah di mana aku pernah melihat wajah yang seperti itu.
Tapi apa benar Arya ingin mencurangiku? Rasanya tidak. Tapi seperti ada sesuatu, tapi entah apa. Ada benang merah yang aku tidak bisa lihat. Kalau ... Ricky ingin menculik Tama, harusnya kan dia sudah menculiknya saat itu. Tapi tidak. Hanya berkunjung. Ssssssh ... Chris menepuk-nepuk dahinya dengan telapak tangannya.
"Uda kenapa? Pusing?" Reina yang sedang berbaring di sampingnya melihat Chris menepuk-nepuk dahinya.
"Oh, tidak. Aku sedang memikirkan masalah kantor." Chris mengelak.
"Oh, kalau susah, jangan di pikir dulu Da. Tinggalkan. Nanti juga ketemu jawabannya."
Mmh, kata-kata Reina ada benarnya. Nanti saja, waktu yang akan membuktikan.
Di tempat lain di taman belakang, Arya dan Mariko duduk berdampingan di pisah oleh sebuah meja kecil. Arya meletakan satu tangannya di atas meja sambil bersandar, sedang Mariko duduk sambil menundukkan kepala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
graha
btw kan udah berkali2 ena2, masa reina ga tau chris udah sunat atau blm? apa jgn klo main rena merem terus ya??? wkwkwkwk
2021-12-15
2
Sinyo
yah belum sunat😁
2021-07-14
1