Mama Andin hanya bisa membekap mulutnya sambil berlari menuju kamar, sedih rasanya melihat Lian. Ia tak kuasa untuk menyaksikan putranya yang kacau, emosinya kemarin kini kembali berlanjut. Ia pikir kemarin Lian menghancurkan seisi kamarnya hanya untuk meluapkan emosinya sejenak, rupanya hal itu berlanjut. Hari ini bahkan Ia menyaksikan secara langsung putra semata wayangnya bak orang kesurupan. Membanting semua barang dan mengacak-acak seisi kamar.
Lian masih meraung-raung di kamarnya, Papa Bara mencoba merengkuh tubuh Lian agar berhenti melempar-lempar barang dan berteriak tak karuan. Namun tenaga Lian benar-benar kuat, seakan Ia memiliki tenaga lain padahal Ia belum makan apapun sedari kemarin. Papa Bara yang sedang kurang enak badan pun akhirnya jatuh terlempar ke lantai, Ia merasakan sakit di punggungnya. Pak Tomo, tukang kebun di keluarga tersebut pun segera membantu Tuannya bangkit setelah di panggil oleh Bibi.
Karena badannya yang tidak fit dan punggungnya sangat sakit, Papa Bara memilih meninggalkan Lian dan kembali ke kamar di bantu oleh Pak Tomo. Mama Andin yang masih terisak pun terkejut, suaminya masuk ke kamar dipapah Pak Tomo sambil meringis kesakitan.
"Lhoh... Papa kenapa?", tanya Mama Andin khawatir sambil mengusap airmatanya.
"Di banting anakmu", jawab Papa Bara singkat.
"Tuan sepertinya ada urat yang salah di punggung Tuan. Bagaimana kalau saya panggilkan tukang pijat", saran Pak Tomo.
"Iya Pak, tolong panggilkan ya. Sepertinya ini memang perlu di pijat sakit sekali rasanya", jawab Papa Bara.
"Baik Tuan, Nyonya saya permisi", pamit Pak Tomo.
Pak Tomo berlalu, menyisakan sepasang suami istri tersebut. Mama Andin semakin merasa bersalah saat melihat suaminya kesakitan, padahal kondisi badannya sedang kurang sehat.
"Maafkan Mama Pa. Semua gara-gara Mama, Lian harusnya tak seemosi ini", ucap Mama Andin sedih.
"Sudahlah Ma. Kita biarkan saja dulu, mungkin ini caranya meluapkan emosi, kalau sudah reda pasti berhenti sendiri", hibur Papa Bara meski Ia pun ragu dengan ucapannya.
Jelas Papa Bara ragu, karena Ia melihat sorot mata Lian yang berbeda. Bukan hanya memerah karena amarah, tapi tatapannya kosong, seakan Ia tak bisa lagi menguasai dirinya sendiri, sehingga amarah yang bertahta dalam raganya. Lian memang berada di dekatnya, tapi pikirannya entah melayang kemana? Papa Bara memang tak begitu dekat dengan Putranya karena kesibukannya bekerja, namun bukan berarti Ia tak bisa melihat perubahan sikap sang Putra. Lian sepertinya sangat tertekan, terlihat penyesalan yang over disana. Papa Bara enggan menceritakannya pada sang Istri, Ia takut istrinya semakin merasa bersalah karena mengabaikan Lian.Sepertinya Lian mengalami depresi, tapi semoga itu hanya kekhawatirannya saja.
*****
Sebulan telah berlalu, Lian terkadang bersikap normal tapi tak lama kemudian Ia kembali berteriak-teriak sambil melempar segala benda yang berada di jangkauannya. Keadaan Lian yang tak stabil ini, mengharuskanya untuk tetap diam dirumah agar tak membahayakan oranglain. Urusan kantor pun terpaksa Papa Bara yang mengurusnya, sampai Lian bisa kembali normal.
Papa Bara sibuk dengan urusan kantornya, Ia bahkan hampir tiap hari harus lembur. Ia juga sibuk bolak-balik ke luar kota, untuk sementara perusahaan yang Lian pegang Ia percayakan pada Asisten Lian, yang kebetulan anak dari asistennya sendiri.
Sementara Mama Andin mencoba mendekatkan diri pada Lian. Ia tak ingin anak tunggalnya itu benar-benar mengalami depresi. Ia akan mendekat dan mengajak Lian berbincang saat kondisi normal, dan Ia segera menjauh saat Lian mulai mengamuk.
Sedih itu yang Mama Andin rasakan, melihat keadaan Lian seperti itu. Sebentar-sebentar meraung-raung dan mengamuk. Harusnya Ia tak mendiamkan Lian selama ini, harusnya Ia mendekati putranya memberikan semangat untuk move on. Tapi Ia justru membiarkan Lian berlarut-larut dalam penyesalannya. Ditambah dirinya yang mendiamkan Lian selama ini membuat putranya semakin tertekan dan merasa sendiri. Ia gagal menjadi Ibu yang baik, harusnya Ia tak melimpahkan semua penyesalan itu Lian tanggung sendiri.
Mama Andin kini tengah larut dalam pemikirannya sendiri. Suara teriakan Lian masih terdengar ditelinganya, tapi tak ada yang bisa Ia lakukan selain mendiamkannya hingga Ia lelah dan berhenti. Ia duduk termenung di ruang keluarga, hingga suara bel menyadarkannya dari lamunan. Ia pun bergegas membuka pintu, untuk melihat tamu yang datang berkunjung di sore hari.
Ceklek.....
"Assalamu alaikum", sapa orang tersebut.
"Waalaikum salam", jawab Mama Andin.
Mama Andin terpaku melihat orang yang datang berkunjung ke rumahnya. Orang yang memang Ia harapkan untuk ada di sampingnya saat ini. Yang berkunjung pun bingung melihat si tuan rumah mematung di depan pintu.
*****......*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments