Ch.4

Malam harinya..

Aku di dalam kamar tengah sibuk dengan sesuatu.

"Berubah!" Aku berseru memegang bandul pedang, hendak membuatnya berubah.

"Lah, tidak terjadi apapun." Aku mendengus tipis. Kecewa.

Aku sudah mencobanya sejak pulang dari ibu kota. Tapi masih saja tidak berhasil. Tidak sih, mungkin aku yang bermain-main saat mencobanya. Tadi aku memejamkan mata lantas berseru, "Henshin!" Atau melotot menatap bandulnya, kemudian membaca mantra, "Wahai roh pedang tersembunyi, Berubahlah. Berubahlah!" Aku terdiam sejenak menunggu apa yang akan terjadi, tapi tetap saja, Lenggang, tidak terjadi apa-apa. Aku tertawa, menertawakan kebodohan ku.

"Ha.. aku ini, ada-ada saja."

...| Pesta dimulai 3 menit lagi |...

Ah.. aku hampir melupakan pestanya. Ku pakai kalung itu di leher. Entah kebetulan atau apa, itu sangat cocok dengan gaun coklat muda ku saat ini. Aku merapikan rambut putih panjangku, dan poni. "Yosh! Siap."

Aku mengambil dua kotak hadiah yang sudah aku siapkan tadi, menaruhnya ke dalam inventory. Karena malas berjalan kaki, aku memutuskan untuk menggunakan teleportasi.

Sama seperti sebelumnya. Aku hanya memikirkan nama tempat, lalu seketika aku berpindah. Sedikit pusing karena belum terbiasa. Aku tiba di sudut ruangan tanpa ada yang melihatku. Aku tersenyum miring, membanggakan kehebatan ku.

Terdengar suara pidato seseorang di podium. Ternyata aku terlambat, baginda raja sudah menyampaikan pidato. Aku mengabaikannya karena membosankan. Mataku menangkap suatu benda di atas meja. Kue.

Tanpa basa-basi, aku mendekat ke meja itu, mengambil satu potong kue dipiring kecil. Langsung menyantapnya dengan garpu kecil. Enak.

Para tamu bertepuk tangan, pidato baginda raja telah selesai. Kini giliran bintang utama menyambut tamu. Tamu yang dia sambut mengucapkan selamat. Mereka tidak tulus mengatakannya. Dasar penjilat. Pikirku. Aku tidak perlu mengucapkan selamat padanya kan?

Mungkin aku harus menyapanya. Aku berjalan mendekat masih membawa sepotong kue di piring kecil.

"Huh! Lihat kan kak, gadis iblis itu tidak datang. Padahal ayah sudah mengundangnya dengan senang hati." Aku mendengar Alvin protes. Aku tersenyum jahil. Mengendap-endap mendekat di belakang mereka berdua.

"Sudahlah, itu sebuah keuntungan. Kita tidak perlu susah-susah mengusirnya nant-"

"Siapa yang akan kalian usir?"

Mereka terperanjat kaget, menjauh satu langkah. Mereka terlihat terkejut, wajahnya pucat pasi.

Mampos. Pikirku puas, memotong kecil kue, memakannya.

"Kau! Sejak kapan-"

"Sejak kau bilang gadis iblis itu tidak datang, adikku tercinta, terhormat, terlakna-, ga jadi ah."

Gawat kalau mereka menebasku. Pikirku melanjutkan. Aku makan lagi kue yang sisa setengah itu.

"Bagaimana bisa? Pengawal bahkan tidak menyebut namamu sebelum masuk." Devian bertanya. Aku memakan potongan kue terakhir.

"Teleportasi." Jawabku santai di sela mulut mengunyah. Mereka berdua terbelalak tidak percaya, lalu tertawa remeh. Aku mengernyitkan dahi, sebal.

"Kau.. berteleportasi? Itu mustahil!" Alvin bicara disela tertawa. Aku memutar bola mata.

"Terserah jika tidak percaya. Ah tunggu sebentar." Aku kembali ke meja kue, meletakkan piring yang sudah kosong, tak lupa mengambil hadiah dari inventory. Kembali ke tempat mereka.

"Ini, untuk kalian." Aku mengucapkannya dengan datar. Jujur, aku tidak tahu bagaimana caranya memberikan hadiah. Mereka mengernyit tak percaya.

"Apa ini?" Devian bertanya, memandang kotak di tanganku.

"Aku juga?" Alvin bertanya polos.

Aku berdecak pelan. "Hadiah. Untuk kalian berdua." Jelasku singkat. Mereka ragu, saling bertatapan. Tak lama, tangan mereka hendak menggapai kotak di kedua tanganku. Mereka menerimanya. Aku tersenyum puas. Namun, Devian kemudian membanting kotak itu dengan kasar, aku sedikit tersentak. Tidak juga sih. Disusul Alvin, dia ikut melempar kotak itu dekat dengan kotak sebelumnya.

Aku menatap mereka datar.

"Kami tidak butuh pemberian darimu." Alvin bicara, bersedekap tangan.

"Benar. Kau pasti meletakkan sesuatu di dalam kotak kan?" Devian menambah.

Lah, cuma karena mereka curiga terus mempermalukan orang lain gitu? Ah bocah laknat klean yak!. Batinku kesal. Aku menghela nafas sabar. Mengambil kembali kotak yang mereka buang.

"Kau sungguh tak tahu malu ya." Devian geram. Aku berdiri memegang kedua kotak itu, menatap mereka.

"Salahku apa? Ini barang seharga dua koin Aurum. Sayang kalau di buang, sialan."

Wajahku masam, terlipat, rasanya ingin melempari mereka dengan sesuatu yang keras. Semua tamu memandangi kami, mulai saling berbisik.

"Ada apa ini?" Baginda raja muncul, mendekat. Semua menunduk hormat, aku bingung. Ikut saja lah. Aku ikut menunduk. Mereka bangun, aku ikut bangun.

Ribet amat. Batinku.

Duke ada dibelakang baginda raja, menatapku tak senang. Aku mengalihkan pandangan, sebal dengan itu.

"Maaf baginda, kami membuat keributan." Devian dengan sopan bicara hati-hati. Aku ingin tertawa melihatnya.

"Tak apa. Jadi? Ada masalah apa?" Tanya baginda. Mereka berdua menatap ke arahku. Aku mengernyit.

"Sebentar, kalian menyalahkanku? Aku hanya memberi kalian hadiah." Aku protes.

"Iya, kau memberikan hadiah dengan isi perangkap." Alvin bicara dengan pintarnya.

Bocah kampret. Akhlakless. Batinku kesal.

Duke menghela nafas tipis. "Apa yang kau berikan?" Tanyanya. Mau bagaimanapun dia menyebalkan.

Aku membuka salah satu kotak hadiah itu, memperlihatkannya pada mereka. Mereka terdiam.

"Kalian masih tidak percaya kalau ini aman? Biar aku buktikan." Aku mengambil aksesoris pedang itu. Menggenggamnya erat. Tak terjadi apapun. Lenggang sejenak.

Aku ringan mengangkat bahu. Meletakkan kembali aksesoris itu ke dalam kotak. "Jadi? Kalian ingin menerimanya atau tidak? Jika tidak ya sudah, aku ambil lagi sebagai pajangan."

Sayang kalau dibuang. Ini mahal. Lanjutku dalam hati.

"Ternyata hanya salah paham." Baginda bicara. Aku mengangguk takzim.

Devian dan Alvin terdiam tidak berkomentar lagi. Duke menghela nafas, memijit pelipisnya.

"Terima hadiahnya." Duke bicara pada mereka berdua. Jelas sekali mereka tak senang. Aku memberikannya pada mereka lagi. Mereka terpaksa menerimanya.

"Pasang." Aku bicara singkat. Mereka tersentak.

"Kenapa harus-"

"Pasang, Alvin. Turuti dia" Duke bicara kembali. Aku menatap Alvin dengan maksud 'Cepat pasang, apalagi yang kalian tunggu?'

Devian dengan terpaksa memasang aksesoris itu di pedang yang dia bawa.

"Wah.. ternyata cocok." Aku menyentuh aksesoris yang tergantung di pedang Devian. Devian berdecak. Alvin juga memasangnya. Padahal dia baru berusia empat belas tahun, namun kemampuan pedangnya tidak kalah dari Devian.

Aku tersenyum jahil pada Alvin, mendekat padanya. "Hei, Alvin. Aksesoris itu akan berubah menjadi ular besar lalu menggigit mu malam nanti. Berhati-hatilah." Aku berbisik di telinga Alvin. Dia terkejut, langsung menjauh dariku berlari ke belakang Devian, bersembunyi.

"Apa yang kau katakan tadi!?" Alvin ketakutan. Aku menahan tawa, mengangkat bahu. "Bisa saja bukan?"

"Hei, jangan menakuti- ! "

Belum selesai Devian bicara, lampu di aula pesta padam. Aku terkejut, begitu juga semua orang.

"Apa yang terjadi?"

"Aku tidak bisa melihat apapun"

"Kenapa begini?"

Semua orang mulai panik, aku menoleh kesana kemari, tidak terlihat apapun, ini sangat gelap. Tak lama, lampu aula kembali menyala.

"Sudah menyala"

"Hah.. ternyata hanya sementara."

"Ku kira ada apa tadi."

"Ternyata hanya kesalahan"

Semua orang kembali lega. Tidak. Ini bukan sebuah kesalahan. Ada yang aneh. Aku waspada sekitar, tak lama dari kewaspadaan ku.

"Kyaa! Apa yang terjadi!?"

Teriakan ketakutan seorang lady terdengar di sudut kanan aula. Duke dan Baginda segera ke sana diikuti Devian dan Alvin. Aku ikut mendekat. Mataku terbelalak, terkejut. Seorang tamu pria tergeletak bersimbah darah.

"Pembunuhan?" Aku bicara pelan.

"Apa yang terjadi!?"

Suara teriakan kembali terdengar, kini di sudut kiri. Ada korban lagi, kali ini seorang lady.

"Ini.."

Mataku seperti menangkap sebuah bayangan dengan cepat menebas orang dihadapannya. Semua melihatnya berteriak histeris.

Semua orang panik berlarian mencari tempat aman. Ruangan ramai dengan teriakan ketakutan.

"Semua tenang!" Baginda berteriak, namun mereka tetap saja berlarian panik. Bayangan itu melesat lagi, menebas seseorang.

"Devian! Alvin! Waspada! Lindungi orang-orang!" Duke memerintah mengeluarkan pedangnya dari sarung pedang. Devian dan Alvin mengangguk paham dan segera berpencar.

"Baginda. Tolong pergi ke tempat yang aman." Duke bicara. Baginda menepuk pundak Duke. "Kau meremehkan ku? Duke"

Aku menatap mereka. Sepertinya mereka sangat akrab. Teriakan panik terdengar, kini seorang pria tua menjadi korban.

Apa yang harus aku lakukan?

^^^つづく^^^

Arigato for reading~(◕ᴗ◕✿)

Terpopuler

Comments

Shic_Stars

Shic_Stars

Beraksi membasmi hama dungss 😑

2022-03-08

1

Eka Nurmila

Eka Nurmila

wkwkwkwkwk

2022-01-27

0

Eka Nurmila

Eka Nurmila

emang power ranger

2022-01-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!