Dalam perjalanan, Tia masih saja sibuk dengan pikirannya. Gadis itu menimbang-nimbang apa yang dikatakan oleh mama Gilang. Pikirannya berkecamuk, pikiran dan hatinya saat ini tidak bisa saling bekerjasama. Gilang terkadang mencuri pandang memperhatikan gadis cantik yang duduk disebelahnya, dia merasa bingung dengan penyebab Tia tiba-tiba murung setelah dia tinggalkan kekamar.
Setelah sampai diparkiran apartemen komplek A, Gilang memarkirkan kendaraannya dengan rapi.
“Mau mampir?” Tia menawarkan.
“Bolehkah? Ada sesuatu yang harus kita luruskan. Tahukah kamu, sepanjang perjalanan ini kamu terus mendiamkanku?”
“Benarkah aku seperti itu? Maafkan aku, Gilang. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku.”
“Jadi aku akan mengikutimu untuk membantumu memecahkan masalah. Karena aku yakin ini pasti berhubungan dengan mama.” Yakin Gilang.
“Baiklah, ayo kita masuk. Kamu juga jarang-jarang main kerumah.”
Gilang dengan senang hati mendapatkan persetujuan dari Tia. Biasanya Tia tidak dengan mudah memberikan ijin Gilang untuk masuk kedalam rumahnya. Selain karena mereka adalah makhluk yang berlawan jenis, mereka berdua juga belum menikah. Tia mengantisipasi adanya keadaan yang tiba-tiba tidak diinginkan tapi bersifat mendesak.
“Duduklah dulu. Aku akan mandi sebentar.” Tia berpamitan untuk masuk kedalam kamarnya. Tak lupa Tia mengunci pintu kamarnya dari dalam. Walau dia sadar bahwa pria diluar yang sedang menunggunya adalah calon suaminya, dia tidak ingin menimbulkan kesempatan yang disalah artikan dengan Gilang. Apalagi saat ini mereka berstatus tunangan dan akan segera menikah.
“Kenapa kamu mengunci pintumu? Apa kamu tidak mempercayaiku?” Tanya Gilang saat Tia sudah keluar dari kamarnya dengan pakaian bersih.
“Apa kamu berfikir seperti itu?”
“Tentu saja aku merasa terluka karena kamu melakukannya!” Gilang merajuk.
Tia duduk disebelah Gilang dan menggenggam kedua tangannya, “Kamu tahu status kita sekarang lebih dari sekedar berpacaran. Aku hanya mencoba menjaga diri agar kita tidak salah langkah karena merasa kita akan segera menikah. Kumohon mengertilah.” Tia menyentuh pipi Gilang yang saat ini sedang murung. Tapi setelah mendengarkan penjelasan dari Tia, Gilang tersenyum kembali dan memahami maksud dari calon istrinya.
“Maafkan aku karena berfikir yang tidak-tidak.” Gilang menggenggam tangan Tia yang menyentuh pipinya.
“Kamu mau minum sesuatu? Akan aku buatkan.”
“Aku ingin minum kopi hitam. Tadi aku melihatnya saat iklan di televisi, aku mau itu.”
“Dasar!!! Kaya orang nyidam saja, apa yang dilihat langsung mau.” Tia gemas dengan sikap Gilang, apalagi sekarang calon suaminya itu menunjukkan wajah malu-malunya.
Tia sudah kembali dari dapur dengan kopi panasnya dan duduk disebelah Gilang. Dia meletakkannya di meja dan membuka tutupnya agar uap panas bisa keluar dari dalam. Gilang nampak menghirup bau khas aroma kopi yang menyeruak, dengan perlahan-lahan dia menyeruput kopi panas buatan Tia.
“Heemm . . . memang tak salah aku memilih calon istri. Kopi buatannya saja senikmat ini.”
“Gombal terus dari tadi.” Tia memukul pelan lengan Gilang.
“Syukurlah kamu bisa tersenyum lagi sejak kita masuk kedalam rumah ini. Ada apa tadi begitu murung setelah pulang dari rumahku.” Pertanyaan Gilang membuat Tia kembali sedih.
“Mama tadi memintaku untuk keluar dari perusahaan.”
“Mama mengatakan itu?”
Tia mengangguk sedih, “Mama berkata jika aku meneruskan pekerjaanku, itu akan membawa dampat buruk bagimu, karena posisiku yang lebih tinggi. Mama takut jika kamu akan jadi bahan ejekan.”
Gilang memeluk Tia dan mengusap kepalanya. “Kamu boleh melakukan apa yang kamu mau, jika kamu keberatan denga permintaan mama, kamu boleh menolaknya. Aku bisa bertahan jika itu terjadi lagi.”
“Lagi???” Tia melepaskan pelukan Gilang. “Apa teman-temanmu dikantor ada yang mengatakan hal seperti itu?”
“Tentu saja ada, sejak mereka tahu hubungan kita. Mereka mengatakan bahwa aku akan hidup nyaman dengan seorang istri manager yang menyokong hidupku. Terkadang saat aku mendapatkan tanggung jawab proyek, mereka pasti mengatakan jika itu dari dirimu. Saat aku mengenakan jas yang baru saja aku beli, mereka juga pasti mengatakan bahwa aku hidup nyaman dan mendapatkan semua keinginan yang kudapatkan darimu. Itulah yang terkadang membuatku minder didepanmu.”
“Siapa mereka? Seenaknya berkata seperti itu tanpa tahu kebenarannya. Apa kamu tidak pernah menyangkalnya?”
“Pernah aku menyangkalnya sekali, tapi mereka tidak percaya dan semakin menjadi. Jadi untuk selanjutnya, aku biarkan saja mereka.”
“Maafkan aku, Lang. kamu pasti sangat menderita karena ulah teman-temanmu itu.” Tia merasa bersalah.
“Kenapa kamu harus meminta maaf? Ini bukan salahmu. Aku yang harus bersyukur karena mendapatkan perempuan secantik dan sebaik dirimu.”
“Aku akan mengikuti keinginan Mamamu, aku akan resign dari perusahaan sebelum pesta pernikahan kita di adakan.” Yakin Tia.
“Benarkah???” Gilang membelalakkan matanya tanda keterkejutannya.
“Aku mencintaimu, dan aku ingin kamu selalu bahagia. Jika itu demi kebaikanmu, maka akan aku lakukan. Karena aku sungguh mencintaimu, Lang.”
“Terimakasih, Tia. Aku juga sangat mencintaimu.” Gilang sangat bahagia dan berhasil mendaratkan ciumannya dibibir Tia. Ciumannya begitu mendamba karena dilingkupi dengan perasaan yang penuh kebahagiaan. Cukup lama mereka saling memagut, hingga akhirnya Tia melepaskannya karena sudah tidak mampu lagi mengatur nafas.
“Gilang . . . hah . . . hah . . . kita harus berhenti. Aku tidak bisa bernafas!” Tia berusaha mengembalikan ritme nafasnya.
“Maafkan aku, sayang. Aku begitu bahagia sehingga kehilangan kendali.”
Tia hanya mengangguk sambil menyenderkan tubuhnya kekursi, berharap nafasnya bisa teratur lagi.
Setelah Tia memastikan nafasnya sudah kembali normal, dia kembali mendiskusikan resiko setelah dia tidak bekerja.
“Tapi aku ingin memastikan sesuatu dulu padamu. Yang pertama, karena aku tidak akan bekerja, semua keperluanku akan menjadi tanggung jawabmu karena aku tidak bisa menghasilkan uang.” Kata Tia.
“Tentu saja! Kamu istriku, dan aku mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala keperluanmu.” Jawab Gilang dengan pasti.
“Dan ada satu lagi, Lang. Selama ini, setiap bulannya, aku pasti memberikan bantuang keuangan untuk panti asuhan dimana dulu aku dibesarkan. Aku tidak mau menghentikan hal itu, karena mereka dengan ikhlas mau membesarkanku. Apakah kamu bisa tetap memberiku uang untuk mereka?” Tia bertanya dengan hati-hati dan menunggu reaksi yang akan Gilang berikan.
“Eemmm . . . kira-kira berapa yang mereka minta setiap bulannya?”
“Mereka tidak pernah meminta sepeserpun, Lang. Aku yang sadar diri memberikan sedikit dari rizkiku. Karena tanpa mereka, aku tidak akan bisa berdiri disini, dihadapanmu.” Tia mulai tidak nyaman dengan kalimat yang diucapkan oleh Gilang. Bagaimanapun, panti asuhan itu sangat berarti baginya.
“Maafkan jika perkataanku menyinggungmu. Aku pastikan jika kamu nanti tetap bisa memberikan bantuan kepada mereka. Maafkan aku sekali lagi, sayang.” Gilang memeluk tubuh Tia dengan lembut.
“Apa kamu tidak pulang? Ini sudah malam.” Tanya Tia sembari melepaskan pelukannya.
“Baiklah, aku akan pulang setelah kopiku habis.” Jawab Gilang sambil mulai meminum kopinya yang perlahan mulai dingin.
Setelah meneguk habis sisa kopi dicangkirnya dan hanya meninggalkan ampasnya, Gilang berpamitan dan berjalan menuju pintu.
“Hati-hati dijalan.” Ucap Tia saat dia mengantarkan Gilang menuju pintu keluar.
“Mimpikan aku malam ini, dan terimakasih untuk kopinya.” Gilang mengecup kening Tia dan berjalan keluar komplek apartemen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments