Kematian Fatma

Malam hari di rumah sederhana Sari sedang sibuk menelepon anak pertamanya bernama Farid. Dia sangat khawatir karena anak bungsunya Fatma belum sampai rumah padahal sekarang sudah pukul sembilan malam.

“Fatma....” Ucapnya cemas.

Tut tut tut

Telepon terputus. Sari tidak menyerah dia mencoba menelepon anaknya untuk yang kelima kalinya. Dia berjalan mondar-mandir di depan teras rumahnya sambil memandang jalan raya barang kali anak bungsunya pulang.

“Hallo buk?” Ucap Farid dari sabrang sana.

“Nak, Abang... Adik kok belum pulang? Udah jam segini lo.” Ucap Sari cemas.

“Loh? Belum pulang? Ibuk udah tanya Erina?”

“Udah. Katanya tadi Erina gak bareng Fatma karena Fatma ada urusan tadi, di kampus.”

“Oke buk. Abang cari adek yah. Ibuk tenang dulu. Nanti abang kabarin lagi.”

Setelah itu telepon di tutup. Sari merasa sedikit tenang karena anak sulungnya sudah tau jika adiknya belum pulang dan akan mencarinya. Sari mencoba untuk tenang dan tidak terburu-buru. Dia masuk ke dalam untuk beribadah dan berdoa untuk keselamatan kedua anaknya.

Di tempat lain.

“Pak saya ijin pak. Adik saya belum pulang. Saya mau mencarinya.” Ucap Farid kepada atasannya.

“Adik perempuanmu yang kuliah itu?”

“Iya pak.”

“Oke. Hati-hati. Dika kamu rangkap tugas Farid ya.” Perintah atasan Farid.

“Terima kasih pak.”

Farid langsung meninggalkan tempat kerjanya di team IT di kepolisian. Karena terlalu panik, Farid tidak bisa berpikir. Dia berhenti sejenak untuk berpikir kemana dia akan mencari adiknya itu. Tidak butuh waktu lama. Dia sudah mengetahui kemana tempat tujuannya. Dia berlari kecil ke parkiran untuk mengambil motornya dan mengendarainya ke kampus adiknya. Entah kenapa perasaanya mengatakan bahwa adiknya masih di sana.

Sampai di kampus dia langsung meminta ke satpam kampus untuk di tunjukkan rekaman CCTV. Dia ingin mengecek ke arah mana adiknya pulang. Namun, sebelum menunjukkan rekaman CCTV pak satpam mengatakan bahwa ada satu sepeda motor yang masih terpakir di kampus. Farid meminta satpam itu mengantarkannya ke tempat parkir memeriksa apakah itu motor Fatma atau bukan.

Mereka pun berjalan di menuju tempat parkir di temani suasana yang menyeramkan. Meski semua lampu menyala terang. Mata Farid tidak fokus ke lorong kampus dia menoleh ke kanan dan ke kiri mana tau dia melihat adiknya yang masih di berada di dalam kelas.

“Itu mas motornya.” Ucap pak satpam.

“Itu punya adik saya.”

Sesaat suasana menjadi tegang bercampur menyeramkan. Mereka merasa ada yang tidak beres jika motor itu masih terparkir di kampus. Karena motor itu terlihat jelas masih layak untuk di kendarai. Ban motornya terlihat juga tidak kempes sedikitpun.

“Perasaanku semakin gak enak.” Batin Farid.

***

Di tempat lain.

Erina masih berguling-guling di tempat tidurnya, dia juga menunggu kabar dari Sari, ibu Fatma. Di merasa sangat cemas karena tidak biasanya sahabatnya pulang terlambat tanpa kabar, apalagi sampai selarut ini.

“Aduhh.. gak bisa tidur.”

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Erina masih belum bisa tidur. Berkali-kali dia menatap layar ponselnya. Berharap segera mendapat kabar dari ibu Fatma. Dia mencoba tenang dan memejamkan matanya namun kegelisahannya lebih menguasai dirinya.

“Tauk ah.” Gumamnya geram.

Erina menelepon Sari, ibu Fatma. Dia tidak peduli apakah perbuatanya ini sopan atau tidak. Perasaanya benar-benar tidak tenang saat ini. Dia ingin segera tau keadaan sahabatnya. Mengingat Sari tadi sudah berjanji akan mengabari segera jika Fatma sudah ketemu.

“Hallo... Rin.” Telepon tersambung.

“Ha-halo ibu... maaf bu menelepon malam-malam.” Ucap Erina lirih agar tidak membangunkan anggota keluarganya.

“Iya gak apa-apa. Kamu kok belum tidur nak?” Tanya Sari.

“Saya gak tenang bu, jadi gak bisa tidur. Apakah Fatma sudah pulang?”

Satu menit Sari diam saja tidak menjawab. Erina semakin khawatir. Dia juga mendengar suara seperti sedang menahan tangis. Suara itu memang samar, tapi dia yakin saat ini Sari sedang menangis. Dia juga berpikir bahwa Fatma belum ketemu.

“Kamu tidur ya nak. Ibu gak mau kamu sakit. Nanti ibu akan segera kabari kok. Udah tenang aja ya nak.” Ucap Sari.

Akhirnya Erina pun menurut dan menutup teleponnya. Dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Karena sekarang juga sudah malam. Dia juga harus menghormati keputusan Sari. Dia mencoba tidur sebisa mungkin. Beruntungnya dia bisa tidur sekitar jam 1 dini hari.

***

Keesokan harinya.

Erina bangun dengan badan yang terasa pegal-pegal dan masih mengantuk karena tidurnya terlalu larut. Dia menggeliat meregangkan tubuhnya. Matanya mencoba mengintip dan menyesuaikan cahaya yang cukup terang karena dia lupa mematikan lampu utama kamarnya.

Bib bib bib

Alarm berbunyi.

“Ah... iya bangun, iyaa!” Gumamnya.

Erina mematikan alarmnya yang ada di meja belajar. Kemudian, dia duduk untuk mengumpulkan tenaga. Sambil menguap Erina meraba meja belajarnya untuk mencari ponselnya. Berharap ada kabar baik dari keluarga Fatma.

Erina membuka matanya perlahan menyesuaikan kembali matanya dengan cahaya ponsel yang menyala terang. Dengan pandangannya yang masih kabur Erina susah payah membuka pesan dari Sari.

Erina terkejut dengan pesan yang dia baca. Dia mengucek matanya dan mengedipkannya berkali-kali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dia baca.

“Fatma...” Ucap Erina bergetar.

Perlahan air matanya menetes membasahi pipi dan layar ponselnya. Dia tidak bisa menahan tangisnya karena dia membaca kabar bahwa Fatma meninggal. Dia di temukan tidak bernyawa di belakang kampus. Dia tidak percaya dengan apa yang di baca. Otaknya otomatis mengingat kenangan-kenangan bersamanya.

“Huhuhu.”

Suara tangis Erina semakin kencang hingga membangunkan keluarganya. Pintunya di buka paksa oleh ayahnya. Tidak lama emaknya datang dan memeluk erat Erina yang masih terisak dalam tangisnya.

“Kamu kenapa Rin?Mimpi buruk?” tanya Tia, emak (ibu) Erina cemas.

Erina menggeleng pelan. Air matanya terus menetes. Semakin lama semakin deras hingga dia sesak napas. Tia dan Dodit kebingungan melihat anaknya yang tidak kunjung berhenti. Galuh adik Fatma yang masih kelas tiga sekolah dasar jadi ikut panik, hingga menangis melihat kakaknya menangis.

“Fatma meninggal ma....” Akhirnya Erina berbicara lemah.

Seketika Dodit dan Tia terkejut. Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat. Kemudian, Tia memeluk anaknya lebih erat lagi. Dia memahami pasti ini sangat berat bagi anaknya. Mengingat Fatma adalah teman pertama Erina yang mampu membuat Erina menjadi anak yang lebih percaya diri. Meski mereka baru berteman selama satu tahun.

***

Di rumah Fatma.

Seluruh mahasiswa dan mahasiswi datang ke rumah duka. Mereka datang masih dengan baju seadanya. Mereka semua tidak tau jika kampus di tutup karena adanya keperluan investigasi. Semua merasa sangat kehilangan Fatma mahasiswi paling ceria serta pandai di kelasnya. Namun, di antara mahasiswa dan mahasiswi yang berduka. Ada beberapa anak yang menunjukkan ekspresi tegang. Mereka adalah Binar, Kenzo, Anton, dan Hesti. Wajah mereka terlihat tegang hingga terlihat pucat pasi. Mata mereka menatap ke arah satu orang yang sedang duduk di sebelah Sari yaitu Erina.

“Aku harus berbuat apa?” Gumam Binar.

~ Terima kasih, sudah mampir baca ~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!