"Hei,"
Ada seseorang yang menjawil bahunya. Ia spontan menoleh. Ternyata seorang cowok dengan wajah penuh jerawat dengan dahi ditutupi poni. Kalau si cowok mengenakan pengeras rambut, model rambutnya bakal mirip Lupus, tokoh fiksi karangan Hilman dan Boim--yang novel-novelnya merupakan kegemarannya.
Ia menelengkan kepala. Menatap lekat kedua mata si cowok yang ditutupi lensa-lensa cukup tebal. Sepertinya ia lumayan familiar dengan cowok ini, tapi siapa yah? Ia memutar-mutar bola mata. Kepalanya pusing sekali. Ia sama sekali tak mendapatkan petunjuk.
Ia mengernyitkan dahi seraya bertanya, "Siapa, yah?"
Si cowok nyengir. Nyaris terkekeh. Lalu kedua pipinya digelembungkan dan kedua mata disipitkan. "Kalau kayak gini gimana? Udah ingat belum?"
Ia ingat sekarang. Cowok ini Matias. Adik kelas sekaligus cinta pertama dan pacar pertamanya. Saat jadian, ia duduk di kelas sepuluh; sementara Matias masih kelas delapan. Matias sendiri murid pindahan. Waktu Kezia masih SMP, cowok itu belum tiba di SMP Tarakanita. Secara fisik, Matias lumayan tampan dan gagah' meskipun cowok itu masih lebih pendek daripadanya. Sama sekali tak terlihat kalau cowok itu masih SMP. Pantas saja banyak siswi perempuan di SMA yang jadi tergila-gila dengan Matias. Kezia sendiri tak tertarik. Alasannya: masa cewek SMA suka sama cowok SMP? Gengsi dong. Itulah Kezia--yang selalu peduli akan yang namanya gengsi.
Tapi akhirnya, Kezia malah terjatuh ke pelukan Matias yang humoris dan apa adanya. Ia terkesan dengan pembawaan Matias. Cowok itu sungguh dewasa. Tak hanya secara fisik, namun secara karakter. Matias tak seperti cowok remaja SMP kebanyakan yang menurutnya norak. Bahasa gaulnya itu alay. Di saat banyak murid SMP yang membawa motor ke sekolah, Matias dengan percaya dirinya mengayuh sepeda. Badan cowok itu juga jarang bawa parfum yang baunya bikin ia mau muntah. Rambutnya jarang sekali terlihat licin oleh minyak rambut. Jika banyak murid SMP yang sok berkelakuan dewasa atau minimal seperti pelajar SMA (Bahkan ada yang sudah berani menghisap rokok), Matias tetap berani dengan identitas otaku-nya. Ia tak takut dicibir masih bocah, karena masih gemar membaca Detektif Conan, Hi Miko, Crayon Shinchan, dan beberapa komik Jepang lainnya. Di mata Kezia, Matias sungguh cowok yang memiliki karakter.
Makanya sewaktu Matias menembaknya di Gading Media, toko buku mini di seberang Tarakanita, Kezia otomatis mengatakan: "Iya, gue mau," Ia tutup mata dengan usia Matias yang empat tahun lebih muda darinya. Setelah enam bulan berpacaran, cowok itu memang luar biasa dewasa. Walau hari-hari cowok yang dulunya berbadan sedikit gempal itu selalu kesepian (Ayah-Ibu Matias tinggal di Jepang, karena urusan pekerjaan), Matias selalu tegar dan tersenyum. Ia anak tunggal, tapi tak pernah merasa kesepian. Baginya, komik-komik dan game-game Playstation sudah cukup menemani hari-harinya yang hanya ditemani pembantu yang usianya sudah sepuh. "Masih enak dulu, saat opung gue masih hidup. Gue masih ada 'teman'." tutur Matias singkat, saat ia bertanya apakah cowok itu merasa kesepian di rumah yang cukup megah.
Sayang hubungan dirinya dengan Matias berlangsung singkat. Saat ia naik kelas tiga, Matias otomatis lulus SMP. Cowok itu memutuskan hijrah ke Jepang, yang menyusul kedua orangtuanya. Matias mulai jengah dengan segala hari-hari yang memilukan. Apalagi kedua orangtuanya juga setuju Matias bersekolah di Jepang. Sehingga pembantu yang sudah bekerja lumayan lama itu bisa dipensiunkan. Keluarga Matias bisa utuh lagi.
"Gimana?" ucap Matias nyengir. "Udah ingat belum, Kak?"
"Apaan sih lu, Yas?" katanya terkikik. "Nggak usah pakai 'Kak' juga kali."
"Tapi kamu selalu kesel kalau aku manggil nama kamu langsung tanpa embel-embel 'Kak'." sindir cowok itu terkekeh. "Kamu selalu bilang, 'Aku ini lebih tua empat tahun, jadi yang sopan sama yang lebih tua.' Gitu kan katamu. Haha."
Kezia memonyongkan bibirnya. "Itu kan karena pacaran kita backstreet. Kamu sendiri juga kan yang usulin pacaran secara backstreet. Katanya, takut kedua orangtua tahu, lalu marah-marah."
Matias tergelak. Kezia lalu memperhatikan lamat-lamat. Sungguh cowok itu sudah berubah. Fisiknya berubah. Sekarang cowok itu lebih tinggi darinya. Kulitnya jauh lebih putih pula. Tak lagi gempal. Malah dadanya jadi bidang, yang nyaris six pack. Matias jadi mirip Won Bin. Hmm, Kezia jadi jatuh cinta untuk kali kedua.
"Biasa aja lagi, lihatin bodi aku," sahut Matias. "Oh iya, kamu gimana kabarnya? Maaf yah, selama ini bikin hubungan kita jadi complicated. LDR nggak kelihatan, tapi dibilang single juga bukan. Maaf banget, aku nggak pernah kasih kamu kabar."
Ia geli. "Iya, aku mengerti kok. Setelah Friendster berubah haluan, aku jadi agak kesulitan cari kontak kamu di internet. Nama kamu itu--Matias Immanuel--benar-benar pasaran yah? Dan parahnya lagi, nggak ada satupun yang gendut."
Cowok itu terkekeh lagi. "Kamu beneran cari tahu soal keberadaan aku lewat internet?" Mata cowok itu membelalak seolah tak percaya ada seorang gadis yang luar biasa mencintainya.
"Ya iyalah, kita kan juga belum putus." tukas Kezia terkekeh.
"Kirain, kamu berpikiran negatif, lalu cari cowok lain."
"Cewek itu lebih susah move-on ketimbang cowok."
Matias tergelak lagi. Kemudian cowok itu berhenti sejenak. Ia mendapati mata Kezia begitu sembap. "Kamu kenapa? Lagi ada masalah yah?"
Kezia menggeleng. "Nggak ada apa-apa, kok."
Cowok itu nyengir sambil menggelengkan kepala. "Kamu itu selalu begitu yah? Selalu sok tegar di hadapan aku. Alasannya selalu karena kamu lebih tua dari aku. Kenapa sih kamu nggak akui saja, kalau aku lebih dewasa dan kuat?"
Kezia merengus. Ia lalu meninju dada Matias. "Apaan sih kamu ini? Mentang-mentang SMA-nya di Jepang, jadi sok yah?"
"Nggak ada hubungannya lagi," kata Matias nyengir. "Eh tapi, kalau kamu ada masalah, curhat aja sama aku. Gantian aku yang menghibur kamu yang sekarang jadi kesepian."
Cewek itu terpana. Ini mengapa Matias jadi sensitif terhadap perasaan seorang wanita?
"Nggak usah bingung gitu kali." ujar Matias nyengir. "Tadi pas kamu di luar Gramedia, aku sempat ketemu kamu. Tapi kamu belum sadar itu aku." Ia terkekeh. "Aku sempat dengar kamu kangen Mommy kamu yang sudah meninggal. Aku turut berduka yah."
Ganti cewek itu yang tergelak. "Emang kedengaran yah? Padahal, kukira, suaraku itu udah pelan banget."
"Kakak kelasku ini memang lemot yah?" ledek Matias. "Kalau pelan, nggak mungkin kan kamu dikerubunin banyak orang gitu tadi."
"Udah sok, sekarang jadi hobi kepo yah?" ledek balik Kezia.
"Apa sih kepo itu?"
"Pengin tahu urusan orang."
"Tapi kamu mau juga kan dikepoin?"
"Kata siapa? Mulai deh sok tahunya."
Matias tergelak lagi. Cowok itu segera meraih lengan Kezia.
"Apaan nih?" protesnya dengan dahi berkerut. "Udah sok, kepo, eh sekarang maksa lagi."
"Kita nonton yuk," ajak Matias tersenyum.
"Males." tukasnya cemberut. "Filmnya nggak ada yang bagus. Malah bikin galau."
"Sekarang kamu yang sok tahu." ujar Matias nyengir. "The Hobbit bikin galau yah? Baru tahu aku."
Cewek itu jadi bersemu merah.
"Udah kamu nurut aja." kata Matias tersenyum, tapi nada bicaranya itu cukup tegas. Kezia jadi segan membantah. "Kali ini, aku pengin membalas segala perlakuanmu padaku dulu. Dulu kamu sudah bikin hari-hariku jadi lebih hidup lagi. Kamu juga yang menyadarkan padaku, banyak dunia yang lebih menarik diselami lagi, selain dunia yang ada pada komik atau anime. Dan sekarang, giliranku yang membuat hari-harimu jadi lebih hidup. Aku juga ingin mengembalikan senyum seorang bidadari yang dulu pernah bikin aku jadi melupakan komik sejenak."
Kezia terpana lagi. Kali ini, ia tak berontak. Ia menurut saja kemana Matias membawanya. Benar saja, cowok itu membawanya ke lantai teratas di Summarecon Mal Serpong. Cowok itu benar-benar mengajaknya untuk menonton film "The Hobbit", sebuah film yang diangkat dari novel karangan J. R. R. Tolkien. Yah film itu bukan genre romance. Jauh sekali dari kata romantis.
"Pas banget yah?" ucap Matias tersenyum. "Pas banget kita pesan tiketnya, saat filmnya lagi mau diputar. Yuk, kita buruan masuk ke studio dua."
Kali ini, cowok itu mengajaknya dengan merangkul pundaknya. Kezia jadi tercengang. Masa studi di Jepang sungguh menjadikan Matias jadi cowok yang teromantis dan begitu peduli dan perhatian terhadap seorang perempuan? Sudah memiliki kedewasaan yang melampaui cowok-cowok sebayanya, ditambah romantis, itu membuat Matias jadi cowok pujaan setiap wanita. Namun itu aneh sebetulnya. Dari beberapa sumber di internet, Jepang merupakan negara paling tak romantis. Walau komik-komik romance banyak dihasilkan, hubungan asmara di negeri Sakura itu jauh dari kata romantis. Kebanyakan cowoknya itu pemalu pula.
"Kamu kok jadi romantis begini, sih?" katanya nyengir.
"Kenapa, yah?" Cowok itu mengangkat bahu. "Mungkin karena komik dan anime. Nggak ada salahnya kan, masih menikmati hiburan seperti itu?" Terkekeh-kekeh.
Kezia ikutan tergelak.
"Eh, ada yang lucu yah, sama kata-kataku barusan?"
Ia menggeleng. "Tapi aneh aja. Masa komik dan anime bisa bikin seorang cowok yang tadinya nggak romantis jadi romantis?"
"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Lagian apa yang terjadi di dunia dua dimensi itu bisa terjadi juga di dunia tiga dimensi." kata Matias sambil menyerahkan dua lembar tiket kepada petugas yang berdiri di luar pintu studio dua.
Ia tercenung lagi.
"Udah, nggak usah melamun gitu. Mending masuk yuk. Filmnya kayaknya udah mulai." Cowok itu menyeretnya untuk segera masuk ke dalam ruangan yang kini penerangannya hanya mengandalkan pancaran cahaya dari layar.
Sebetulnya film itu cukup bagus. Sebagus novelnya. Tapi perhatian Kezia tidak tercurahkan ke alurnya. Ia malah lebih memperhatikan wajah Matias. Ia masih saja belum terbiasa dengan segala perubahan Matias yang kini benar-benar telah menjelma menjadi laki-laki idaman tiap wanita. Pula siapa sangka malam tahun barunya jadi luar biasa indah. Ini tak seperti malam tahun baru sebelumnya. Malam tahun ini sungguh berkesan.
Di tengah-tengah penayangan, ponselnya berdering di dalam tas selempangnya. Kezia langsung saja membongkar dan mengecek ponselnya. Ternyata dari Kak Thalia.
"Eh, Yas," desisnya, merapatkan diri ke Matias. "Aku keluar dulu yah. Kakakku telepon."
Cowok itu berjengit.
Ia kemudian berjalan keluar studio. Tak jauh dari pintu studio dua, ia segera menerima panggilannya--yang terus saja berbunyi agak mengganggu selama berusaha keluar dengan payahnya dari dalam.
"Halo," ujarnya tersenyum. Kali ini bukan senyum kepedihan. Kali ini senyum yang betulan senyum. Senyum seorang bidadari, istilahnya Matias.
"Selamat tahun baru yah, Zia," ujar Kak Thalia blak-blakan.
"Sekarang masih jam sebelas kali, Kak."
"Eh kamu lupa yah, Kakak kan tinggal di Menado. Di sini udah tahun baru, Zia."
Kezia menepuk keningnya. "Eh iya, aku lupa. Selamat tahun baru juga, Kak."
"Maaf yah, Zia, Kakak nggak bisa ke Tangerang. Suami Kakak kehabisan tiket."
"Nggak apa-apa."
"Kak Lucy ke rumah, kan?"
Spontan ia menggeleng. "Nggak. Soalnya si Toni sakit keras, jadi nggak bisa ke rumah."
"Daddy pergi lagi yah?"
Ia menghela napas. "Iya."
"Dasar Daddy! Sejak kematian Mommy, kamu selalu saja ditinggal sendirian."
"Nggak apa-apa, Kak."
"Nggak apa-apa gimana? Kakak kasihan melihat kamu merayakan natal dan tahun baru sendirian aja."
Kezia jadi bersemu merah. Ia senyum-senyum sendiri. "Kali ini, aku nggak sendirian kok."
"Nggak sendirian?" Ada hening yang cukup lama. "Oh Kakak mengerti sekarang. Akhirnya...."
"Emang apaan, Kak?" ujarnya nyengir. "Kan aku belum bilang."
"Udah deh, nggak usah pura-pura. Kakak tahu kok. Ya udah yah, Kakak mau kebaktian dulu bareng keluarga Kakak. Happy dating, Adikku Tersayang!"
Kedua pipi Kezia semakin memerah mendengar selorohan kakaknya yang nomor dua itu. Yah seperti yang sudah dikatakan, malam tahun baru kali ini, ia tidak kesepian. Sudah ada seseorang yang menemani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Oki Indriani
wah cerita nya keren kak, seru banget
2020-06-29
0
patmapaim
aku mampir lagi kak🌈
kutinggalkan like komen tap favorit and rate 5 ya, smgt terus up nya, salam dari Sister from another mother jan lupa mampir katanya, see you🖤
2020-06-17
1