Masih di ruangan yang sama,Albert sama sekali tidak berniat melepas cengkramannya di dagu milik Emily. Tatapannya masih tajam menghunus dada, hingga rasanya menusuk ke kulit terdalam.
“Setelah semua yang terjadi, kau masih berani meminta pengampunan?” Semakin berkobar api kemarahan di mata Albert.
“Bila saja kau tidak melarikan diri waktu itu, mungkin aku masih berbaik hati, hanya sekedar mengurungmu di balik jeruji besi. Tapi rupanya, kau lebih senang mati ditanganku.”imbuh Albert dengan senyum iblisnya.
Belum sempat membela diri, telah Albert hempaskan wajah Emily kasar. Bergerak cepat, kembali mendaratkan sebuah cengkraman kuat pada salah satu bagian tubuh wanita itu. Bukan lagi didagu, tangan kokoh pun besarnya setara dengan wajah Emily, telah mencekiknya tanpa belas kasih. Merah padam, paru-paru Emily mulai kesulitan untuk mendapatkan suplai oksigen.
Bergerak lincah, tangan mungil milik Emily membantu seadanya. Berusaha mencegah tangan Albert agar tidak mencengkram lehernya yang putih.“A-,am-mpun” tercekat, bersusah payah ia mengucapkan satu kata itu.
Seolah tuli pun buta, Albert semakin eratkan cengkramannya. Mendongak wanita itu, memohon pengampunan kepadanya. Hingga bertemulah tatapan mereka. Terdiam sesaat, Albert dapati sesuatu yang aneh di manik Emily.
“Manik berwarna coklat?” Albert bergumam dalam hati. Benar-benar ia selami kedua manik indah itu.
“Siapa dia?”gumam Albert lagi.
Telah berputar segudang pertanyaan di kepala Albert. Diingat-ingat lagi olehnya, warna asli bola mata Emilia. Dilihat sekali lagi seluruh wajah wanita yang tengah ia cengkram kuat. Wajah, postur tubuh, rambut, semua yang ada di dalam wanita inipun begitu mirip dengan sang mantan kekasih. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, tidak ada bedanya. Namun secara tidak sengaja, ia menemukan perbedaan pada bola matanya. Manik Emilia berwarna hitam pekat, bukan coklat. Dan Albert pastikan, wanita ini bukanlah Emilia.
Sibuk dengan pemikirannya sendiri, Albert hampir melupakan wanita yang tengah ia cengkram erat. Telah biru wajah Emily, kehabisan oksigen. Mata dengan manik coklatnya, hampir tertutup. Beruntung Albert menyadarinya dan bergegas melepas cengkramannya. Menghempaskan Emoly dengan kasar, ke dasar lantai.
Tersengal-sengal, merah padam wajah Emily, meraup rakus oksigen diruangan itu. “Kenapa dia melepaskanku, padahal aku sudah bersiap untuk bertemu maut”gumam Emily dalam hati.
Selesai dengan pemikirannya, Albert kembali melangkah, berjongkok dihadapan Emily. “Kau kira semudah itu untuk bertemu maut?”
Dengan susah payah Emily menelan salivanya dan berusaha tetap berani menatap mata milik Albert. Jantungnya berdegup kencang, pun merinding sekujur tubuhnya.
Ditengah-tengah ketegangan yang ada, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Menampakkan kepala seorang malaikat kecil, yang mengintip dari balik pintu. Meski secara terang-terangan keberadaannya telah diketahui, namun si kecil senantiasa menyembunyikan tubuhnya. Bertingkah seolah-olah tidak terlihat oleh penghuni di dalam.
“Boy masuklah, daddy tau kau ada disana!” Panggil Albert dengan tegas, kepada putra kecilnya, Leon wheeler. Ialah putra hasil dari hubungannya dengan Emilia.
Anak kecil berusia 4 tahun itu, melangkah kecil dengan kepala tertunduk. Tahu jika saat ini sang ayan tengah menatapnya galak.
“Maaf tuan, tuan muda memaksa untuk masuk” jelas Clifton yang sudah berada dibelakang tuan muda nya. Albert hanya mengibaskan tangannya, memberi isyarat kepada Clifton untuk meninggalkan mereka bertiga. Bergegas sang sekretaris mengundurkan diri, setelah menundukkan kepala.
“Ada apa boy?”suara lembut keluar dari mulut Albert, merasa bersalah setelah berbicara dengan nada tegas.
“Leon ingin tidul dengan daddy” cicit bocah kecil itu sambil menahan tangisnya.
Ya Leon memang memiliki hati lembut, meskipun dia seorang anak laki-laki, Leon mudah menangis layaknya anaknya perempuan.
“Hei daddy hanya bertanya, daddy tidak akan memarahi mu.” ucap Albert sambil berjalan mendekati putra nya. Bukannya terdiam, Leon malah menangis kencang tatkalah tubuhnya di angkat oleh sang ayah.
“Leon kangen dengan mommy.” Sesenggukan, mengadu lirih ia kepada sang ayah. Merasa sangat bingung, mengapa putranya begitu menyayangi sang ibu. Padahal bocah itu tak pernah diperlakukan baik oleh Emilia. Bisa dikatakan, Emilia tidak mengharapkan kehadiran Leon.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Katarina Istinganah
nanti dulu aku masih bingung
2024-12-04
0
Rini Utya
akhirnya ketemu cerita ini....
2024-10-23
0
Mommy_K
Terima kasih sudah mengingatkan..nanti aku revisi yang bab 4..karena aku memang mencari scene itu cuma belum ketemu🙏
2021-08-01
3