Apa yang ku berikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak ku miliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta
Hanya ini ku nyanyikan
Senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk mama
Sebuah lagu mengalun tenang di pendengaranku ketika aku memutar radio yang menyiarkan musik-musik era 90-an. Iramanya sendu. Lirik-liriknya begitu sederhana namun menyentuh. Siapapun yang mendengar pasti tahu lagu itu didedikasikan untuk para wanita yang dipanggil dengan sebutan ibu, mama, umi, emak, dan panggilan lainnya yang tetap mengandung makna yang sama.
Mama. Aku memanggilnya dengan sebutan itu. Dia satu-satunya orangtuaku setelah bapak dipanggil Sang Pencipta lima tahun yang lalu. Mama bekerja sebagai guru honorer dengan gaji lima ratus ribu per bulan. Untuk menghidupiku yang telah duduk di bangku SMA, tentu saja jumlah gaji itu tak cukup. Untungnya, bapak meninggalkan tabungan yang cukup dan juga asuransi untuk pendidikanku nanti setelah tamat sekolah.
Uang tabungan Almarhum bapak dipakai mama untuk modal berjualan kue. Karena mamaku pandai membuat kue, banyak orang yang memesan untuk acara-acara besar. Puji syukur, hidup kami berkecukupan pasca meninggalnya bapak.
Namun, beberapa bulan terakhir, mamaku tiba-tiba berubah. Dia sering pulang larut malam. Aku selalu memergokinya mengobrol dengan seorang pria di telepon. Kadang-kadang, mama langsung menutup telepon ketika melihatku. Aku heran, jika mama sedang menjalin hubungan dengan seorang pria, kenapa tak mencoba jujur padaku? Aku pasti akan memakluminya karena ia masih muda dan cantik.
Keadaan ini terus berlarut-larut. Mama juga jadi malas masak. Masakannya jadi tidak bervariasi. Menunya hanya sayur melulu. Aku jadi tidak berselera makan.
"Ma, kok makanannya tiap hari ini melulu, sih?" protesku kesal.
"Udah, makan aja. Tabungan kita udah menipis. Harus menghemat," jawab mama singkat.
"Hah? Tabungan bapak udah mau habis? Emang dipakai buat apa? Jangan-jangan dipakai buat biayai berondong yang tiap malam Mama telepon!" sindirku. Aku memerhatikan ekspresi mamaku yang tetap datar, tapi selanjutnya memilih pergi menghindariku.
Jujur, aku merasa mama telah banyak berubah. Bukan seperti dulu lagi yang akan menyajikan menu-menu enak untukku. Sekarang terkesan malas-malasan. Sayur lagi, sayur lagi.
Mama makin asyik dengan dunianya. Pulang makin larut. Kalau ditanya, alasannya lembur. Mana ada guru honorer yang kerja lembur?
Mama juga sering bersembunyi kalau lagi menelepon dengan pria asing. Keadaan ini membuatku tidak tahan. Karena mama terlalu sibuk, kesehatanku menjadi menurun. Aku sering pingsan di sekolah. Namun, itu tak membuat mama berubah. Mama tetap pulang larut, tetap tak mau memasak makanan yang lezat untukku, dan tetap berhubungan dengan pria itu.
Aku kesal. Aku ingin marah. Kami sering bertengkar. Tapi mama selalu menolak untuk berbicara padaku. Dia selalu melarikan diri dan memilih pergi dari rumah. Sekarang, mama juga melarangku untuk jalan-jalan keluar rumah. Mama menyuruhku untuk menjaga rumah, sementara beliau sibuk dengan urusannya.
"Ma, kenapa Mama berubah?" isakku melihat kepergiannya saat kami bertengkar.
Hingga suatu hari, aku memutuskan membuntutinya. Masih berseragam sekolah, aku mendatangi tempatnya mengajar. Kebetulan saat itu sudah memasuki jam terakhir, dan bel pulang pun telah berbunyi. Dari jauh, kulihat mama berjalan terburu-buru menuju pintu gerbang. Aku bersembunyi ketika dia lewat, tapi kembali mengekornya dari belakang. Aku sangat penasaran ke mana perginya beliau setelah pulang mengajar.
Mama berhenti di sebuah laundry yang tak jauh dari alamat kami. Di sana, aku melihat mama menyetrika pakaian laundry dengan masih menggunakan baju seragam tempatnya mengajar. Keningku berkerut seketika. Jadi, setiap pulang sekolah mama bekerja sebagai tukang setrika pakaian laundry?
Berjam-jam aku menunggunya selesai mengerjakan pekerjaannya. Sinar sore telah menerpa wajahku dan kulihat mama telah bersiap-siap pulang. Sebelum pulang, beliau diberi upah dua puluh ribu rupiah.
Mama kembali berjalan dan aku tetap membuntutinya. Ini bukan arah pulang ke rumah. Lantas, mau pergi ke mana lagi mama?
Dari tempat laundry, mama ke pabrik roti. Di sana, ia dan pekerja lainnya membungkus roti-roti yang telah terpanggang. Aku kembali mengerutkan keningku. Sumpah, aku tak mengerti kenapa mama harus mengerjakan semua pekerjaan ini dalam sehari. Aku sungguh tak mengerti!
Hingga ketika langit mulai menggelap, aku masih setia mengikuti arah langkah mamaku. Dari pabrik roti, kami menuju ke jalan raya. Kakiku sudah lelah melangkah. Napasku mulai melemah. Peluh menetes melalu pori-pori kulitku. Terbesit pertanyaan di benakku, apa mama hari-hari jalan kaki seperti ini ke tempat kerjanya? Kenapa dia tidak memakai jasa angkutan umum saja?
Kami berhenti di sebuah Rumah Sakit Umum terbesar di kotaku. Aku mendengar mama memanggil seorang pria berjas putih.
"Dokter!"
Mama berlari ke arah pria yang baru saja hendak membuka pintu mobilnya. Kulihat ia tampak berbicara dengan dokter tersebut. Namun, aku tak bisa mendengar apapun karena jarak mereka cukup jauh dari tempat persembunyianku. Tiba-tiba penglihatanku gamang, kepalaku terasa berputar-putar, apa saja yang kulihat menjadi ganda. Tak lama kemudian semuanya menjadi putih.
Aku mengerjapkan mata perlahan. Wajah panik mama yang berbungkus air mata langsung masuk dalam pandanganku. Mataku berkeliling. Tampaknya aku terbaring di Rumah Sakit.
"Lia, kenapa kamu bisa pingsan di Rumah Sakit? Untung saja mama lihat kamu saat dibawa masuk perawat." Mama berkata sambil menangis. Ia menggenggam tanganku seolah takut kehilangan.
"Lia yang pengen nanya ke mama, kenapa mama kerja banting tulang seharian?" tanyaku dengan suara melemah.
Mama menunduk. Ia makin terisak. Beberapa kali mama mengusap air matanya, tapi lelehan bening itu makin mengucur deras. Dengan suara bergetar karena tangisan, dia mencoba menjawab pertanyaanku.
"Lia, kamu mengidap leukimia. Penyakit yang sama seperti bapakmu. Penyakit yang telah merenggut nyawa bapakmu," ucapnya terbata-bata sambil terisak.
Aku terlonjak. Mataku melebar. Mulutku ternganga.
"Dokter menyarankan kamu harus segera kemoterapi. Tapi, tabungan yang bapakmu tinggalkan tidak cukup untuk biaya terapi. Makanya mama harus bekerja sampingan mengumpulkan uang yang tak seberapa untuk kesembuhanmu," lanjut mama seraya menyeka air matanya yang terus mengalir.
Akhirnya aku menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini. Alasan kenapa mama sering pulang larut, karena dia harus bekerja part-time. Sepulang mengajar ia langsung ke tempat laundry untuk menyetrika, lalu menjadi buruh di pabrik roti, dan dilanjutkan menjadi tukang bersih-bersih di warung makan.
Alasan kenapa mama tak memasak enak lagi untukku, karena dokter tidak mengizinkan aku mengkomsumsi sembarang makanan. Aku harus sering makan sayur-sayuran agar dapat menekan pertumbuhan sel kanker di tubuhku.
Alasan kenapa aku tak napsu makan dan kesehatanku makin menurun, bukan karena tak mendapat perhatian dari mama. Tapi akibat sel kanker yang terus berkembang di tubuhku.
Alasan kenapa mama selalu menghindar ketika berdebat, itu karena tak ingin membuatku menangis. Alasan mama pergi keluar rumah setelah kami bertengkar, itu karena tak ingin aku melihat air matanya. Dan sosok pria yang selalu mama hubungi ternyata adalah dokter yang akan menanganiku nanti.
Di hadapanku, mama selalu tampak tegar bila aku memarahinya dan menuduhnya yang bukan-bukan. Tanpa aku tahu sudah berapa liter air mata yang tercurah karena mengkhawatirkan keadaanku. Demi memperpanjang umurku, dia rela melakukan segalanya. Mama rela menyerahkan seluruh waktunya untukku.
Setelah mendengar semua pengakuan mama, aku tak kuasa untuk menahan tangis. Segera kudekap dan peluk dirinya. "Maafkan Lia sudah salah paham, Ma."
Benar, jika ada yang bilang mama adalah sosok peri nyata di dunia. Ia rela melakukan apa saja demi anak-anaknya. Kasih sayangnya selalu mengiringi langkah anak-anaknya.
Tuhan, jika kau mengizinkan, aku ingin hidup lebih lama untuk merasakan kasih sayang mama yang tak terbatas...
.
.
.
"Menjadi ibu melatihmu untuk mengetahui arti ketakutan sesungguhnya, mengetahui arti kesabaran sejatinya, menjadikan dirimu tokoh Hero dalam dunia nyata, dan memahami bahwa ada hal-hal yang mustahil, tapi bisa kamu lakukan karna kamu adalah seorang ibu." Saya Aotian Yu mengucapkan Happy mother's day kepada seluruh wanita bergelar ibu.