Malam itu udara begitu dingin, kilat beberapa kali memecah kesunyian malam. Angin bertiup kencang disertai hujan yang lebat. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti biasanya.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 22.30. Ah pantas saja sepi, rupanya ini sudah hampir tengah malam. Kubaringkan tubuh ringkih ini, menatap lesu kearah balita berusia 3 tahun yang tengah terbaring nyaman diatas kasurku.
Sudah 40 hari ibu meninggalkan kami, rasanya aku masih belum percaya. Sosok lembut itu pergi begitu cepat karna kecelakaan lalu lintas, meninggalkan aku dan adikku yang masih kecil.
Kupejamkan mata ini sambil sesekali mengelus wajah polos adikku. Bayangan ibu kembali datang, tak kuasa aku menahan tangisan ini. Hingga isakan tangis tak bersuara itu meluncur begitu saja.
Klakk...
Pintu kamar terbuka dengan sendirinya, aku bangkit dari tempat tidurku. Melihat siapa gerangan yang ingin masuk kedalam. Ayahku tadi bilang ada pekerjaan mendadak di luar kota. Lusa baru kembali, lalu siapa yang membuka pintu kamarku. Sementara dirumah ini hanya ada aku dan adikku saja.
Apa mungkin ayah yang pulang, pikirku sembari mencoba mencari keluar kamar. Tapi diluar kamar tidak ada siapapun, apa mungkin angin tapi masa iya padahal aku ingat dengan jelas kalau pintu ini sudah kukunci tadi.
Kuberanikan diri untuk menyusuri rumah ini, rumah dua lantai yang cukup besar. Dulu saat masih ada ibu rumah ini sangat terasa hangat. Tapi kini aku merasakan sesuatu yang berbeda.
"Yah, ayah udah pulang? Kok Maya ga denger suara mobil diluar", ucapku sembari membuka pintu kamar ayahku.
Nihil kamar itu kosong, segera kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Ditengah tangga kakiku terhenti dapat kulihat diujung sana sosok yang ku kenal tengah duduk sembari menyesap secangkir kopi.
Itu ayahku, rupanya ia sudah pulang tapi kenapa aku tak mendengar suara mobilnya. Segera kuhampiri laki-laki yang mulai menua itu.
"Yah, tadi ayah yang buka pintu kamar Maya bukan? Kok bisa sih kan udah Maya kunci. Kirain ayah gak pulang hari ini", ucapku sembari menepuk pundak ayahku.
Dingin itu yang kurasakan, ayahku tak menjawab dia hanya mengangguk kaku tanpa menoleh sedikutpun.
"Badan ayah dingin banget, masuk kamar yah nanti ayah sakit",
Sekali lagi ayahku hanya mengangguk pelan, lalu berdiri dan menatapku dingin. Seketika bulu kuduk ku berdiri. Aku merasa aneh dengan ayah hari ini, ah mungkin karna ayah terlalu memikirkan ibu. Yang kutahu ayah sangat mencintai ibuku, jadi sudah sewajarnya bila ia merasakan kesedihan yang sama dengan ku.
Kupapah tubuh tegap itu menuju kamarnya, ia berbaring dengan tenang. Kutarik selimut dan ku tutup setengah badannya. Matanya tak berkedip sedikitpun, menatap langit-langit rumah dengan tatapan kosong.
"Maya ambilin air hangat dulu ya yah, biar badan ayah ga dingin lagi ",
Untuk kesekian kalinya ayahku hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Segera aku melangkah keluar kamar, namun baru saja sampai di daun pintu kamar ayahku.
Handphone ku bergetar pelan, rupanya asisten ayah tengah berusaha menghubungi ku. Tanpa menunggu lama aku segera mengangkat telepon itu.
"Halo, om ada apa ya", tanyaku
"Halo May ini ayah, ayah mau bilang kalau ayah pulangnya jadi lusa. Kamu jagain Zahra ya bilangin nanti ayah pulang bawa oleh-oleh buat dia. Ayah telepon pakai no hp nya asisten ayah. Soalnya hp ayah mati habis batrenya",
Lidah ku kelu rasanya aku tidak percaya tapi itu benar-benar suara ayahku. Lalu kalau ayah belum pulang lantas siapakah yang aku ajak bicara tadi. Tubuhku merinding begitu saja, kupalingkan tubuhku menatap kearah dipan yang ternyata kosong.
Tidak ada siapapun disana, oh tuhan lalu tadi itu siapa. Jantungku berdegup kencang tak karuan, ingin melangkah pun rasanya amat sulit.
"Halo? May kok diem aja sih? Ayah lagi bicara ini", suara ayahku kembali terdengar dari balik benda pipih yang tengah ku genggam ini.
"Bu..bukannya ayah udah pulang?",
"Kamu ini ngomong apa sih, ayah masih di kantor udah dulu ya ayah mau lanjut lembur jaga adikmu",
Tuttt...
Ayah mematikan panggilan ini, kuberanikan diri menatap kesegala penjuru ruangan. Nihil tidak ada siapapun disini, lalu apakah aku hanya halusinasi saja. Tapi rasanya itu nyata sekali.
Tiba-tiba saja suara kain yang diseret terdengar cukup kontras, aroma busuk menyeruak menusuk indra penciuman. Gorden kamar tersibak, tertiup angin kencang. Bayangan wanita bergaun putih samar-samar terlihat.
Kakiku melangkah mundur perlahan, perasaan takut yang luar biasa mulai membayangi. Hingga tubuhku berhenti saat menyentuh sesuatu yang terasa dingin di belakangku.
Kutarik tanganku melihat dengan jelas cairan apa yang menempel disana. Jantungku rasanya berhenti, darah ya ini darah baunya amat menyengat amis dan dingin. Mataku mencoba melihat kearah belakang, dan tepat disana aku bisa melihat seorang perempuan dengan gaun putih menjuntai, rambut hitam legam. Tubuhnya dipenuhi darah pekat.
Wajah pucat pasi itu amat ku kenal, seringai yang menyeramkan menambah gejolak rasa takut ini. Tatapan dingin dengan mata yang telah memutih seluruhnya.
"Maya ini ibumu kenapa takut begitu", ucapnya sembari memiringkan wajahnya dengan kaku. Suara yang berat dan dingin itu membuatku semakin sulit bergerak.
Iiitu.... ibuuu... napasku terhenti jantungku berpacu dengan cepat . Mencoba melarikan diri dari sosok menyeramkan itu.
"MAYAAA JANGAN LARIII!!! INI IBUU HIHIIHIHIHIHI",
Kedua tangan yang dipenuhi kuku-kuku panjang nan hitam itu berusaha menyentuh tubuhku.
Arghhhhhhhhhhh......ibuuuuuuuu
------
Ibuuuuuuu.......huh...huhh...huhh napasku terengah
Aku terbangun dari tidurku, ah rupanya itu hanya mimpi. Tapi kenapa rasanya sangat nyata, kulihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 04.00 subuh.
Sementara adikku masih terlihat tertidur dengan lelap, kutarik selimut nya lagi. Tapi tunggu dulu, bercak apa yang ada di tangan ini. Kulihat dengan seksama, tidak ini adalah bercak darah yang mengering. Baunya masih sama amis dan menyengat.
Artinya kejadian itu bukan sekedar mimpi tapi itu benar-benar terjadi. Ibuu kenapa ibu menghantuiku,apa yang ingin ibu sampaikan.
Beberapa hari kemudian akhirnya ayah pulang juga,masih kuingat dengan jelas pembicaraan kami di telepon malam itu. Zahra yang sudah terlihat rindu itu bersorak senang. Tangannya berusaha menggapai ayah namun entah kenapa ayah justru menghindar dengan tatapan yang sulit ku artikan.
Kulihat wajah adikku yang murung,bibirnya mengerucut lucu.
"Zahra jangan sedih gitu dong, mungkin ayah lagi cape makanya ayah kayak gitu. Nanti pasti ayah gendong Zahra kok, sekarang Zahra duduk dulu disini ya", ucapku sembari mendudukannya di kursi kosong depan televisi. Kartun favorit nya menjadi obat tangis nya .
Kuhampiri ayah yang tengah duduk di balik laptop di ruang kerjanya.
"Ayah katanya mau bawa oleh-oleh buat Zahra, ayah bohong lagi ya? Tadi aja Zahra mau digendong ayah malah langsung pergi gitu aja",
Ayah menghentikan kegiatan nya,matanya menatapku dingin.
"Ayah ga bilang mau bawa oleh-oleh, ayah juga lagi cape bisa nggak kamu sama adikmu itu jangan menyusahkan ayah terus." Ucapnya ketus sembari memalingkan wajahnya ke arah laptop nya lagi.
Hatiku terasa panas, semenjak ibu meninggal ayah memang berubah jadi kasar dan ketus pada kami. Entahlah padahal dulu ia adalah sosok yang amat baik dan lembut.
"Besok kita akan kedesa nenek kalian, bersiap lah",
Hatiku menghangat, setidaknya ayah masih menyempatkan waktu untuk mengunjungi nenek seperti dulu lagi. Aku mengangguk senang dan mulai merapihkan barang yang akan dibawa.
*****
Sore itu kami melakukan perjalanan ke desa nenek, ayah duduk di balik kemudi. Aku dan Zahra duduk dikursi belakang sambil sesekali menimpali pertanyaan randomnya. Sementara ayah dia tidak berbicara sedikitpun hanya sesekali mengangguk saat Zahra bertanya padanya.
Perjalanan terasa panjang jalanan yang ramai perlahan berubah menjadi sepi. Pepohonan menjulang tinggi di setiap sisi ruas jalan, udara dingin menusuk kulit. Kabut tebal terlihat menutupi pandangan, namun ayah tampaknya tidak terganggu dengan hal ini.
Jalan yang tadinya terasa mulus kini berubah menjadi jalan berbatu. Udara semakin mencekam, aroma melati menyeruak tajam.
"Kaka ituu ibuu", ucap Zahra tiba-tiba tangan mungilnya mengarah keluar kaca mobil.
Seketika bulu kuduku berdiri, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Ayah menatap tajam kearahaku,
"Maya jaga ucapan adikmu itu, jangan asal bicara", nadanya penuh amarah.
"Ssst Zahra ga ada siapa-siapa disana",
"Ituuuu kakak", tunjuknya lagi, kali ini menunjuk tepat kearah kaca depan mobil.
Ku telisik kabut tebal itu tapi tidak ada sosok apapun disana, sementara ayah terus menatap tajam kearah kami. Seakan tidak suka adikku menyebut nama ibu, segera kutarik tubuh mungil Zahra dan mendekapnya. Berharap dia akan tertidur setelah ini.
Mataku tak sengaja melihat sebuah foto di bawah kursi, segera ku ambil. Kulihat dengan seksama di foto itu ada seorang wanita cantik yang tak ku kenal. Tangan nya menggandeng tangan ayahku dengan mesra, apa ini apa ayah selingkuh dari ibu tapi sejak kapan.
Darahku terasa mendidih kutatap wajah ayahku lewat kaca yang terpasang di depan sana. Kulihat jalan yang sudah tidak tertutup kabut, jalan asing yang tidak pernah kulihat. Aku tentu saja masih ingat seperti apa harusnya jalan menuju rumah neneku itu.
"Yah ini jalan yang salah, ayah mau bawa kami kemana", ucapku datar entah kenapa pirasatku mengatakan ada yang salah.
"Tentu saja kerumah nenek kalian memangnya kemana lagi",
"Aku tau mana jalan yang benar, ini jalan yang berbeda ayah jangan bohong",
Ayahku terdiam matanya menatapku dingin,
" sejak kapan pula ayah selingkuh dari ibu",
Mata ayahku membelalak terkejut, mobil langsung dihentikan begitu saja. Matanya menatapku dingin,
"Bicara apa kamu hah?! Kamu menuduhku selingkuh?!",
"Lalu ini apa? Siapa perempuan ini hah?! Ayo jawab!", ucapku sembari menunjukkan foto yang kutemukan tadi.
Dia terlihat keluar dengan kasar lalu menarikku dengan keras, membuat Zahra yang tertidur kini menangis meraung. Hawa ayah berbeda, aku tahu dia sedang dilanda emosi yang memuncak.
"Ayah kenapa kasar begitu kasihan Zahra", tangan ku mencoba menarik Zahra yang direnggut paksa oleh nya.
"Kalian berdua memang menyusahkan ku sama seperti ibu kalian, maka kalian juga pantas mati seperti ibu kalian", teriaknya dengan nyaring
Tubuhku gemetar mendengar kata-kata ayah barusan. Pantas mati seperti ibu kalian… Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Zahra menangis kencang dalam pelukan ayah, berusaha meronta.
“Lepasin Zahra! Ayah udah gila! Ibu meninggal juga gara-gara ayah kan?! Apa perempuan di foto ini juga ada hubungannya sama ayah?!” teriakku sambil menunjukkan foto yang kutemukan tadi.
Wajah ayah merah padam, matanya melotot penuh amarah. “Diam kamu, Maya! Kamu nggak ngerti apa-apa! Kamu cuma anak kecil yang bisanya nyusahin aja!”
Dengan kasar ia mendorongku hingga terjatuh ke tanah berbatu. Lututku perih berdarah. Ia langsung masuk ke mobil, membawa lari Zahra yang menangis histeris.
“KA…KAAAA!!!” suara adikku pecah, makin lama makin menjauh.
Aku berlari sekuat tenaga mengejar mobil itu. Nafasku terengah-engah, sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil tua di tengah hutan. Gelap, bau dupa bercampur amis begitu menusuk hidungku.
Ayah menuntun Zahra masuk. Dan di sana… aku melihat seorang perempuan dengan gaun merah. Wajahnya persis dengan foto itu. Cantik, tapi ada aura menyeramkan yang bikin bulu kudukku berdiri.
“Akhirnya kau datang juga,” suara perempuan itu berat tapi senyumnya manis. Matanya menatap ayah penuh kerinduan.
Aku tercekat. “Ayah… siapa dia? Apa maksud semua ini?! Jangan libatin Zahra!”
Ayah menoleh padaku, wajahnya dingin. “Kamu nggak ngerti, Maya. Dia… cinta sejatiku. Aku dulu gagal nikah sama dia karena dipaksa kawin sama ibumu. Tapi sekarang, aku bisa dapat dia. Dan kalian… adalah pengorbanan terakhir biar semuanya sempurna.”
Perempuan itu menyeringai, giginya tampak runcing. “Ya… darah anak-anakmu, itu yang akan bikin perjanjianmu jadi sempurna. Kaya raya, berkuasa, dan aku… akan sepenuhnya milikmu.”
Aku tercekat. Jadi benar, ibu meninggal karena ayah… “Ayah… demi harta, ayah tega ngorbanin anak-anakmu sendiri?! Ibu meninggal juga gara-gara perjanjian gila ini kan?!”
Ayah menunduk, lalu menatapku dengan sorot mata yang asing.
“Ibumu… dia tahu semuanya. Dia halangin aku. Maka dia harus mati.”
Aku menjerit, tubuhku bergetar hebat. Zahra ditarik paksa oleh perempuan itu menuju altar kecil yang dipenuhi bercak darah kering. Aku mencoba menarik adikku, tapi ayah menahanku.
Tiba-tiba angin kencang bertiup, lilin padam seketika. Bau amis menyengat. Dari balik kegelapan, muncul sosok bergaun putih, tubuhnya penuh darah. Rambut hitam panjang menutupi sebagian wajahnya. Matanya putih polos, menatap tajam ke arah ayah.
“Ibu…” bisikku, air mataku menetes deras.
Sosok itu menyeringai. Suaranya berat dan bergema. “Kau… lelaki terkutuk. Kau bunuh aku demi perempuan ini, lalu sekarang kau akan mengorbankan anak-anak kita juga?!”
Ayah mundur, wajahnya pucat. “Ti…tidak… ini nggak mungkin. Kau sudah mati!!”
“Iya… aku sudah mati. Tapi sekarang… aku akan menyeretmu ikut bersamaku ke neraka,” ucap sosok itu, kuku panjangnya menembus dada ayah.
Jeritan ayah menggema di seluruh ruangan. Perempuan gaun merah itu ikut menjerit, wajahnya berubah menyeramkan kulitnya hitam gosong, matanya merah menyala. Mereka berdua ditarik ke dalam kobaran api yang tiba-tiba muncul dari altar, suara teriakannya begitu menyakitkan telinga.
Aku memeluk Zahra erat-erat, menutup matanya. Tubuhku gemetar hebat. Api itu padam, menyisakan hening.
Sosok ibu menatapku dan Zahra lembut, kali ini wajahnya nggak lagi menyeramkan. “Maafin ibu, Maya… Zahra… ibu nggak bisa jagain kalian waktu masih hidup. Tapi sekarang… kalian sudah aman.”
Aku menangis sejadi-jadinya. “Ibu jangan pergi lagi… tolong jangan tinggalin kami…”
Sosok itu tersenyum, lalu perlahan menghilang bersama angin malam.
Aku memeluk Zahra erat-erat. Kami berdua menangis di tengah hutan gelap itu. Hati kami hancur, tapi setidaknya kami selamat.
Rahasia kelam ayah… tidak akan pernah bisa kami lupakan.