Draft.
Cerita ini hanyalah fiksi belaka, jika ada kesamaan atau persamaan nama, tempat lokasi, alur dll itu tidak disengaja, karena aku cuma gabut makanya cerita ini gak jelas bahkan mungkin lebih buriq dari cerita OFA.
.
.
Tubuhku terasa berat seakan tengah menanggung beban seluruh dunia di pundak, namun semua keanehan itu bukanlah akhir, karena ada sesuatu yang lebih buruk baru saja akan dimulai.
Tanganku terangkat perlahan menyentuh sesuatu di depanku, karena pandanganku masih sedikit kabur, dingin namun hangat pada waktu yang bersamaan, meski ini pertama kalinya aku melihat pemandangan ini tapi rasanya seperti sangat akrab.
Tanganku turun perlahan perlahan seolah tengah menyusuri sesuatu, hingga terhenti karena merasakan ada sesuatu keganjalan, yang mungkin tidak aku mengerti sebelumnya.
“Apa-apaan ini?” bisikku, suara yang keluar dari mulutmu terasa serak. “Jangan bilang kalau—”
“Kamu udah bangun, adik kecilku.” suara itu terdengar pelan dan sangat akrab bagiku.
Tentu saja itu adalah kakakku Novelino, aku bahkan menganggapnya sebagai teman karena ia selalu menemaniku selama ini, memberikan semangat ketika aku sedang terpuruk, namun entah kenapa perasaanku mengatakan kalau semua itu telah berada di luar batasan.
Bukan hanya sebatas kakak adik melainkan lebih dari itu, aku menggigit bibir bawah dengan gemetaran sambil menatap wajahnya perlahan, tapi yang kulihat hanyalah senyuman manisnya seakan semua ini adalah mimpi semata.
“Kenapa?” tanyaku perlahan, berharap semua ini bisa terjawab dengan kalimat yang bisa memuaskan hati. “Kamu adalah kakakku, tapi—”
Novelino menyentuh daguku dengan lembut menatap mataku lebih dalam, lalu berkata. “Sejak awal, aku tak pernah menganggapmu sebagai adik, bagiku kamu adalah seorang wanita yang harus kulindungi.”
Aku terdiam, nafasku terasa seperti tercekat di tenggorokan, meski mencoba melepaskan pelukan itu, tapi sepertinya rasa sakit di tubuh ini menahan semua gerakanku, ditambah lagi tubuh kakak yang kokoh menahan punggungku erat.
“Apa kamu lupa?” tanya Novelino, sesekali ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Kamu yang menarikku dalam pelukanmu, dan memintanya bahkan ketika aku ingin menarik diri kamu malah berkata ingin selalu terhubung denganku.”
“Apa?!” seketika kepalaku terasa sakit, seolah ribuan ingatan mencoba masuk ke dalamnya. “Itu tidak... Benar...”
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Beberapa saat sebelumnya
Saat itu hari masih sore, karena sebelumnya aku dan teman teman baru saja berkeliling merayakan hari kelulusan kami dari sekolah SMA, semua pelajaran, tuntutan bahkan sakit kepala karena terlalu banyak belajar akhirnya berhenti juga.
“Yeah!!” aku berteriak seperti seseorang yang baru saja dapat jackpot. “Akhirnya!!”
“Hey, Cynthia.” panggil Salsa sambil menepuk bahuku. “Kita ke bar yuk, di sana banyak loh cowok ganteng, mungkin bisa dapat pacar di sana?”
“Tapi—”
“Ayolah, Cyn.” Salsa menarik lenganku dengan pelan seolah ia tak punya kekuatan sama sekali. “Kita udah lulus kan? Terus kenapa masih terikat sama aturan?”
Aku terdiam mendengar perkataan dari Salsa, mungkin terdengar benar sih, tapi bukannya itu lebih mirip pembenaran diri? Setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku mengangguk setuju.
“Iya deh, aku bakal ikut.” ucapku setengah pasrah dan ditarik olehnya.
Sesampainya di bar yang di katakan oleh Salsa, di sana ternyata sudah banyak orang berkumpul, beberapa dari sekolah kita tapi tak banyak juga orang tak aku kenali.
Dari semua orang di sana mataku tertuju kepada Johan, ia adalah ketua kelas yang selalu di cintai satu sekolah, bahkan di anggap sebagai primadona dan sering di lamar, meski tak satupun dari orang orang itu di terima.
Kami berlima duduk melingkar di kursi yang berhadapan, sementara di atas meja tampak banyak sekali minuman keras kayak anggur, tapi bukan sekedar wine, aku bahkan tak pernah melihatnya sebelum datang ke sini.
Kami memainkan permainan truth or dare, dan siapa yang kalah atau menolak untuk menjawab atau melakukan tantangan diwajibkan untuk meminum segelas anggur itu, entah kenapa aku malah merasa kalau tengah dijebak.
Karena hampir semua pertanyaan sangat pribadi, sementara tantangan yang di berikan kadang tak masuk akal, seperti mencium seseorang tak dikenal, duduk terbalik atau bahkan menari hanya menggunakan dalaman saja.
Tentu saja aku menolak melakukan hal itu, hingga harus meminum hampir 6 gelas penuh, kepalaku terasa bergoyang dan tak bisa lagi mengendalikan diri, semuanya bergoyang seperti berada dalam lautan air tanpa dasar.
Selang beberapa saat berlalu, aku merasa diriku tengah dipeluk oleh seseorang, harumnya begitu familiar, namun pandanganku yang kabur membuatku kesulitan untuk melihat siapa sosok itu dengan jelas.
Orang itu perlahan menurunkanku ke atas ranjang, namun sebelum ia pergi aku menahan tangannya, tubuhku terasa panas seperti tengah berada di oven mendidih.
“Tidurlah denganku~” pintaku sambil melepaskan pakaian, tubuhku terasa terbakar dari dalam, bahkan sampai berkeringat. “Aku mohon?”
Orang itu mengangguk pelan, lalu membantuku melepaskan sisa pakaian yang masih menempel, begitu juga dengannya, ia lalu berdiri di atas tubuhku lalu menindih dengan keras, rasanya sakit tapi nikmat, dan entah kenapa aku tak mau kalau waktu ini berlalu begitu cepat.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Perlahan Novelino melepaskan pelukannya, ia menatap ke arah langit, seakan tak ada beban sedikitpun dalam pikirannya, setelah itu ia duduk di sudut ranjang.
“Kalau kamu tak ingat sedikitpun.” Novelino menatapku lalu mengedipkan salah satu matanya dengan nada jahil. “Kita bisa membuat adegan itu lagi, gimana?”
Seketika aku langsung terdiam, wajahku bahkan terasa panas hingga ke telinga, sebagian dalam diriku ingin menolaknya, menjauhkan kakakku agar tidak tergoda, namun entah apa yang merasuki pikiranku saat ini.
Bukannya menggeleng aku malah menangguk tanpa sadar, tubuhku bergetar bahkan nafasku memburu seperti tengah dikejar oleh debt collector saat ditagih tunggakan.
Novelino tersenyum lalu berjalan menuju ke arah pintu, ia memunguti semua pakaiannya dari lantai, tapi sebelum sempat mengenakannya aku berdiri di belakangnya dan memeluk erat.
“Aku... Bisakah?” bisikku dengan suara lembut. “Kemarin itu sepertinya adalah kesalahpahaman saja, karena seingatku pergi ke bar bersama teman temanku setelah hari kelulusan.”
Novelino melepaskan pelukanku lalu berbalik, ia menunduk sedikit agar tinggi badan kita setara, sesekali ia mengusap rambutku sama seperti saat kami masih kecil.
“Cyn, apa kamu tak mau aku pergi?” Novelino bertanya sambil menyentuh daguku. “Kamu tau kan kalau sekarang sudah pagi? Kalau mama sama papa sampai tau dengan ini, mereka bisa marah.”
“Aku tidak peduli.” bentakku sambil memeluk erat kakakku, seolah tak ingin melepaskan. “Lagipula kita sudah melakukannya sekali kan? apa salahnya jika di lakukan lagi?”
Novelino tersenyum pelan, mengeratkan pelukannya sambil memasukkan asetnya padaku, sesekali ia menggoyangkan pinggulku dan entah kenapa rasanya begitu nikmat.
“Jangan mengeluarkan suara, atau mereka akan tau.” bisik Novelino, suaranya dibuat pelan seakan tak mau menganggu. “Tapi jika kamu mendesah sedikit saja, mungkin aku bakal menghentikan ini.”
“Jangan, aku mohon.” pintaku sambil memeluk erat leher dari kakak. “Walau aku ingin merasakan kenikmatan ini.”
Beberapa ronde berlalu dengan Novelino yang mengeluarkan cairan berwarna putih ke dalam tubuhku, rasanya hangat namun juga melelahkan, jika saja waktu bisa berhenti, aku ingin melakukannya tanpa takut akan hamil nanti.
Novelino menurunkanku dan membantu berdiri. “Kamu cantik, adik kecilku.” ucapnya sambil mengusap rambutku.
“Benarkah begitu?” tanyaku dengan nada jahil, lalu menyentuh asetnya dengan tangan. “Walau waktu berlalu tapi kamu gak ngerasa capek ya.”
“Joni emang selalu bersemangat.” ucapnya dengan senyuman lebar. “Mungkin kalau bisa kita lanjutkan beberapa ronde lagi?”
Aku mendengus kesal tapi tanganku setia menyentuh asetnya, terasa keras kaku bahkan terlihat urat urat menyembul keluar, lengket tapi membuatku ingin memakannya seperti sebelumnya.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dari pintu kamarku, diikuti oleh suara familiar dari baliknya.
“Chyntia, apa kamu dapat info dari kakakmu?” tanya ibu. “Sekarang sudah jam 06:30, waktunya sarapan.”
Aku menatap ke arah pintu sambil menarik nafas pelan. “Ahh...” segera aku menutup mulut dengan tangan.
Kakak membuatku membungkuk sedikit dan memasukkan asetnya dengan lebih cepat dari sebelumnya, seolah sengaja melakukan itu, ketika aku hendak memberitahu ibu.
“Kamu kenapa nak?” tanya ibu dari seberang pintu. “Apa ada sesuatu yang membuatmu sakit? Ayo ceritakan sama mama.”
Aku menutup mulut rapat rapat, di antara menjawab ibu, atau melanjutkan kenikmatan yang di berikan oleh kakakku, rasanya seperti berada di persimpangan jalan dengan pilihan berbeda.
“Nak, kalau ada yang mau kamu ceritakan, mama akan menunggu.” setelah mengatakan hal itu, terdengar suara langkah kaki menjauh.
Dan dengan itu Novelino malah menghentikan aksinya, dan melangkah mundur, lalu tersenyum seolah tengah memenangkan sesuatu.
Dengan emosi, aku menatapnya dengan kesal. “Kamu sengaja kan?” tanyaku sambil memukul dadanya yang wangi. “Itu terlalu berlebihan.”
“Tapi kamu menikmatinya kan?” goda Novelino, ia duduk di tepi ranjang. “Bahkan tak menolak ketika aku melakukannya?”
“Kalau iya kenapa emang?” setelah mengatakan itu aku menghampirinya dan duduk di atas pangkuannya. “Ayo mandi bersama, kita selalu melakukannya sejak kecil kan?”
“Mandi?” Novelino merangkul pundakku lembut. “Aku malas.”
“Apakah kamu tak khawatir kalau—”
sebelum sempat mengatakan sesuatu, kakak segera berdiri sambil memelukku. “Jika itu keinginanmu, my little princess.”
Aku tersenyum ketika di bawa ke bathtube, permainan mandi bersama seperti ketika masih kecil, seolah merasakan deja-vu bedanya kini mandi itu lebih membahagiakan.
Kutatap matanya perlahan, bibir merahnya terlihat menggugah selera bahkan lebih dari makanan favoritku, yang di masak oleh ibu di dapur, dan tanpa mengatakan apa apa, aku mencium bibir itu melumatnya seakan itu adalah hal terakhir.
Ketika nafasku hampir habis akhirnya aku menarik diri mundur, sementara senyuman samar muncul dari wajahnya, seolah menikmati setiap detiknya.
Selesai mandi, aku mengenakan baju tanktop berwarna hitam dengan jeans biru, kali ini aku memilih celana longgar karena masih terasa nyeri di bagian bawah tubuh.
“Mungkin sebaiknya kamu keluar lewat jendela.” aku melangkah ke depan pintu dan menutupnya pelan.
Ketika berada di ruang makan, di sana ayah tengah membaca koran, sementara ibu sibuk mempersiapkan sarapan, tanpa tahu kejadian yang baru saja terjadi beberapa menit lalu.
Tak lama kemudian pintu depan terbuka dan Novelino masuk dengan mengenakan jaket kulit, ia duduk di bangkunya namun sesekali menatapku seperti biasa, walau ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.
Sementara aku, mungkin lebih baik kali ini diam, setidaknya sampai hari itu tiba, karena tak mungkin orang tuaku akan menolak, jika tahu kalau aku tengah mengandung anak dari kakakku.