Seorang bocah laki-laki bernama Will yang baru saja menginjak usia lima tahun. Pipinya seperti bakpau. Hidung mungil kecil yang mancung. Bola mata bulat dan bulu mata yang lebat. Alisnya seperti bulan sabit.
Bibir kecilnya semerah buah delima. Tubuhnya kelebihan bonus daging dan lemak seperti seekor anak beruang. Siapa yang tak terlena oleh keimutan itu? Ditambah lagi dia sekarang sedang sendiri tanpa diikuti orang tuanya, menjadikan ini kesempatan emas untuk para pecinta bocah imut.
Anehnya bocah itu berseliweran dengan bebas di laboratorium tempat para ahli melakukan penelitian. Orang baru yang melihatnya mungkin merasa heran akan keberadaannya, tapi tidak untuk para peneliti tetap di sana. Bocah itu justru dihormati oleh orang yang lebih tua, menimbulkan berbagai prasangka di benaknya.
"Apa yang dilakukan bocah itu di sini?" tanya Jeremy.
"Kau orang baru ya?"
Jeremy mengangguk.
"Biarpun masih bocah, tapi masuk orang penting di penelitian ini," terang Andreas.
"Dre, kita cuma beda beberapa taun aja. Lah dia masih bocah," kata Jeremy meremehkan.
"Liat aja nanti pake matamu sendiri," kata Andreas sebelum pergi.
Jeremy dengan penuh rasa keberatan menyusul Andreas menuju ruang rapat. Bocah kecil itu juga di sana. Jeremy makin kesal. Padahal Will tak pernah memprovokasinya. Jadi itu salahnya sendiri yang memiliki rasa iri.
"Pengujian mesin waktu kemarin berhasil. Lalu, kita semua akan melakukan tahap selanjutnya sebagi percobaan dengan mengirim beberapa orang ke masa depan," kata Will dengan serius.
"Adakah orang yang mau menemaniku?" tanya Will pada anggota penelitian yang lain.
Meja panjang yang diisi oleh orang dewasa, tapi tak satupun berani mengikutinya. Will sudah menduga hal ini akan terjadi. Mana ada orang yang mau bertaruh dengan pergi ke masa depan. Jika era itu damai mungkin akan aman-aman saja, tapi bagaimana jika sedang berperang? Hidup mungkin dipertaruhkan di sana.
Jeremy mengangkat tangannya tinggi membuat semua yang hadir melihatnya. Wajah baru yang muncul hari ini tentu menjadi pertanyaan beberapa dari mereka yang belum mengenalnya.
"Siapa kau?" tanya Brodie.
"Jeremy," jawabnya.
"Bagaimana Will?"
Will hanya mengangguk.
"Oke ikuti aku!"
Mereka bertiga ke sebuah ruangan khusus di mana perangkat besar berada.
"Wow ini keren," puji Jeremy penuh rasa kagum.
"Mesin waktu ini akan membawa kalian ke masa depan, tapi apakah kalian sudah siap dengan segala konsekuensinya?"
Will hanya mengangguk saja. Dia bertekad untuk bertanggung jawab penuh atas mesin ini. Meskipun demikian, dia juga sedikit takut karena tak tahu bisa kembali lagi atau tidak. Selain itu, butuh berapa banyak waktu yang tak bisa diprediksi olehnya.
"Konsekuensi?" Jeremy kebingungan dengan maksud pertanyaan Brodie.
"Meskipun mesin sudah jadi, tapi masih belum sempurna karena belum diuji. Jadi entah kalian kembali atau tidak, juga berapa lamanya, tak ada yang tahu waktunya dengan pasti," terang Brodie.
"OMG!"
"Takut?" tanya Will yang melihat ekspresi cemas Jeremy.
"Siapa bilang aku takut?" balasnya galak, padahal Will bertanya baik-baik.
"Ayo berangkat kalo gitu!" seru Jeremy dengan penuh rasa percaya diri.
Will yang melihatnya hanya bisa membatin, "Seperti biasa hanya orang bodoh yang mau menemaniku melakukan percobaan ini."
Dengan bantuan Brodie yang mengoperasikan mesin waktu. Will dan Jeremy berhasil dikirim ke 1000 tahun kemudian.
"Semoga kalian berhasil kembali dengan selamat nantinya," kata Brodie penuh harap.
***
"Apa kita sudah sampai?" tanya Jeremy yang melihat pemandangan asing di depannya.
"Gurun pasir yang tandus. Sepertinya kita tidak beruntung," ujar Will di sampingnya.
"Bagaimana cara kita hidup kalau tempat kita tiba setandus ini?" kata Jeremy sambil menjambak rambutnya.
"Orang sepertimu memang tak bisa diandalkan," kata Will mulai berjalan.
"Hei bocah! Tunggu aku!" teriak Jeremy sambil menyusul Will di depannya.
Setengah hari mereka berjalan di bawah teriknya mentari dan panasnya pasir di kaki. Penuh keringat bercucuran di tubuh Jeremy, tapi anehnya bocah di sampingnya tidak bermasalah sedikitpun.
"Apa kau nggak merasakan panas? Ku lihat sebutir keringatpun nggak muncul di tubuhmu," melihat Will yang memakai baju dengan tudung.
"Ini stelan khusus yang kubuat sendiri," jawab Will cuek.
"Apa?"
"Jadi kau sudah jauh-jauh hari mempersiapkan segalanya?"
"Jangan-jangan kau sudah bawa perbekalan juga?" tebak Jeremy yang melihat bocah itu tenang sejak awal tiba di sini.
Will hanya mengangguk, membuat Jeremy makin frustasi.
"Jadi aku adalah orang bodoh yang ikut tanpa mempersiapkan apapun?"
"Tak cuma bodoh, tapi juga cerewet."
Jeremy melongo melihat sikap Will yang tak sesuai usianya. Kelihatan aja luarnya imut, tapi dalamnya belum tentu seimut wajahnya.
***
Melewati gurun pasir yang tak berujung. Sebuah desa terlihat di ujung. Jeremy tersenyum melihat sebuah harapan.
"Ada desa di sana!" seru Jeremy sambil menunjuknya.
"Aku tahu. Aku juga punya mata."
Jeremy hanya bisa menahan diri untuk tak memukul bocah imut di sampingnya.
***
Tiba di desa di tengah gurun pasir, Will dan Jeremy disambut dengan cara tak biasa.
"Apa kau punya makanan atau minuman?"
"Pu... " Jeremy hampir menjawabnya, tapi disela oleh Will.
"Tidak," tegas Will.
"Silahkan masuk!"
Will dan Jeremy masuk ke desa. Jeremy terus bertanya-tanya alasan Will berbohong tadi.
"Kenapa kau berbohong," bisik Jeremy di dekat telinga Will.
"Kalau mereka tahu kita punya itu. Jangankan masuk ke desa, masih hidup aja udah untung."
Jeremy mengangkat sebelah alisnya karena bingung.
"Di tempat seperti ini kau pikir banyak cadangan makanan tersisa. Apalagi air. Kalau mereka tahu kita punya keduanya pasti akan langsung direbut."
Jeremy hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda paham maksud Will.
***
Will dan Jeremy tinggal di desa tersebut selama beberapa waktu untuk mengamati. Will juga belajar banyak pengetahuan pada Henry yang juga seorang ilmuwan. Kemajuan teknologi yang dilihat Will makin menggodanya untuk terus berkarya. Terlebih lagi ada Henry, menjadi kolaborasi yang sempurna.
Jangan tanya Jeremy. Dia hanya bisa melihat atau membantu pekerjaan yang mudah. Karya dua orang jenius memang di luar jangkauan otaknya. Jadi wajar jika dia secara alami tersisihkan. Tak perlu khawatir Jeremy sendiri. Ada Thomas bawahan Henry yang senasib dengannya.
"Kira-kira apa karya yang akan muncul dari dua orang gila itu?"
"Pastinya luar biasa," jawab Thomas.
"Aku pasti sudah gila bertanya padamu," kata Jeremy yang heran dengan rasa kagum Thomas pada Henry.
"Orang biasa hanya bisa mengagumi, tapi orang jenius bisa langsung menikmati."
Jeremy tak mengerti lagi. Sudah cukup dia sendiri. Tak perlu lagi ditambah dengan beban mental karena bersama Thomas.
***
Karya Will dan Henry adalah mesin waktu untuk kembali ke masa lalu. Itu didasarkan pada pengetahuan Will dan dikembangkan bersama Henry.
"Will, kau yakin ini bisa membawa kembali ke waktumu?" tanya Henry yang masih tak yakin dengan mesin waktu di depannya.
"Aku yang membuat mesin waktu di sana, begitu pula di sini. Jadi jelas itu bisa berfungsi."
"Lagipula, aku harus segera kembali untuk memberikan hasil percobaan mesin waktu ini, tapi...." Will menatap Henry.
"Kau harus menghancurkannya!" Will menunjuk mesin waktu yang dibuatnya.
"Apa?"
"Kenapa harus dihancurkan?"
"Aku hanya khawatir ada yang memakainya tanpa tahu resikonya," jelas Will.
"Kau benar, Will. Resiko bermain dengan waktu itu berbahaya."
"Kapan kau dan Jeremy kembali?"
"Besok."
***
Keesokan harinya Will dan Jeremy kembali ke waktu mereka menggunakan mesin waktu. Henry dan Thomas mengantarkan mereka. Mesin waktu itu bergetar hebat setelah Will memasukkan tahun tujuannya.
"Gawat!"
"Ada apa Will?"
"Kelebihan muatan."
"Apa?" seru Jeremy panik.
"Tak masalah. Peluk saja aku dengan erat!"
Jeremy segera memeluk Will dengan erat. Mesin waktu pun berhasil mengantarkan mereka kembali dan langsung rusak setelahnya.
"Kita sepertinya terbantu," kata Thomas yang melihat hancurnya mesin waktu.
"Padahal membuat ini cukup lama, tapi hilang dalam sekejap mata."
Thomas mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ayo kita bereskan!"
***
Will dan Jeremy kembali ke tempat asalnya. Brodie yang pertama kali melihat mereka dengan pose pelukan langsung nyeletuk, "Kenapa kalian berpelukan?"
Jeremy dengan cepat melepaskan pelukannya. Dia segera keluar dari mesin waktu dan bersorak, "Akhirnya aku kembali."
Brodie mendekati Will dan bertanya hasil percobaannya.
"Itu berhasil, tapi sebaiknya kita tak menggunakannya lagi," kata Will menunjuk mesin waktunya.
"Hancurkan saja!" perintah Will.
Mesin waktu ini dibuat langsung oleh Will termasuk biayanya yang besar itu dari saku pribadinya.
"Siap, Bos." Brodie segera menjalankan perintah.
"Sepertinya mesin waktu memang sangat membantu dalam kemajuan teknologi dan peradaban manusia, tapi itu menentang ketetapan waktu dunia. Akan lebih baik lagi, jika aku tak pernah membuatnya. Mungkin saja dana pembuatan mesin waktu bisa dialokasikan ke penelitian lain yang lebih berguna," batin Will.