Aku bertemu dia di antara rintik hujan yang belum ingin reda.
Waktu itu, langit sedang murung. Awan menggumpal di atas kota, menumpahkan isinya perlahan—seolah menangis tanpa suara. Aku duduk sendiri di halte tua dekat taman kota, memeluk ransel sambil menatap sepi jalanan yang basah.
Aku tak sedang menunggu siapa-siapa. Entah kenapa aku memilih berhenti di sana. Mungkin karena lelah. Mungkin karena ingin diam. Atau mungkin, karena ada sesuatu di tempat itu yang menarikku tanpa alasan logis.
Lalu dia datang.
Seorang gadis, kira-kira seumuranku. Rambutnya basah menempel di pipi, jaket lusuhnya memudar warnanya karena air hujan. Tapi matanya... matanya seperti langit yang menyimpan banyak cuaca—tenang di luar, tapi terasa petir di dalamnya.
Dia duduk di ujung bangku yang sama. Tanpa sapaan. Tanpa basa-basi. Seolah kami sudah pernah bertemu sebelumnya dan keheningan itu bukan sesuatu yang asing.
Beberapa menit kami hanya mendengar suara rintik hujan di atap seng halte.
Sampai akhirnya, dia bicara.
“Kamu percaya, nggak, kalau hujan bisa menyimpan perasaan yang gagal diucapkan?”
Pertanyaannya tiba-tiba, tapi entah kenapa tidak terdengar aneh.
Aku menoleh pelan. “Gagal diucapkan karena takut?”
Dia mengangguk, menatap ke depan.
“Kadang bukan takut ditolak… tapi takut setelahnya berubah.”
Lalu dia diam lagi.
Aku memperhatikannya diam-diam. Cara dia bicara, caranya menatap hujan, dan caranya menyimpan semuanya di balik diam membuatku merasa seperti sedang membaca buku yang halaman-halamannya hilang. Membingungkan, tapi membuat penasaran.
“Kalau kamu sendiri?” tanyaku akhirnya. “Apa yang gagal kamu ucapkan?”
Dia tersenyum kecil, tapi tidak menjawab.
Bibirnya bergerak tipis, seolah ingin berkata sesuatu, tapi membatalkannya.
Aku tidak memaksa.
Beberapa menit kemudian, dia berdiri. Mengancingkan jaketnya yang mulai lembab.
“Aku harus pergi,” katanya, menatap langit yang masih menetes pelan.
“Sebelum hujan reda.”
Aku mengerutkan dahi. “Kenapa harus sebelum hujan reda?”
Dia menoleh sebentar, lalu berkata:
“Karena kalau hujan reda, artinya waktuku habis.”
Dan dia pergi.
Meninggalkan jejak basah di lantai halte dan pertanyaan yang menggantung di kepalaku.
---
Hari-hari setelahnya, aku kembali ke halte itu. Hujan atau tidak.
Tapi dia tidak pernah muncul lagi.
Aku bahkan mencoba duduk di tempat yang sama, pada jam yang sama. Menatap hujan dengan cara yang sama. Tapi satu-satunya yang menemaniku hanyalah kenangan samar tentang matanya yang tenang… dan suara lembutnya yang menyisakan tanya.
Sampai suatu sore, ketika hujan turun deras, aku bertanya pada penjual koran tua yang biasa duduk di seberang jalan.
“Pak, pernah lihat cewek rambut panjang, sering duduk di halte sini? Waktu hujan…”
Si bapak menatapku lama. Lalu tersenyum samar, agak getir.
“Ah… kamu juga?”
Aku bingung. “Maksudnya?”
“Udah beberapa anak muda yang nanya hal sama. Tentang cewek di halte, yang datang waktu hujan.”
Jantungku berdegup sedikit lebih kencang.
“Katanya,” lanjut si bapak pelan, “ada gadis yang dulu sering nunggu seseorang di situ. Pacarnya. Tapi yang ditunggu nggak pernah datang. Malam itu dia nyusul, katanya hujan belum reda. Tapi dia nggak pernah sampai…”
Aku menelan ludah. “Kecelakaan?”
“Iya. Di tikungan dekat taman. Nggak jauh dari sini.”
Dadaku terasa sesak. Aku menunduk.
“Sejak itu,” suara bapak itu makin pelan, “kadang… katanya, ada yang lihat dia duduk di halte. Diam. Bicara sedikit. Terus pergi. Selalu sebelum hujan reda.”
Aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi hatiku tahu: gadis itu… yang duduk bersamaku hari itu… mungkin bukan sekadar manusia biasa.
Tapi anehnya, aku tidak takut.
Aku justru merasa kehilangan.
---
Sekarang, setiap kali hujan turun, aku kembali ke halte itu. Duduk diam, seperti yang kulakukan saat pertama kali bertemu dengannya.
Bukan karena ingin melihat hantu.
Bukan karena ingin mengungkap misteri.
Tapi karena di sana… aku merasa ada sesuatu yang tertinggal.
Sesuatu yang belum sempat selesai.
Kadang, aku menatap bangku kosong di sebelahku, berharap bisa mendengar suaranya lagi.
"Kamu percaya, nggak, kalau hujan bisa menyimpan perasaan yang gagal diucapkan?"
Dan tiap kali hujan reda, aku merasa…
seperti ditinggalkan sekali lagi.
Bukan oleh seseorang yang kukenal.
Tapi oleh seseorang yang entah kenapa,
meninggalkan jejak paling dalam.
Karena nyatanya, tak semua yang sebentar itu tak berarti.
Kadang, justru pertemuan singkatlah yang membuat kita percaya…
bahwa perasaan bisa tetap hidup,
meski orangnya sudah pergi.
dan kenangan bisa tetap menunggu,
di tempat yang sama.