Malam itu pekat, bukan sekadar gelap, tapi kegelapan yang menelan segalanya, tanpa rembulan, hanya kerlip bintang yang malu-malu menembus celah dedaunan pinus, seolah alam pun enggan menjadi saksi. Aku, Ardi, dan kedua temanku, Mira dan Bima, nekat memasuki jalan setapak yang katanya menuju rumah kosong di ujung kebun kopi. Desas-desus tentang rumah itu sudah lama beredar, membelit benak kami dengan cerita-cerita mengerikan. Ada yang bilang penghuninya menghilang misterius, meninggalkan jejak kengerian tak terucap. Ada yang bersumpah sering terdengar tangisan pilu yang memilukan di tengah malam, seolah jiwa tersiksa mencari pembebasan. Bahkan ada yang mengaku pernah melihat bayangan melayang di jendela, siluet tipis tanpa bentuk, hanya gumpalan hitam yang menyerap cahaya.
"Serius, nih? Gak balik aja?" Mira, si paling penakut di antara kami, suaranya bergetar hebat, lebih dari sekadar ketakutan biasa, hampir seperti ia meramal bencana. Lampu senternya yang kecil bergoyang-goyang panik, menciptakan bayangan aneh yang melompat-lompat seperti hantu-hantu kecil di antara semak belukar.
"Penakut banget sih, Mir. Lagian, kita udah sejauh ini," sahut Bima, nadanya terdengar menantang, tapi aku tahu dia pun sedikit tegang. Gelagatnya yang sok berani justru menunjukkan kerapuhannya malam itu.
Aku sendiri, meskipun jantung berdebar kencang menggema di telinga, ada rasa penasaran yang menyesakkan, seperti dorongan tak terlihat yang menarikku maju. Rumah itu sudah menjadi legenda urban di desa kami, sebuah tempat terlarang yang memanggil jiwa-jiwa nekat. Kami terus berjalan, menerobos ranting-ranting yang saling bergesekan, menciptakan suara berbisik yang menyerupai bisikan-bisikan jahat, seolah mengiringi setiap langkah kami menuju kehancuran. Aroma kopi yang semestinya menenangkan, malam itu terasa menyesakkan, berat, dan bercampur dengan bau tanah basah dan sesuatu yang pahit, logam, dan memualkan, seperti bau karat yang sangat tua atau, lebih menyeramkan lagi, bau darah kering yang mengendap berpuluh tahun.
Akhirnya, kami sampai. Sebuah rumah tua bergaya kolonial, terlihat seperti makhluk purba yang tertidur, dikelilingi pagar besi yang berkarat dan ditumbuhi tanaman rambat yang melilit seperti tentakel. Jendelanya pecah di sana-sini, lubang-lubang hitam yang menganga, dan pintunya yang terbuat dari kayu jati kokoh terlihat sedikit terbuka, menganga seperti mulut gua gelap, seolah mengundang kami masuk ke dalam rahimnya.
Gelapnya begitu pekat, bukan sekadar minim cahaya, tapi kegelapan yang aktif, hidup, seolah rumah itu menelan semua cahaya dan memuntahkan bayangan.
"Oke, siap?" tanyaku, berusaha menutupi kegugupan yang kini mencengkeram tenggorokanku.
Bima, dengan keberanian yang dipaksakan, langsung saja melangkah masuk, diikuti Mira yang menempel padaku seperti bayangan, napasnya terengah. Begitu kaki kami menginjak lantai kayu yang usang, udara di dalam terasa jauh lebih dingin, dingin yang menusuk tulang, seperti kami melangkah ke dalam peti mati raksasa. Bau aneh yang tadi tercium di luar, kini semakin pekat, menusuk hidung, dan mengendap di paru-paru, menciptakan rasa mual yang tertahan. Debu tebal menyelimuti segalanya, membentuk lapisan menyeramkan di atas setiap permukaan, dan sarang laba-laba raksasa menggantung seperti jaring perangkap di setiap sudut, menunggu mangsa.
Kami menyusuri ruang tamu yang luas, dengan perabotan yang tertutup kain putih lusuh, terlihat seperti pocong-pocong kecil yang berdiri kaku dalam kegelapan. Di dinding, ada bercak-bercak hitam yang kami tak tahu apakah itu jamur atau sesuatu yang lebih mengerikan, noda yang mengering, menyimpan kisah kelam. Tiba-tiba, senter Bima berkedip-kedip dengan putus asa lalu mati, meninggalkan kami dalam kegelapan absolut.
"Yah, mati!" keluh Bima, suaranya nyaris tercekat.
Sekarang hanya senterku yang menyala, dan itu pun cahayanya tidak lebih dari sekadar titik harapan kecil di lautan kegelapan. Mira memekik pelan, suaranya tertelan oleh ketakutan.
"Ardi, aku takut," bisiknya, suaranya pecah seperti kaca tipis.
"Tenang, Mir. Kita bareng-bareng," kataku, sambil memegang bahunya, berusaha meyakinkan diriku sendiri juga.
Kami terus masuk lebih dalam, menuju dapur. Di sana, piring-piring pecah berserakan di lantai, pecahan-pecahan tajam yang mengilat dalam cahaya senter, dan bau busuk yang samar tercium dari sebuah lemari es tua yang pintunya sedikit terbuka, mengeluarkan aroma kematian yang telah lama berdiam. Saat kami melewati sebuah cermin besar yang sudah retak di lorong, bayanganku di cermin tampak lebih pucat dari yang kukira, seolah darah telah terkuras dari wajahku.
Aku bersumpah, sekilas aku melihat ada bayangan lain di belakangku, bentuk yang tidak jelas, namun terasa menakutkan, tapi saat aku berbalik, tidak ada apa-apa, hanya kegelapan yang mengejek.
Kami sampai di kamar tidur utama. Ranjang besar dengan kelambu yang sobek-sobek, menggantung lemas seperti kain kafan, lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka, mengintip ke dalam kegelapan yang tak terjamah, dan sebuah meja rias dengan cermin yang buram, seolah ditutupi kabut dari masa lalu. Di atas meja rias itu, ada sebuah sisir tua, giginya patah dan berkarat, dan sehelai kain putih yang terlihat seperti sapu tangan, dengan noda merah kecoklatan di tengahnya yang terlihat mencurigakan, seperti darah lama yang mengering.
"Astaga, ini sih beneran berhantu," bisik Mira, suaranya nyaris tak terdengar, hanya hembusan ketakutan.
Tiba-tiba, kami mendengar suara. Bukan suara angin, bukan suara tikus. Ini suara seperti seseorang sedang menyeret sesuatu yang berat, bergesekan dengan lantai yang usang, menciptakan gesekan mengikis dan memekakkan telinga di lantai atas.
Sreek… sreek…
Kami bertiga langsung terdiam, membeku di tempat, saling menatap dengan mata melotot, pikiran kami berteriak-teriak dalam kekosongan.
"Apa itu?" tanya Bima, kali ini suaranya tidak berani sama sekali, hanya bisikan ketakutan murni.
Suara itu berhenti sejenak, keheningan yang memekakkan telinga, lalu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih dekat, seolah bergerak menuruni tangga menuju kami.
Sreek… sreek… sreek…
Seolah ada sesuatu yang besar, berat, dan mengerikan sedang ditarik menuruni tangga, semakin mendekat.
"Lari!" teriak Mira, suaranya pecah menjadi serpihan kepanikan.
Tanpa pikir panjang, kami berbalik dan lari secepat mungkin, tanpa arah, hanya ingin menjauh. Suara menyeret itu semakin cepat di belakang kami, mengikuti, mengejar, seolah makhluk itu sekarang tahu keberadaan kami. Kami mendengar suara gedebuk samar, seperti sesuatu yang jatuh dengan berat, lalu diikuti suara tawa yang dingin, melengking, dan bukan tawa manusia, tawa yang kosong, hampa, namun dipenuhi kegilaan, mengisi seluruh ruangan, menusuk gendang telinga dan mengoyak ketenangan.
Tawa itu bukan tawa manusia. Itu tawa yang seram, memuakkan, dan membuat bulu kuduk berdiri tegak seperti ditarik benang tak terlihat.
Kami berlari menembus kegelapan, melewati perabotan yang tertutup kain, hampir tersandung beberapa kali. Saat kami sampai di pintu depan, sebuah tangan dingin dan pucat, dengan jari-jari panjang yang terasa seperti ranting pohon mati, mencengkeram pergelangan kakiku. Rasanya seperti es yang membakar. Aku terjatuh, senterku terlempar dan padam, menenggelamkan kami dalam kegelapan mutlak.
"ARDI!" teriak Mira dan Bima bersamaan, suara mereka dipenuhi teror.
Aku meronta, bukan hanya mencoba melepaskan diri, tapi tubuhku kejang secara otomatis, berusaha menolak sentuhan yang begitu menjijikkan dan tidak wajar. Di tengah kegelapan yang pekat, aku bisa merasakan kuku-kuku yang panjang, runcing, dan tajam menusuk kulitku, menembus daging, rasa sakit yang dingin dan tumpul menyebar, diikuti oleh sensasi cairan hangat yang mulai merembes.
Aku mencoba menendang dengan panik, dan akhirnya cengkeraman itu terlepas dengan sebuah desisan aneh yang kurasa hanya aku yang mendengarnya. Aku bangkit, merangkak, lalu berlari lagi dengan sisa tenaga, kakiku terasa mati rasa, namun adrenalin mendorongku maju.
Kami bertiga berhasil keluar dari rumah itu, dan terus berlari tanpa menoleh ke belakang, menembus kebun kopi yang gelap gulita. Kami tidak berhenti sampai kami mencapai jalan raya, jauh dari rumah terkutuk itu. Nafas kami terengah-engah, jantung berdegup kencang, dan tubuh kami gemetar hebat, seolah setiap sel dalam tubuh kami masih berteriak ngeri.
Kami tidak pernah bercerita detail apa yang kami alami malam itu kepada siapa pun. Setiap kali ada yang bertanya tentang rumah di ujung kebun kopi, kami hanya akan menggeleng dan mengubah topik, rasa takut yang dalam masih mencengkeram lidah kami. Luka goresan di kakiku bekas cengkeraman itu membutuhkan waktu lama untuk sembuh, dan bahkan setelah sembuh, bekasnya masih ada, seperti cap neraka, sebagai pengingat akan malam yang mengerikan itu.
Sampai sekarang, kadang di tengah malam yang sunyi, aku masih bisa mendengar suara tawa melengking yang menggema di benakku, atau merasakan dinginnya tangan pucat yang mencengkeram kakiku, bahkan di tengah hari yang terik.
Dan kami bertiga, Ardi, Mira, dan Bima, tidak pernah lagi berani mendekati rumah di ujung kebun kopi itu, sebab kami tahu, ada sesuatu di sana yang menanti, sesuatu yang tidak akan pernah melupakan kami.