Hujan turun deras saat bel pulang sekolah berbunyi. Aku masih duduk di kelas, memperhatikan rintik-rintik air di kaca jendela. Wajah-wajah teman-teman sudah ramai di lorong, bersiap menghadapi upacara kelulusan besok. Tapi aku belum siap.
Bukan karena nilai.
Tapi karena akan berpisah dengan seseorang.
Namanya Dira.
Teman sebangku selama dua tahun. Suara tawanya paling nyaring di kelas. Dan entah sejak kapan, senyumnya jadi hal paling aku tunggu setiap hari.
“Eh, Dira,” sapaku waktu dia masuk kelas lagi untuk ambil buku.
“Hm?” Dia menoleh, rambutnya basah sedikit karena lupa bawa payung.
Aku ingin bilang: Aku suka kamu. Jangan pergi begitu saja. Tapi yang keluar malah:
“Kamu pulang sama siapa?”
Dira tersenyum, “Sendiri. Biasalah, jomblo elegan.”
Aku ikut tertawa kecil, meski hati berdebar. Ini mungkin kesempatan terakhir.
“Kamu pernah suka sama seseorang, tapi nggak berani bilang?” tanyaku tiba-tiba.
Dira diam sebentar. Lalu duduk di kursinya. “Pernah,” jawabnya pelan. “Banget malah.”
Aku menelan ludah. “Terus?”
“Dia nggak tahu. Dan mungkin memang nggak perlu tahu.”
Aku tak berani bertanya siapa orang itu. Tapi matanya menatap ke arahku sebentar. Lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Aku takut besok semua berubah,” ucapku lirih.
Dira tersenyum. “Emang akan berubah. Tapi bukan berarti semuanya hilang.”
Kami terdiam. Suara hujan jadi latar sunyi yang hangat.
Lalu, dia berdiri. Meraih payung dari tas.
“Aku pulang duluan ya. Jangan lupa besok datang lebih pagi, katanya kita mau foto bareng.”
Aku mengangguk. “Dira,” panggilku sebelum dia melangkah keluar.
“Hm?”
Aku menarik napas. “Terima kasih udah nemenin aku selama ini.”
Dia tersenyum lagi. Kali ini... ada sedikit air di sudut matanya. Tapi mungkin cuma tetesan hujan dari rambutnya.
“Terima kasih juga, Rangga. Dan—”
Dia ragu sesaat.
“—Aku suka kamu juga. Dari dulu.”
Lalu dia pergi, menyisakan degup yang masih berloncatan di dada.
Hujan terus turun, tapi dadaku terasa hangat.
Besok, mungkin kami akan berpisah. Tapi kata-kata itu akan tinggal selamanya.
_END_