Mentari pagi masih malu-malu mengintip dari balik punggung Gunung Semeru, ketika langkah kokoh Kartika sudah membelah dinginnya udara Ranu Kumbolo. Embun pagi membasahi dedaunan, menciptakan kilau perak di antara hijaunya vegetasi. Rambutnya yang hitam legam diikat rapi, menyisakan beberapa helai yang menari-nari diterpa angin gunung. Di punggungnya, sebuah keril besar tampak menyatu, seolah tak pernah terpisahkan dari tubuhnya yang ramping namun penuh tenaga. Setiap gerakannya memancarkan kekuatan tersembunyi, seolah ia adalah perpanjangan dari alam itu sendiri.
Bukan kali pertama Kartika menapaki jalur pendakian Mahameru. Sejak belia, aroma tanah basah dan desau angin gunung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Ayahnya, seorang pemandu gunung legendaris di desa mereka, telah menanamkan kecintaan pada alam sekaligus daya juang yang tak pernah padam dalam diri Kartika.
"Gunung tak pernah memilih siapa yang boleh menapakinya, Nak. Tapi gunung akan menguji seberapa kuat hatimu," begitu selalu pesan almarhum ayahnya, sebuah mantra yang terukir dalam sanubari Kartika. Ayahnya juga mengajarkan tentang pentingnya menghormati gunung, memahami setiap isyaratnya, dan selalu mawas diri.
Dua tahun terakhir, setelah kepergian ayahnya karena kecelakaan di gunung yang sama, Kartika mengambil alih peran itu. Kejadian itu meninggalkan luka mendalam, namun juga mengobarkan tekad dalam dirinya untuk melanjutkan warisan sang ayah. Bukan hal mudah bagi seorang wanita muda di tengah dominasi para pemandu pria. Banyak yang meragukan, menatapnya sebelah mata, bahkan terang-terangan menyindir kemampuannya.
"Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan di gunung seganas ini?" bisik-bisik itu sering terdengar, menusuk telinga namun tak pernah mematahkan semangatnya. Namun, Kartika tak gentar. Ia membuktikan setiap keraguan itu dengan keringat, langkah pasti, dan pemahaman mendalam tentang setiap jengkal jalur, setiap perubahan cuaca, dan setiap kebutuhan tim yang dipandunya. Reputasinya mulai terbentuk, satu demi satu klien yang awalnya ragu, pulang dengan kekaguman pada profesionalisme dan ketangguhannya.
Suatu hari, ia memandu sekelompok pendaki yang sebagian besar adalah pemula. Di antara mereka, seorang pemuda bernama Rio, tampak paling rentan. Sejak awal perjalanan, Rio sudah mengeluh kedinginan, lelah, dan bahkan sempat ingin menyerah di Pos Jambangan. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah-engah, dan matanya menunjukkan keputusasaan. Kartika dengan sabar membimbingnya, menceritakan kisah-kisah inspiratif tentang ketahanan mental para pendaki legendaris, berbagi tips mengatur napas dengan ritme yang benar, bahkan tak segan membagikan bekal cokelatnya saat Rio tampak kehabisan energi. Ia juga mengajarkan cara menggunakan tongkat pendaki dengan efektif, membantu Rio menemukan keseimbangan di medan yang sulit.
"Tidak ada puncak yang tak bisa dicapai, Mas Rio. Hanya perlu keyakinan dan satu langkah lagi. Selalu satu langkah lagi," ujar Kartika dengan senyum menenangkan, saat mereka beristirahat sejenak di punggungan Arcopodo. Mata Kartika memancarkan ketenangan yang menular, seolah ia adalah jangkar di tengah badai keraguan. Ia tidak hanya bicara, ia juga menunjukkan. Setiap kali Rio tampak akan menyerah, Kartika akan menempatkan dirinya di samping Rio, berjalan bersamanya, memberikan semangat di setiap langkah.
Perjalanan ke puncak memang tak pernah mudah. Setelah melewati Kalimati, tantangan sesungguhnya dimulai. Pasir vulkanik yang licin dan kemiringan yang curam di jalur menuju puncak Mahameru adalah ujian sesungguhnya. Setiap langkah ke depan terasa seperti dua langkah mundur. Angin pegunungan menderu kencang, membawa serpihan pasir yang menusuk kulit. Beberapa anggota tim mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan ekstrem. Salah seorang pendaki wanita bahkan menangis dan ingin berbalik, suaranya parau oleh isakan.
Di sinilah kekuatan Kartika benar-benar terpancar. Ia tidak membentak, tidak memaksakan kehendak. Ia justru mendekat, merangkul bahu wanita itu, dan berbisik lembut, "Kita sudah sejauh ini, Kak. Tinggal sedikit lagi. Bayangkan pemandangan dari puncak, semua lelah ini akan terbayar. Saya akan dampingi setiap langkahmu. Kita akan sampai bersama."
Kata-katanya bukan sekadar penghiburan, melainkan janji yang akan ia tepati. Ia membantu mengencangkan tali sepatunya, memberinya sedikit minuman isotonik, dan meyakinkan bahwa setiap napas adalah kemajuan.
Dengan sabar, Kartika memimpin di depan, menapakkan kaki dengan ritme teratur, memberikan contoh tentang bagaimana menapak di medan pasir yang sulit. Ia mengajarkan cara menyatukan kekuatan mental dan fisik. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan semua anggota timnya aman, memberikan isyarat dengan lambaian tangan atau anggukan kepala. Rio, yang sempat paling rapuh, kini tampak lebih bersemangat. Ia terinspirasi oleh ketangguhan Kartika. Ia melihat bukan hanya seorang pemandu, tetapi juga seorang pejuang yang gigih, seorang wanita yang mampu membawa harapan di tengah keputusasaan. Rio merasa malu dengan keluhannya di awal, dan kini bertekad untuk tidak mengecewakan Kartika.
Menjelang subuh, ketika semburat jingga mulai mewarnai langit timur, memecah kegelapan dengan gradasi warna yang memukau, mereka akhirnya tiba di puncak Mahameru. Angin dingin menusuk tulang, tetapi pemandangan yang tersaji di depan mata seolah memadamkan semua rasa sakit dan lelah. Samudra awan terhampar luas di bawah kaki mereka, dan di kejauhan, gunung-gunung lain tampak seperti gugusan pulau yang mengapung di langit. Cahaya matahari perlahan naik, menerangi kawah Jonggring Saloka yang mengepulkan asap belerang, sebuah pemandangan yang menakjubkan dan menakutkan sekaligus.
Air mata haru menetes di pipi beberapa pendaki, termasuk Rio. Mereka saling berpelukan, merayakan pencapaian ini, sebuah momen yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. Rasa bangga dan kelegaan membanjiri hati mereka. Kartika berdiri sedikit terpisah, memandang cakrawala dengan tatapan penuh makna. Baginya, puncak ini bukan hanya tentang ketinggian geografis, tetapi juga tentang ketinggian semangat. Setiap kali ia berhasil membawa orang lain mencapai puncak, ia merasa seperti menghidupkan kembali semangat ayahnya. Ia mendengar bisikan bangga dari angin yang lewat, seolah ayahnya turut merayakan setiap keberhasilannya.
Dalam keheningan puncak, di tengah hembusan angin yang membawa aroma belerang tipis, Kartika teringat lagi pesan ayahnya. Kali ini, ia menambahkan satu kalimat lagi dalam benaknya.
Gunung memang menguji seberapa kuat hati. Tapi bagi seorang wanita, gunung juga mengajarkan bahwa kekuatan tak selalu tentang otot, melainkan tentang ketabahan, kesabaran, dan kemampuan untuk membimbing orang lain mencapai impian mereka.
Ia adalah bunga edelweis di puncak Semeru. Mekar di tengah kerasnya alam, tak lekang oleh cuaca, dan selalu menjadi simbol keabadian dan semangat tak tergoyahkan. Kartika, seorang wanita kuat yang tak hanya menaklukkan puncak, tetapi juga menaklukkan keraguan, mematahkan stigma, dan menginspirasi banyak jiwa untuk menemukan kekuatan yang sama dalam diri mereka. Kisahnya adalah bukti bahwa kekuatan sejati seorang wanita melampaui batas-batas fisik, bersemayam dalam ketabahan jiwa dan keberanian untuk memimpin.