Genre: Horor Romantis
Tokoh utama: Naya & Raka
---
“Jangan pernah keluar rumah saat kabut turun. Terutama ke taman belakang.”
Itu pesan pertama yang Naya dengar dari bibinya, sesaat setelah ia pindah ke rumah tua peninggalan keluarga. Rumah itu sunyi, jauh dari kota, dikelilingi pohon pinus, dan memiliki taman tua yang entah kenapa selalu diselimuti kabut tebal setiap pukul lima sore.
Tapi hari itu... Naya melanggar.
Hatinya jenuh. Hari-harinya terlalu sepi. Ia hanya ingin duduk di taman, membaca, dan menikmati udara segar. Tapi saat kabut mulai turun, ia melihat seseorang berdiri di dekat bangku batu.
Seorang pria. Mengenakan hoodie abu-abu. Tingginya sekitar 180 cm. Dan… tampan.
“Aku Raka,” katanya tiba-tiba, suaranya dalam tapi lembut.
Naya kaget, tapi anehnya tak merasa takut. Wajah pria itu tenang, matanya teduh, dan senyumnya seolah membawa rasa aman.
Sejak hari itu, Naya kembali ke taman setiap sore. Raka selalu menunggu. Mereka berbincang, tertawa, bahkan berbagi cerita tentang kesepian.
“Aku juga sendirian di sini,” kata Raka suatu hari. “Dan kamu satu-satunya orang yang bisa melihatku.”
Naya tertawa kecil. “Maksudmu… orang lain nggak bisa lihat kamu?”
“Bisa sih. Tapi biasanya mereka lari.”
Naya menatapnya, mulai merasa ada yang janggal.
“Raka, kamu tinggal di mana?”
“Dulu aku tinggal di rumah ini. Tapi itu... lama banget.”
Raka mulai jarang menatapnya langsung. Setiap kali kabut mengental, tubuhnya terlihat samar—seolah perlahan menghilang.
Dan pada malam keempat belas, bibi Naya bicara dengan suara gemetar.
“Kamu... ketemu siapa di taman?”
“Raka.”
Bibi Naya menjatuhkan gelas di tangannya.
“Dua tahun lalu, pemilik rumah ini punya anak laki-laki. Dia ganteng, pendiam, dan suka duduk di taman saat kabut turun. Namanya Raka juga.” Bibi Naya menatap Naya dengan mata berair. “Dia... meninggal. Bunuh diri.”
Naya terdiam. Hatinya dingin, tapi air mata tak bisa dibendung.
Malam itu, Naya datang ke taman dengan satu tujuan: pamit. Ia ingin mengucapkan terima kasih, walau hatinya remuk. Tapi saat kabut turun, Raka tidak datang.
Ia menunggu sampai tubuhnya gemetar karena dingin. Tapi Raka tetap tak muncul.
Dan tepat saat Naya hendak berbalik pulang, suara itu terdengar.
“Kalau aku masih hidup, kamu mau tetap bersamaku?”
Naya membeku. Di balik kabut, Raka muncul perlahan, wajahnya tak tersenyum seperti biasa.
“Aku capek sendirian, Naya... Aku nggak pengen kamu pergi.”
Naya melangkah mundur.
“Raka... kamu harus pergi.”
Raka menatapnya dengan mata yang kini terlihat kosong. “Aku udah pergi, Naya. Tapi kamu bisa ikut.”
Seketika kabut menebal. Raka berjalan mendekat—tangannya terulur, tapi bukan untuk memeluk. Ia ingin menariknya.
Naya berlari, menangis, menabrak bangku dan ranting, hingga akhirnya keluar dari taman.
Keesokan harinya, taman itu dipasangi pagar kayu. Dan Naya? Ia pindah dari rumah itu seminggu kemudian.
Tapi hingga kini, setiap pukul lima sore, Naya masih sering menatap ke luar jendela... berharap kabut itu tidak turun.
Atau mungkin... berharap Raka akan kembali.
Karena meskipun menyeramkan—cinta pertama tetap sulit dilupakan.
Apalagi jika ia… masih menunggu.
---
🕯️ Dia yang Berdiri di Tengah Kabut – Bagian 2
Sudah dua minggu sejak Naya meninggalkan rumah tua itu. Tapi suara Raka… wajahnya… senyumnya… masih menghantui di setiap mimpi.
Yang aneh, meski ia tahu Raka bukan manusia lagi, hatinya tetap menolak melupakan.
Dan ketika malam-malamnya mulai dipenuhi bisikan samar dan pintu kamar terbuka sendiri, Naya tahu satu hal:
Raka belum benar-benar pergi.
---
Hari itu, Naya kembali ke desa. Ia ingin menutup segalanya. Membuka luka terakhir. Menemui makam Raka.
Di pemakaman tua yang sunyi, ia menemukan nisan dengan nama:
“Raka Aryasatya – 2001-2021.”
Tapi anehnya... tidak ada tanggal kematian.
Saat ia menyentuh nisan itu, hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Kabut perlahan turun, meski matahari masih tinggi.
Dan... suara itu terdengar lagi.
“Naya…”
Ia menoleh. Di ujung jalan setapak, berdiri sosok Raka. Kali ini tanpa senyum. Matanya merah, pipinya basah oleh air mata.
“Aku... bukan bunuh diri,” katanya pelan. “Seseorang membunuhku, Naya... dan aku belum bisa pergi sebelum kau tahu semuanya.”
Naya terdiam. Tenggorokannya tercekat. Langkah kakinya berat, tapi tubuhnya bergerak sendiri, mendekati sosok yang dulu ia kenal. Raka tidak lagi terlihat seperti kenangan manis—ada luka di pelipisnya, bajunya lusuh seperti belum pernah diganti sejak hari terakhirnya di dunia.
“Siapa?” suara Naya bergetar. “Siapa yang melakukannya padamu?”
Raka menunduk, kemudian menunjuk ke arah hutan kecil di belakang pemakaman.
“Mereka mengubur kebenaran di sana,” katanya lirih. “Tolong aku, Na. Hanya kau yang bisa membuka semuanya.”
Kabut makin tebal. Udara makin menggigit. Tapi Naya mengangguk, meski jantungnya berdentum tak karuan.
Ia menyusuri jalan kecil menuju hutan, mengikuti jejak samar yang tampak seperti dilalui bertahun-tahun lalu. Daun-daun kering berserakan, dan bau tanah basah menyeruak, bercampur dengan sesuatu yang lebih aneh… aroma logam—seperti darah.
Lalu, ia melihatnya.
Sebuah pondok tua, separuh runtuh. Papan kayu dipenuhi lumut, jendela pecah, dan satu pintu tergantung miring.
Naya melangkah masuk. Segalanya gelap, tapi ada satu sudut ruangan yang masih utuh—dan di sana, tertutup kain lusuh, sebuah koper tua berkarat tergeletak.
Dengan tangan gemetar, ia membuka koper itu.
Di dalamnya... buku harian.
Dengan tulisan tangan yang ia kenali sebagai milik Raka.
---
Isi Halaman Pertama:
"Jika sesuatu terjadi padaku, tolong cari Bapak. Dia menyimpan rahasia yang tak pernah diceritakan. Tentang hutang, tentang ancaman. Tentang malam itu."
---
Naya membeku. Ia ingat, ayah Raka menghilang sehari setelah pemakaman. Tak pernah kembali. Tak pernah menghubungi siapa pun.
Tiba-tiba... suara langkah kaki di belakang.
Dan suara berat yang membuat bulu kuduknya meremang.
“Kau tak seharusnya membuka itu, Naya.”
Naya menoleh cepat.
Di sana berdiri seorang pria tua—matanya cekung, wajahnya keras. Ayah Raka.
---
Ayah Raka berdiri tegak di ambang pintu yang nyaris roboh. Matanya tajam menusuk Naya, tapi ada sesuatu di sorotnya—bukan hanya kemarahan, tapi rasa bersalah yang tak tersembunyi.
“Kau... kenapa pergi?” suara Naya serak, masih memegang buku harian itu erat di dadanya. “Kau kabur setelah Raka—”
“Dibunuh,” potong pria itu, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu.”
Naya mundur selangkah. “Siapa pelakunya?”
Pria itu menghela napas panjang, kemudian berjalan perlahan masuk ke dalam pondok. Setiap langkahnya menciptakan derit kayu yang seolah ikut menjerit dalam bisu.
“Raka anak baik,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Terlalu baik. Tapi dia tahu terlalu banyak. Tentang utangku. Tentang orang-orang yang datang malam-malam menagih... dengan kekerasan.”
Naya menggenggam buku itu semakin erat. Tangannya dingin, tapi matanya tajam.
“Jadi mereka membunuh Raka?”
“Aku tak menyangka mereka akan sejauh itu…” Wajah pria itu menegang. “Malam itu... aku lihat salah satu dari mereka dorong dia dari tebing di belakang rumah. Mereka bilang kecelakaan. Tapi aku tahu… mereka ingin membuatnya diam.”
Hening sesaat. Angin masuk dari jendela pecah, membuat halaman buku harian Raka terbuka sendiri. Naya melirik—ada halaman terakhir yang belum ia lihat.
---
Halaman Terakhir:
"Jika kau menemukan ini, Naya… tolong jangan biarkan mereka bebas. Aku tak bisa pergi… selama kebenaran dikubur bersama tubuhku."
---
Air mata Naya jatuh perlahan. Ia menatap ayah Raka dengan sorot tajam.
“Lalu kenapa kau diam saja? Kenapa tak lapor polisi?”
“Apa gunanya?” katanya lirih. “Aku pengecut. Dan mereka... mereka masih ada di desa. Masih berkeliaran seolah tak terjadi apa-apa.”
Tiba-tiba, suara gemerisik dari luar. Seperti ranting diinjak.
Naya refleks menoleh. Dari balik kabut, samar-samar terlihat tiga sosok pria—berdiri diam, seperti bayangan masa lalu yang menolak tenggelam.
Ayah Raka membeku. “Itu mereka…”
“Kalau begitu,” kata Naya pelan tapi tegas, “waktunya mereka tahu aku tidak akan lari.”
Ia menyelipkan buku harian itu ke dalam jaketnya, lalu menatap lurus ke arah kabut.
Kabut mungkin bisa menyembunyikan dosa. Tapi malam ini, Naya akan jadi terang yang membakar semuanya.
---