Di tengah Aeridor, di Pegunungan Cinder yang dulunya selalu berasap dan memancarkan cahaya oranye kemerahan, kini terasa sunyi dan dingin. Udara di sana begitu tipis, seolah panas telah meninggalkan dunia. Inilah tempat takdir memanggil seorang pria dari dunia lain, Xavier.
Xavier adalah seorang arsitek yang spesialis merancang bangunan ramah lingkungan dengan sistem pendingin canggih. Hidupnya dihabiskan untuk menyeimbangkan suhu, memastikan efisiensi energi, dan menjaga agar setiap ruangan tetap sejuk dan nyaman. Api baginya adalah risiko yang harus dihindari, sebuah anomali yang mengganggu keseimbangan. Ia terbiasa berpikir logis, sistematis, dan selalu menekan emosi, menganggapnya sebagai hal yang tidak efisien, apalagi luapan amarah yang panas.
Ia terbangun di celah bebatuan dingin di kaki Pegunungan Cinder, entah bagaimana. Tangannya merasakan getaran panas yang aneh dari dalam tanah. Di pergelangan tangannya, kini terukir lambang bara api yang menyala redup, dan ia memiliki kemampuan aneh, memanipulasi api.
Awalnya, hanya percikan kecil yang tak sengaja ia ciptakan, lalu nyala api seukuran lilin, hingga ia bisa memanaskan batu di sekitarnya.
Seorang pandai besi tua dari desa terdekat, bernama Ignis, menemukan Xavier yang kedinginan dan bingung. Wajah Ignis dipenuhi kekhawatiran saat ia menjelaskan keadaan Pegunungan Cinder.
"Jantung Vulkanik yang menjaga kehangatan dan kehidupan di wilayah kami semakin dingin," suara Ignis serak.
"Asapnya menghilang, dan dingin ini... ini bukan dingin biasa. Energi Api di Aeridor kini meredup, dan hanya Penjelajah Api yang bisa menyalakannya kembali."
Ignis bercerita tentang Jantung Vulkanik, sebuah inti api purba yang dulu menyuplai energi panas ke seluruh dataran, menumbuhkan tanaman unik, dan menjaga keseimbangan cuaca.
Xavier terkejut, dirinya Penjelajah Api kah? Seseorang yang selalu menghindari panas berlebih, kini diharapkan mengendalikan api? Ia yang selalu berpikir dingin dan logis, kini harus berhadapan dengan elemen yang paling sulit dikendalikan.
Meskipun merasa skeptis dan agak takut, Xavier setuju untuk membantu. Ia mulai melatih kemampuannya di bawah bimbingan Ignis. Perlahan, ia belajar merasakan panas dari batu, memadatkan percikan api menjadi bola-bola cahaya, bahkan menciptakan perisai panas yang melindunginya dari embusan angin dingin. Ia menyadari bahwa api di Aeridor lebih dari sekadar elemen perusak. Ia adalah semangat, kekuatan pendorong, dan katalisator perubahan. Kekuatan Apinya terasa seperti emosi yang selama ini ia tekan, kini meledak bebas dalam dirinya.
Perjalanan Xavier menuju Jantung Vulkanik adalah sebuah perjuangan melawan elemen yang berlawanan dengan esensi dirinya. Ia harus melintasi Gurun Beku Bayangan, hamparan pasir yang dulunya kering dan panas, kini diselimuti salju hitam yang dingin dan sunyi. Udara terasa tipis, dan bayangan-bayangan panjang bergerak di cakrawala, bukan dari awan, melainkan dari makhluk-makhluk yang lahir dari dinginnya stagnasi api.
Saat Xavier melangkah di atas salju hitam, dua Golem Abu raksasa setinggi tiga meter muncul dari gundukan pasir yang membeku. Tubuh mereka terbuat dari abu padat, matanya memancarkan cahaya merah redup yang dingin, dan mereka bergerak lambat namun dengan kekuatan destruktif.
"Mereka penyerap panas!" teriak Ignis yang menyertainya, memberikan peringatan. Golem itu mengayunkan tangan abu mereka, mencoba menghantam Xavier, meninggalkan jejak dingin di tanah. Xavier menghindari pukulan pertama, merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia mengulurkan tangannya, mencoba memanaskan udara, namun Golem itu menyerap panasnya begitu cepat.
"Ini tidak akan berhasil dengan serangan biasa," gumam Xavier, otaknya bekerja keras mencari solusi.
Ia mengubah strateginya. Alih-alih serangan frontal, ia menciptakan bola-bola api kecil yang sangat panas, lalu menembakkannya secara bertubi-tubi ke kaki Golem Abu, bukan untuk membakar, melainkan untuk menciptakan panas terfokus yang mengganggu stabilitas mereka. Abu Golem itu mulai retak dan menguap perlahan. Saat Golem itu terhuyung, Xavier melompat mundur, kemudian dengan cepat melancarkan semburan api lebar ke arah tanah di sekitar mereka. Salju hitam mendesis, uap mengepul, dan tanah di bawah Golem itu tiba-tiba mencair, menjebak kaki mereka dalam lumpur panas. Dengan Golem yang tertahan, Xavier mengumpulkan api di kedua tangannya, memadatkan menjadi dua bola api murni yang berdenyut, lalu melemparkannya tepat ke inti dada Golem. Dengan suara "Cshhh!" yang memekakkan telinga, Golem itu ambruk, abu mereka kembali menyatu dengan Gurun Beku, meninggalkan cekungan yang menghangat di permukaan. Xavier terengah, merasakan energi panasnya terkuras habis.
Ia melanjutkan perjalanan, namun tiba-tiba merasakan hawa dingin menusuk yang lebih dalam, bukan dari luar, melainkan dari dalam dirinya, merayap ke sumsum tulang. Dari balik bukit salju, muncul Roh-roh Es, entitas kristal transparan yang bergerak seperti kabut dingin, bentuk mereka samar, namun aura dinginnya nyata. Mereka mencoba menyentuh Xavier, dan setiap sentuhan membekukan bagian tubuhnya, membuat kulitnya menjadi dingin dan kaku, seolah jiwanya membeku.
"Mereka mencoba membekukan semangatmu!" seru Ignis, cemas. Xavier merasakan ketakutan dingin mulai merayapinya, mengancam untuk memadamkan apinya. Ia teringat masa lalunya, betapa ia selalu menyembunyikan emosi, menganggapnya sebagai kelemahan, sebuah "bug" yang harus dieliminasi.
"Tidak kali ini!" Xavier berteriak, matanya berkobar, api kecil menari di pupilnya. Ia tidak menyerang dengan api membakar. Sebaliknya, ia memusatkan panas dalam dirinya, menciptakan aura panas yang membara di sekelilingnya, membuat Roh-roh Es itu tidak bisa mendekat, menolak keberadaan mereka. Ia kemudian fokus, menyalurkan energi api ke dalam dirinya sendiri, melakukan Pembersihan Diri Api, membakar rasa takut dan dingin yang mencoba merasuk ke dalam inti jiwanya. Roh-roh Es itu melengking, mundur perlahan, tidak tahan dengan semangat membara yang terpancar dari Xavier, dan akhirnya lenyap menjadi embun yang menguap. Xavier merasa lebih kuat, lebih bersemangat, apinya terasa lebih stabil, emosinya kini menjadi kekuatan, bukan beban.
Xavier akhirnya tiba di mulut Terowongan Lava Mati, jalur tersembunyi yang dulunya mengalirkan lava pijar menuju Jantung Vulkanik. Kini, terowongan itu gelap gulita, dindingnya dingin, dan hawa busuk kematian menyelimuti. Udara terasa pengap, dan setiap langkahnya menggema dalam kesunyian yang menekan.
Di sinilah ia berhadapan dengan Makhluk Asap Gelap, entitas-entitas yang terbentuk dari stagnasi dan keputusasaan, tidak memiliki bentuk solid, bergerak seperti bayangan yang mengejar panas terakhir.
Saat Xavier masuk lebih dalam, Makhluk Asap Gelap mulai muncul, meliuk-liuk dari celah-celah bebatuan, mencoba memadamkan obor di tangannya dan meredupkan cahaya lambang di pergelangan tangannya. Mereka menyerang dengan mencoba melingkari Xavier, menciptakan hawa dingin yang menghisap energi panas darinya, membuat tubuhnya terasa lemas dan pikirannya kabur.
"Mereka ingin memadamkanmu!" teriak Ignis, suaranya tegang, "Jaga apimu tetap menyala!"
Xavier mengayunkan tangannya, memancarkan gelombang panas kecil, memaksa Makhluk Asap Gelap mundur sejenak, namun mereka kembali menyerang dengan kegigihan. Ia tahu ia harus menemukan inti mereka. Dengan cepat, ia menciptakan bola api yang bersinar terang, melemparkannya ke depan sebagai penerangan. Cahaya itu menembus kegelapan, dan Xavier melihat sebuah inti kecil berwarna ungu gelap di tengah setiap Makhluk Asap Gelap—seperti bara yang hampir mati. Itu adalah titik lemah mereka. Namun, Makhluk Asap itu sangat gesit, sulit ditebak, meliuk-liuk seperti ular.
"Aku butuh lebih dari sekadar panas," gumam Xavier, teringat pelajaran Ignis tentang api sebagai perubahan, sebuah transformasi. Ia memusatkan energi apinya, mengubahnya menjadi semburan api fokus yang membakar, bukan dengan api biasa, melainkan dengan api murni yang dapat membersihkan korupsi. Ia menembakkan semburan itu secara akurat ke inti ungu gelap dari beberapa Makhluk Asap Gelap. Mereka menjerit nyaring, bayangan mereka menciut dan menghilang menjadi udara dingin. Namun, jumlah mereka masih banyak, terus mengerumuninya, mengancam untuk menelannya dalam kegelapan.
Satu Makhluk Asap Gelap yang licik melesat cepat dari samping, berhasil melingkari Xavier, mencekiknya. Dingin yang mencekik merayapi tubuhnya, api di tangannya nyaris padam, kesadaran Xavier mulai meredup.
"Tidak! Aku tidak akan padam!" teriak Xavier, dengan sisa tenaga, ia membiarkan amarah dan tekadnya menyala, api batinnya berkobar dahsyat. Ia memusatkan api ke seluruh tubuhnya, menciptakan Ledakan Panas Murni dari dalam dirinya, memusnahkan stagnasi yang melingkarinya. Makhluk Asap itu menjerit, mundur, dan buyar menjadi ketiadaan. Dengan jalan yang kini bersih, Xavier bergegas maju, merasakan denyut lemah dari Jantung Vulkanik yang menunggunya, sebuah harapan yang membimbingnya di kegelapan.
Akhirnya, Xavier tiba di sebuah ruangan besar di jantung Gunung Cinder. Di tengahnya, tergeletak sebuah bebatuan raksasa yang dulunya memancarkan cahaya oranye kemerahan, kini hanya batu hitam dingin yang nyaris tanpa kehidupan. Inilah Jantung Vulkanik. Xavier mendekatinya dengan langkah ragu namun penuh tekad, menyentuhnya. Rasa dingin yang menusuk tulang menjalar, dinginnya keputusasaan dan api yang mati, sebuah kehampaan yang terasa abadi. Ia menutup mata, menyalurkan seluruh energi api yang ia miliki, tidak hanya sekadar memanipulasi, tapi mentransfer esensi dirinya. Ia membayangkan kota-kota asalnya yang terang benderang, panas mesin yang menggerakkan segalanya, setiap percikan listrik yang pernah ia lihat. Ia membiarkan energi elemen Api dalam dirinya mengalir bebas, tak terbatas, menyatu dengan Jantung Vulkanik, sebuah pengorbanan yang terasa seperti pembebasan.
Perlahan, bebatuan itu mulai bergetar. Retakan-retakan kecil muncul, dan dari dalamnya, cahaya oranye kemerahan mulai berpendar. Panas mulai menyebar, semakin kuat, semakin membara, hingga Jantung Vulkanik itu kembali memancarkan cahaya terang yang mengisi seluruh ruangan, menghalau bayangan yang telah lama bersemayam. Gelombang panas menyebar ke seluruh Pegunungan Cinder, mencairkan salju hitam, menghangatkan udara, dan membangunkan kembali kehidupan yang telah lama beku. Api kehidupan kembali menari di lanskap yang dulu sunyi.
Ignis muncul di sampingnya, wajahnya bercahaya oleh pantulan api yang hidup, air mata kelegaan membasahi pipinya yang tua.
"Kau berhasil, Penjelajah Api!" seru Ignis, suaranya dipenuhi kekaguman.
"Kau telah menyalakan kembali semangat Aeridor!" Xavier tersenyum tipis, kelelahan, namun puas yang mendalam. Ia merasa ada perubahan dalam dirinya. Bukan hanya ia menyelamatkan sebuah dunia, tapi ia juga menemukan bagian dari dirinya yang selama ini ia tekan—semangat membara yang mampu mengatasi dinginnya ketakutan dan keraguan. Ia, seorang arsitek yang kaku, kini adalah nyala api yang hidup.
"Apa yang akan aku lakukan sekarang?" tanya Xavier, merasakan energi api dalam dirinya kini terasa stabil dan kuat, sebuah harmoni yang belum pernah ia bayangkan. Ia tak lagi merasakan dorongan untuk kembali ke dunia lamanya, ke kehidupan yang terasa dingin dan penuh kalkulasi. Panas Aeridor telah meresap ke dalam dirinya, membangunkan sesuatu yang tak ia tahu ada.
Ignis menatapnya dengan tatapan penuh arti, bukan lagi sebagai tetua yang meminta pertolongan, melainkan sebagai sesama penjaga.
"Jantung Vulkanik telah pulih. Namun, keseimbangan ini rapuh. Ada kekuatan yang lebih besar yang bekerja di balik layar, menguras esensi dari setiap elemen." Ignis berhenti sejenak, wajahnya mengeras.
"Tugasmu kini adalah menjaga api ini tetap menyala, bukan hanya di Jantung Vulkanik, tapi di setiap hati yang pernah meredup. Jadilah lentera, Xavier."
Xavier mengangguk paham. Ia melangkah keluar dari Kuil Api, berdiri di puncak Pegunungan Cinder. Angin hangat membelai wajahnya, membawa serta aroma belerang dan kehidupan baru yang membara. Ia mengangkat tangannya, dan kobaran api kecil yang terkendali melayang ke atas, menari-nari di udara, memantulkan cahaya matahari yang kini terasa lebih hangat dan bersahaja. Ini bukan lagi sekadar pekerjaan atau hobi yang ia hindari. Ini adalah takdirnya. Ia adalah sang semangat itu sendiri, seorang arsitek yang kini membangun fondasi harapan dengan kobaran api.
Xavier kini tahu, ia bukan hanya Penjelajah Api. Ia adalah penjaga nyala yang baru, menanti untuk menghadapi ancaman yang lebih besar, ancaman yang kini mulai ia rasakan denyut gelapnya di kejauhan.