Jendela kelas 11-B selalu menjadi panggung utamaku. Bukan untuk melihat pemandangan luar sana, tapi untuk mengamati dunia di dalamnya. Aku, Anya, si "gadis introvert" yang hampir tak terlihat, punya kebiasaan aneh - mengamati Gilang.
Gilang itu… seperti magnet, seperti oppa oppa dalam sebuah drama korea yang sering kutonton. Dia tidak banyak bicara, tapi selalu dikelilingi teman-teman. Senyumnya tipis, lebih sering muncul saat mengobrol dengan Ryan, sahabat lamaku. Rambutnya agak berantakan, tapi entah kenapa itu justru menambah pesonanya. Dia selalu membawa buku tebal, entah buku apa, dan sering terlihat termenung menatap papan tulis, bahkan saat guru sedang menjelaskan.
Cinta pertamaku ini bersemi dengan cara yang paling klise, pada sore yang diguyur gerimis, setelah les tambahan. Aku panik saat tasku terbuka dan buku-buku Fisika serta Kimia kesayanganku meluncur bebas, mendarat tepat di genangan air lorong sekolah yang sepi. Hatiku mencelos. Saat itulah, sebuah bayangan menghampiri. Gilang. Tanpa ragu, dia berjongkok, membantuku memunguti buku-buku yang basah, bahkan mengelap jejak lumpur di sampulnya dengan sapu tangannya.
"Lain kali hati-hati," katanya, suaranya pelan, dalam namun menenangkan, di tengah rintik hujan yang membuat basah. Aku hanya bisa mengangguk, terlalu malu dan terkejut untuk mengucapkan terima kasih. Wajahku pasti sudah semerah tomat.
Sejak saat itu, Gilang bukan lagi sekadar teman Ryan. Dia menjadi… seseorang. Seseorang yang seringkali mengisi ruang kosong di benakku.
Kini, setiap pagi, degup jantungku akan berpacu saat melihat punggungnya saja di koridor. Aku akan berpura-pura membaca buku atau mengikat tali sepatu, hanya agar bisa mencuri pandang lebih lama. Di kelas, aku mencoba keras untuk tidak melirik ke bangkunya, tapi mataku seringkali memberontak, mencuri pandang ke arah rambutnya yang sedikit berantakan atau tangannya yang sedang menulis di buku catatan.
Pernah suatu kali, saat pelajaran Kimia, guruku memintaku maju untuk mengerjakan soal di papan tulis. Kakiku terasa lemas. Jujur, aku benci menjadi pusat perhatian. Tapi ya mau bagaimana lagi, aku pun beranjak dan mengerjakan soal pelan. Saat menulis jawaban, ujung mataku menangkap Gilang yang sedang menatapku. Bukan tatapan aneh, hanya… tatapan biasa, tapi entah mengapa membuatku merasa seluruh darahku naik ke pipi. Ketika selesai, aku buru-buru kembali ke bangku. Tak peduli benar atau tidaknya jawabanku.
Aku tahu ini konyol. Kami nyaris tidak pernah berbicara, kecuali insiden buku basah itu. Tapi, setiap kali dia tersenyum padaku di koridor, meskipun itu hanya senyum tipis yang entah untuk siapa, hatiku akan berdesir. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku. Aku selalu berpikir, "Apakah dia menyadariku?"
Hingga suatu siang, saat jam istirahat, aku sedang sendirian di perpustakaan, asyik membaca novel. Tiba-tiba, sebuah kursi di depanku bergeser. Aku mendongak, dan hampir saja menjatuhkan buku. Gilang. Dia duduk di sana, dengan buku tebal di tangannya.
"Baca apa?" tanyanya pelan.
Aku tergagap. "Emm… ini, novel fantasi."
Dia mengangguk. "Kedengaran menarik."
Ada keheningan. Aku tidak tahu harus bicara apa. Ini pertama kalinya kami berdua bicara secara langsung, di luar insiden buku. Aku merasa canggung, tapi juga… bahagia.
Gilang lalu membuka bukunya, dan kami tenggelam dalam bacaan masing-masing. Perpustakaan yang biasanya hening, siang itu terasa berbeda. Ada semacam aura hangat yang menyelimutiku. Aku sering mencuri pandang ke arahnya. Dia terlihat serius, sesekali mengernyitkan dahi. Bukunya bacaan yang berat kah?
Saat itu aku mulai berpikir, mungkin, cinta pertamaku ini tak akan pernah terucap. Mungkin, ini hanya akan menjadi rahasia kecilku yang manis. Tapi, duduk berdua dengannya di perpustakaan, berbagi keheningan yang nyaman, di bawah tatapan jendela yang mengawasi, rasanya sudah lebih dari cukup.
Tapi aku juga punya firasat, ini baru permulaan dari sebuah cerita yang mungkin tak terduga.