Ailea tumbuh di dalam dunia yang retak—ayah yang kejam, ibu yang menghilang dalam pengkhianatan, dan saudara yang berubah menjadi bayangan kelam. Hidupnya penuh luka yang tak terlihat, disimpan rapat hingga membuatnya hancur perlahan. Ia belajar untuk bertahan, bukan untuk hidup... tapi agar tidak sepenuhnya mati.
Saat takdir mempertemukannya dengan Raka—pria misterius yang juga membawa luka masa lalu—Ailea mendapati sebuah ruang aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kenyataan kembali menyayat ketika masa lalu menuntutnya untuk bangkit, bukan sebagai gadis yang lemah, tapi sebagai perempuan yang tahu caranya membalas.
Dibimbing oleh kasih, dikuatkan oleh dendam, Ailea merangkai rencana. Bukan hanya untuk memulihkan dirinya, tapi untuk menghukum mereka—semua yang pernah menginjak harga dirinya. Saat senyumnya kembali tumbuh, begitu pula ketegasannya: bahwa mereka yang membuatnya hampir mati... akan mencicipi rasa kehilangan yang lebih dalam
Chapter 1
Ailea tumbuh dari rumah yang tak pernah memeluknya.
Kedua orang tuanya hadir, tapi tak benar-benar ada. Ayahnya sibuk bekerja, ibunya sibuk dengan urusan nya. Sementara di rumah itu, satu suara selalu lebih keras dari yang lain — suara kakak laki-lakinya, yang seringkali bukan hanya bicara dengan kata, tapi dengan tangan. Tak ada yang tahu. Tak ada yang mau tahu tentang apa yang ia rasakan
“Jangan lebay, cengeng!”
“Cuma tamparan. Biasa aja Lo harus nya sadar papa sama mama selalu sibuk kerja karena Lo
Karena Lo itu beban di keluarga kita "
Itu kata-kata yang ia telan sejak kecil. Dan kata-kata itu juga yang tumbuh jadi dendam — perlahan, diam-diam, seperti racun yang tak berbau.
Saat ia remaja, Ailea terpaksa pergi mencari kehidupan layak yang harus ia hadapi sendiri Tak seorang pun tahu ke mana. Tapi hidup, walau kejam, masih menyisakan satu malaikat berbaju putih — seorang dokter paruh baya yang melihat bukan hanya fisik Ailea, tapi jiwanya yang rapuh. Ia tak banyak tanya. Ia hanya menemani, dan menyelamatkan gadis itu
Tahun-tahun berlalu. Ailea berubah. Ia kini adalah wanita dewasa yang cantik, dan sudah berdiri di atas semua yang pernah menjatuhkannya. Harta, kekuasaan, ketenangan — ia punya. Tapi satu hal belum selesai: luka lama seakan racun yang sulit mencari penawar nya
Hari itu, ia pulang. Bukan karena rindu, tapi karena ingin tahu... apakah rumah itu masih bisa di sebut rumah?
Dan di situlah semuanya meledak.
Ia menyaksikan ayahnya tengah berdebat hebat dengan sang kakak — lelaki yang dulu selalu menyakitinya diam-diam. Ailea tak bisa diam. Ia melangkah maju, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menampar lelaki itu .
" Lo! Berani muncul di depan gue "
Semua tercengang. ayahnya, bahkan ibunya hanya bisa mematung melihat kedatangan putri nya setelah beberapa tahun
" Lea"
Tapi dendam tidak pernah tahu batas. Kakaknya, dalam kemarahan buta, meraih pisau dapur. Dan sebelum siapa pun sempat menahan…
Srak.
Pisau itu menembus tubuh Ailea.
Darah. Jerit. Tangis.
Tubuh Ailea jatuh ke lantai, di pelukan ibunya — yang selama ini tak pernah memeluk.
Dan dalam hitungan menit, dokter paruh baya itu muncul. Dengan tatapan yang tak terbaca dan anak buah di belakangnya, ia mengangkat tubuh Ailea tanpa izin siapa pun dan membawanya pergi saat semua orang di sana berusaha menahan nya
🌘 Satu Bulan Kemudian...
Rumah besar itu sunyi.
Di salah satu ruangan yang selalu terkunci, tubuh Ailea terbaring — penuh alat medis. Nyawanya menggantung, koma dalam keheningan panjang.
Di lantai atas, seorang lelaki muda berdiri dengan mata tajam. Ia tampan, dingin, dan dikenal sebagai "Tuan Muda" — anak tunggal dari sang dokter. Tapi malam itu, ia gelisah.
Ia berjalan perlahan, mengintip ke arah ruangan yang selalu dilarang ayahnya untuk ia masuki.
Semua suster tertidur. Ajudan tak berjag malam itu.
Dan untuk pertama kalinya, ia diam diam membuka pintu itu.
Cahaya lembut menyinari wajah seseorang di atas ranjang. Seorang gadis yang terlihat lebih muda dari dirinya, dengan selang dan infus yang menyambung hidupnya.
Matanya membelalak.
Dadanya tiba tiba terasa sesak.
Ia tak kenal siapa gadis itu. Tapi hatinya, entah kenapa... merasa terguncang.
Sebelum sempat melangkah lebih dekat, ia mendengar suara langkah kaki dari belakang yang membuat nya sedikit terkejut.
“Raka…” suara berat ayahnya membuatnya terpaku.
Ia menoleh.
Lelaki paruh baya itu menatapnya tenang. Tapi kali ini, di matanya ada sesuatu yang berbeda. Bukan kemarahan. Tapi seolah berkata:
"Kamu harus tahu. Tapi belum sekarang."
Chapter 2
Raka menoleh cepat saat suara langkah berat itu menghentikan pikirannya.
Ayahnya berdiri di ambang pintu, sorot matanya tak biasa. Tenang tapi menyimpan sesuatu — seperti debu luka yang belum pernah tersapu habis.
“Ayah… apa maksudnya?” tanya Raka dengan nada tajam. Jarinya menunjuk gadis itu, yang masih terbaring diam di tengah bunyi alat-alat medis.
“Raka, ayah sudah bilang… jangan dekati ruangan ini.”
“Tapi kenapa, hah?! Siapa dia?! Kenapa dia ada di rumah kita?!”
Suara Raka meninggi. Matanya menyala. “Ayah tahu, Raka benci ada orang asing di rumah ini! Kalau ayah gak bisa jelasin, Raka keluar!”
Ia berbalik, siap melangkah pergi.
Tapi kalimat ayahnya menembus punggungnya seperti panah:
> “Dia... gadis yang pernah ayah ceritakan padamu, Raka.”
Langkahnya terhenti.
Ayahnya menatap jauh ke arah tempat Ailea terbaring, seolah melihat masa lalu yang tak selesai.
> “Dia gadis yang dulu sering kamu lihat di rumah sakit... gadis yang kamu tanya diam-diam siapa namanya. Yang kamu bilang matanya mirip langit habis hujan.”
Raka mengernyit, perlahan menoleh. Kenangan samar mulai menari di pikirannya — seorang gadis kecil dengan tatapan kosong yang duduk di ruang tunggu psikiatri… senyap… hancur.
> “Ayah kira… saat itu, keluarganya bisa berubah. Bisa menyayanginya kembali. Tapi ayah salah… karena membiarkan dia pergi sendiri. Dan sekarang, dia kembali... tapi nyawanya hampir tak bisa diselamatkan.”
Ayahnya menunduk sesaat. Suaranya bergetar, untuk pertama kalinya.
> “Kalau kamu suruh dia pergi, Raka... maka ayah harus cari tempat lain. Tempat yang lebih aman dari dunia yang dulu nyakitin dia.”
Raka terdiam. Hatinya dingin, tapi ada sesuatu yang mulai mencair di sana.
Ia tak berkata apa-apa. Hanya menatap ayahnya, lalu berbalik dan pergi dengan langkah berat.
Ayahnya menarik napas pelan. Di dalam dirinya, ada secuil kelegaan. Ia tahu, jika Raka memilih diam… itu berarti pikirannya sedang bergulat. Dan itu lebih baik daripada menolak sepenuhnya
🌙 Malam pun datang...
Di dalam kamar, Raka berdiri di balik tirai. Menatap langit malam sambil menggenggam erat sesuatu — sebuah kalung kecil. Kalung yang pernah ia temukan jatuh di lantai rumah sakit, bertahun-tahun lalu.
Inisial di sana: "A. R."
Ia tak pernah tahu siapa pemiliknya. Tapi malam ini, hatinya berbisik sesuatu yang tak bisa ia bantah:
Chapter 3
Bangunan megah itu berdiri dengan kokohnya, tempat Raka mengatur puluhan orang di bawah tangannya. Ia muda, tampan, cerdas — dan tak banyak bicara. Di sekitarnya, beberapa teman dekat tertawa dan menggoda seperti biasa.
"Rak, serius deh... Lo nggak bosen jomblo terus?” ujar Kenzo sambil menyikut pelan.
“Kali ini beneran, ceweknya cantik, lembut, smart. Tipe lo banget.”
Raka hanya tersenyum kecil — senyum yang menggantung di bibir, tapi tak pernah menyentuh mata.
“gue nggk tertarik,” jawabnya pelan.
Semua orang tahu, Raka memang seperti itu. Tak satu pun wanita pernah benar-benar mampu mendekat ke hatinya. Bukan karena sombong. Tapi karena hatinya masih menyimpan satu ruang yang belum bisa ditempati siapa pun... selain mendiang ibunya.
Tak lama, ia pamit. Meninggalkan rekan-rekannya, ia melangkah keluar menuju mobilnya yang sunyi. Dalam perjalanan pulang, ia berhenti sejenak di toko bunga kecil — mengambil setangkai mawar putih dan satu mawar merah.
"Bunda suka mawar putih," bisiknya.
Ia lalu berkendara menuju tempat yang selalu ia kunjungi diam-diam — sebuah makam dengan batu nisan marmer abu-abu, dikelilingi rumput yang rapi dan wangi hujan yang masih tersisa.
Raka berjongkok. Tangannya menyentuh nisan itu perlahan.
> “Bunda... Raka datang,” suaranya nyaris pecah.
“Raka juga bawain bunga. Maaf ya, cuma dua tangkai. Tapi Raka ingat banget, bunda suka wangi yang ini.”
Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya kalimat itu meluncur pelan dari bibirnya:
> “Raka kangen banget sama Bunda. Sekarang umur Raka 26 tahun... Tapi maaf ya, Rak belum bisa bawain wanita yang seperti Bunda minta...”
Hening.
Angin menerpa pelan, seperti belaian halus dari seseorang yang pernah begitu lembut.
Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya jatuh juga.
> “Raka selalu ingat pesan Bunda,” bisiknya lirih.
“Lihatlah wanita dari matanya... Jika matanya penuh luka, maka ia tahu rasanya kehilangan. Temani dia, cintai dia, dan kalian akan sembuh bersama.”
Dan kini, pesan itu kembali terngiang lebih keras dari sebelumnya.
Mata itu... Apakah seperti matanya
Yang bahkan dalam tidurnya yang koma, masih terlihat menyimpan luka dunia.
Raka memejamkan mata.
Mungkin...
Mungkin saat ini bukan waktunya menolak.
Mungkin... Bunda sedang menunjukkan jalannya.
Chapter 4 luka lama
Hari itu langit mendung, dan hujan turun seperti pelan-pelan ingin meluruhkan sesuatu dari dalam dada.
Setelah beberapa hari pergi untuk urusan pekerjaan, Raka akhirnya kembali ke rumahnya—rumah besar yang kini terasa sedikit berbeda. Ayahnya menyambutnya dengan satu kalimat sederhana, namun cukup untuk mengubah arah hari itu:
> “Ayah harus tugas luar kota beberapa hari. Jadi... tolong jaga gadis itu untuk sementara.”
Raka tak langsung menjawab. Hanya mengangguk singkat sebelum melangkah menuju ruangan yang telah lama ia hindari.
Sudah hampir dua bulan, dan Gadis itu masih terbaring di sana. Sunyi. Diam.
Tubuhnya dikelilingi alat medis, wajahnya pucat seperti mimpi yang ditinggalkan pagi-pagi. Beberapa bekas luka masih tersisa—terlalu dalam untuk sembuh secepat waktu berlalu.
Raka membuka tirai. Cahaya lembut masuk dan menyapu wajah gadis yang tak bergerak sedikit pun
Ia mendekat, pelan, seolah takut mengganggu.
> “Apa hidup sesulit itu... sampai Lo selemah ini ?” ucap nya lirih.
Ia mengangkat tangan, menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah gadis itu Sentuhan itu terasa asing bagi Raka, namun anehnya... tidak menolak.
Lalu, suara pelan memecah keheningan.
“Tuan muda…” panggil seorang suster, masuk dengan beberapa perban di tangannya.
Raka menoleh cepat.
“Ada apa?”
“Saya mau mengganti perban nona ailea.”
Hening sejenak. Lalu...
> “Biar saya aja.”
Semua orang di ruangan itu saling pandang.
Raka? Menyentuh wanita? Merawat luka?
Tapi Raka tak peduli. Ia berjalan pelan, mengambil perban dari tangan sang suster.
“Luka yang mana?” tanyanya singkat.
“Di... di pergelangan tangannya, Tuan Muda.”
Raka mengangguk, lalu perlahan membuka perban lama yang menutupi pergelangan tangan Ailea.
Dan saat ia melihat apa yang tersembunyi di baliknya...
Deg.
Nafasnya tercekat.
Di sana — beberapa goresan panjang. Luka yang bukan karena satu kejadian, tapi karena keputusan berulang. Luka karena tak kuat, karena ingin menghilang.
Luka...
Yang pernah ia lihat di pergelangan tangan bundanya.
Luka...
Yang dulu gagal ia pahami, hingga akhirnya membawa ibunya pergi selamanya.
Tangannya gemetar. Tapi ia segera melilitkan perban baru dengan cepat — lebih cepat dari emosinya yang mulai meledak di dada.
Tanpa sepatah kata, Raka berdiri dan keluar dari ruangan.
Suster dan pembantu hanya bisa saling pandang, terdiam.
Belum pernah mereka melihat wajah Raka setegang tadi.
Dan belum pernah mereka menyaksikan, dalam keheningan itu... seorang lelaki yang tampak kuat, sedang dihadapkan pada bayang-bayang luka lama yang baru saja ia temukan kembali — di tubuh seseorang yang tak ia sangka bisa membuatnya peduli.
Chapter 5 perlahan membuka hati
Hari itu, kantor terasa lebih dingin dari biasanya.
Raka duduk di ruangannya, menatap layar namun pikirannya berkelana jauh—menuju sepasang pergelangan tangan yang penuh goresan... dan mata yang masih tertutup dalam diam.
“Woy, lo mikirin apa sih?”
Suara Kenzo memecah lamunannya, membuat Raka tersentak ringan.
“Nggak ada,” jawabnya cepat.
“Tumben lo belum pulang. Betah juga seharian di kantor. Nih liat, udah mau malam…”
Raka hanya menatap jam tanpa ekspresi.
“Gue tau.”
“Yaudah, bos... kita cabut duluan.”
“Hm.”
Setelah suara langkah teman-temannya menjauh, sunyi kembali merayap. Tapi hanya sebentar, sebelum dering telepon memecahkan kesunyian seperti dentang lonceng di pemakaman.
Layar menunjukkan: “Rumah.”
Tempat yang jarang sekali menghubunginya.
Beberapa kali ia biarkan berdering. Tapi pada panggilan kelima, hatinya tak bisa lagi menolak.
> “Kenapa?”
Suara di seberang terdengar panik.
> “Tuan muda… maaf mengganggu. Tapi… nona semakin kritis. Keadaannya memburuk. Kami sudah hubungi tuan besar, tapi tidak aktif…”
Kalimat itu seperti pisau.
Raka langsung meraih jas, dan dalam hitungan menit, mobilnya melaju secepat guncangan hatinya.
---
Sesampainya di rumah, suasana sudah kacau.
Beberapa suster panik. Seorang pria paruh baya—dokter pengganti ayahnya—berdiri dengan ekspresi berat di samping tempat tidur Ailea. Layar monitor memperlihatkan denyut jantung yang makin menurun.
“Om... gimana keadaannya?”
Sang dokter hanya menghela napas.
> “Om sudah melakukan semua yang bisa om lakukan, Raka. Tapi sekarang... hanya Tuhan yang bisa menyelamatkannya.”
Raka memalingkan wajah, menatap tubuh Ailea yang tampak begitu lemah. Napasnya hampir tak terdengar, dan tangan gadis itu seputih kapas, sedingin salju yang pernah jatuh di hari pemakaman bundanya dulu.
Saat ruangan ditinggalkan, Raka berjalan mendekat. Ia duduk di kursi di samping tempat tidur. Suaranya pelan, tapi menusuk:
> “Apa Tuhan itu memang adil… bahkan belum beri Lo kesempatan untuk merasakan sedikit ke bahagia?”
Tangannya pun perlahan menggenggam tangan gadis itu yang terasa semakin dingin.
> “Apa lo selemah itu… sampai nyerah gini?”
Ia menarik napas, lalu meraih sisir kecil di meja.
Perlahan... ia menyisir rambut Ailea. Lembut. Hati-hati.
Seolah sedang menyisir ingatannya sendiri — tentang ibu yang dulu tersenyum walau jiwanya sudah retak.
> “Gue yakin Tuhan nggak akan nerima lo... kalau lo nyerah segampang ini,” bisiknya tajam, tapi suaranya gemetar.
Beberapa hari terakhir, ia terpaksa merawat gadis ini—gadis yang bahkan tak ia kenal saat sadar. Tapi anehnya, ada bagian dari dirinya yang mulai merasa... akrab. Seolah dalam diam, mereka mulai saling mengenal, tanpa kata.
---
🌤️ Esoknya...
Raka kembali ke kantor. Matanya sembab, namun ia tetap bekerja. Beberapa berkas terbuka di hadapannya, tapi pikirannya masih tertinggal — di ruangan itu, di tubuh lemah yang masih bertahan.
Sementara itu, ayahnya telah kembali dari luar kota. Langkahnya cepat menuju kamar Ailea.
Di sana... detak jantung masih terpampang lemah. Tapi belum hilang.
Belum mati.
Masih ada waktu.
Masih ada harapan.