Bab 1: Rumah yang Bukan Rumah
Aku masih ingat jelas hari pertama menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah besar, dinding putih gading yang dingin, dan aroma melati dari vas bunga buatan yang dipajang di sudut ruang tamu.
Aku memanggilnya "Mama" sejak hari pertama menikah dengan Damar. Mertua perempuanku, wanita anggun berbalut kebaya modern, bibirnya merah menyala, matanya tajam, menyapu seluruh penampilanku dari ujung jilbab hingga ujung sepatu.
Dan dari tatapannya, aku tahu aku tidak disukainya.
“Mama harap kamu bisa jaga Damar baik-baik. Dia anak Mama satu-satunya,” katanya dengan suara datar saat kami baru saja datang dari resepsi.
Aku hanya tersenyum sopan.
“Iya, Ma. Insya Allah, saya akan jaga Damar sebaik mungkin.”
Namun ternyata, menjaga Damar saja tak cukup.
Bab 2: Menantu Tak Dianggap
Pagi-pagi aku bangun, membantu asisten rumah tangga memasak di dapur. Tapi setiap kali aku memegang spatula atau mencoba menyentuh rice cooker, Mama sudah berdiri di ambang pintu dapur.
“Tak usah repot-repot. Ini rumah Mama. Mama yang atur semuanya,” katanya.
Aku mundur pelan. Tersenyum lagi. Tapi hatiku perih.
Damar tidak pernah membelaku. Dia hanya berkata, “Mama emang gitu, sabar aja ya, Sayang.”
Setiap keputusan dalam hidup kami, harus lewat restu Mama. Saat aku ingin melamar kerja di perusahaan farmasi—pekerjaan impianku sejak kuliah—Mama berkata:
“Nanti siapa yang urus rumah? Kamu kan perempuan.” ke
Dan Damar setuju.
“Lagipula gaji aku cukup, kamu di rumah aja ya.”
Bab 3: Anak Itu Tak Diinginkan
Tahun pertama pernikahan kami, aku hamil. Aku bahagia, menangis dalam
pelukan Damar. Tapi ketika kami memberi kabar itu ke Mama, ekspresinya datar.
“Cepat banget,” katanya sambil menyeruput teh. “Padahal Mama belum siap jadi nenek.”
Aku terdiam. Tak ada ucapan selamat, tak ada pelukan. Hanya komentar dingin yang menusuk dada.
Kehamilanku tidak mudah. Aku sering muntah, lemas, pingsan. Tapi Mama tetap memaksaku menyiapkan makanan untuk Damar, membersihkan kamarnya, mencuci bajunya.
“Asisten Mama itu buat bantu Mama, bukan kamu,” katanya saat aku meminta bantuan.
Di malam-malam penuh kontraksi, Damar tak bisa mendampingiku karena harus lembur. Dan Mama hanya menyuruhku “jangan lebay” saat aku meringis menahan nyeri.
Aku melahirkan sendirian, hanya ditemani suster. Damar menyusul belakangan. Mama? Dia bahkan tidak datang ke rumah sakit.
Bab 4: Luka yang Tak Terlihat
Anakku, Nafisa, tumbuh jadi bayi manis. Tapi Mama memperlakukannya dingin. Tak pernah digendong, tak pernah diciumi seperti nenek pada umumnya.
“Wajahnya mirip kamu. Sayang, tak ada turunan Damar sedikit pun,” katanya suatu hari.
Setiap kalimatnya seperti peluru. Kadang aku bertanya-tanya, apa dosaku sebenarnya? Aku wanita sederhana, bukan dari keluarga kaya, tapi aku mencintai Damar dengan sepenuh hati.
Tapi cintaku tak cukup untuk membuat Mama melihatku sebagai keluarga.
Bab 5: Di Antara Dua Dunia
Hubunganku dengan Damar mulai berubah. Dia makin sibuk, makin jarang pulang. Kalau pun pulang, waktunya habis dengan Mama.
“Mama butuh ditemenin. Dia udah tua, Sayang,” katanya.
Sedangkan aku? Baru jadi ibu, kesepian, kelelahan, terluka.
Suatu malam, aku mencoba bicara dari hati ke hati dengan Damar.
“Dam, kenapa sih Mama selalu nyakitin aku?”
Dia menatapku sebentar, lalu menghela napas.
“Kamu aja yang terlalu sensitif. Mama itu keras orangnya, tapi dia baik. Kamu harus bisa terima itu.”
Dan malam itu, aku tahu—aku sendirian.
Bab 6: Perang Dingin
Suatu sore, Mama memanggilku ke ruang makan.
“Duduk,” katanya singkat.
Aku duduk, Nafisa di pangkuanku.
Mama menggeser selembar kertas.
“Kamu tahu, Damar bisa dapat perempuan yang lebih baik dari kamu. Tapi karena dia sudah nikah, ya Mama terima. Tapi Mama gak bisa lihat kamu terus di sini.”
Aku menahan napas.
“Apa maksud Mama?”
Mama menatap lurus ke arahku.
“Kalau kamu masih pengen tinggal di rumah ini, ikuti aturan Mama. Kalau enggak, kamu silakan pergi.”
Hatiku seperti dibelah. Aku tak bisa keluar—aku tak punya siapa-siapa. Ibuku meninggal saat aku SMP. Ayahku menikah lagi dan tak pernah benar-benar peduli.
Bab 7: Titik Balik
Hari itu, Nafisa demam tinggi. Aku panik. Damar tak bisa dihubungi. Aku minta tolong Mama untuk mengantar ke dokter, tapi ia hanya berkata:
“Pakai ojek online aja. Kamu bisa urus sendiri.”
Dengan tubuh lelah dan air mata tertahan, aku menggendong Nafisa dan berjalan ke klinik.
Di ruang tunggu, Nafisa muntah di bajuku. Aku tak peduli, aku hanya ingin anakku sembuh.
Dokter bilang, Nafisa terkena infeksi karena kelelahan. Aku merasa gagal sebagai ibu.
Malam itu aku menangis, menggigit ujung bantal agar isak tangisku tak terdengar. Dan di sanalah, aku mulai membangun kekuatan baru.
Bab 8: Menjadi Perempuan yang Berdiri
Besoknya aku bangun lebih awal. Aku cari lowongan kerja lewat HP jadulku. Aku apply ke toko buku, butik online, bahkan jadi admin sosial media.
Dan akhirnya, aku diterima jadi staf online shop milik teman SMA yang kini sukses. Kerjanya dari rumah. Gajinya kecil, tapi cukup buat beli susu Nafisa sendiri.
Aku mulai menabung, diam-diam. Aku tak cerita ke siapa pun, bahkan ke Damar.
Bab 9: Api yang Tak Terhindarkan
Suatu hari, Mama menemukan catatan rekeningku.
“Kamu kerja?” katanya tajam.
“Iya, Ma. Di rumah kok. Jualan online.”
Dia menggebrak meja.
“Kamu itu gak tahu diri! Kamu tinggal di rumah ini, makan pakai duit Damar, tapi sok-sokan cari uang sendiri. Apa kamu malu jadi istri anak Mama?”
Aku berdiri. Untuk pertama kalinya aku menatap matanya tanpa takut.
“Saya malu... karena saya bukan bagian dari keluarga ini, Ma.”
Dan aku pergi. Membawa Nafisa.
Bab 10: Jalan Pulang
Aku pindah ke kontrakan kecil. Dua kamar, sempit, tapi penuh kebebasan. Nafisa tertawa lebih sering, dan aku merasa lebih hidup.
Damar mencariku. Dia datang tiga hari kemudian. Wajahnya kusut.
“Kenapa kamu pergi?”
Aku tersenyum tipis.
“Karena aku ingin jadi istri, bukan tahanan.”
Dia mengelus kepala Nafisa, lalu menatapku.
“Aku gak pernah tahu Mama sebegitu kerasnya ke kamu…”
Aku menarik napas panjang.
“Kamu tahu. Tapi kamu diam.”
Bab 11: Akhir yang Tidak Sempurna
Mama datang ke kontrakanku. Pakaiannya tetap rapi, makeup tetap sempurna.
“Damar maksa Mama ke sini,” katanya singkat.
Aku menatapnya. Nafisa bermain di pojok ruangan dengan boneka.
“Mama gak pernah suka aku, kan?”
Dia diam. Lalu, pelan-pelan berkata,
“Karena kamu bukan pilihan Mama. Kamu bukan dari keluarga berada. Mama takut kamu cuma numpang hidup.”
Aku tertawa lirih.
“Lucu. Karena nyatanya saya justru harus bertahan hidup dari sikap Mama.”
Dia terdiam. Lalu berkata pelan,
“Mungkin Mama salah. Tapi... susah buat Mama mengakui itu.”
Bab 12: Damai yang Retak
Damar memutuskan kami pindah. Rumah kecil, jauh dari rumah Mama. Tapi setiap dua minggu sekali, ia tetap mengajak Nafisa ke rumah neneknya.
Aku mengizinkan. Tapi aku sendiri tidak ikut. Aku masih belajar berdamai.
Kadang aku menulis di blog, tentang bagaimana menjadi menantu yang tak dianggap.
Tentang luka yang tak terlihat, tapi nyata.
Epilog
Mertuaku mungkin tidak akan pernah benar-benar berubah. Tapi aku telah berubah.
Aku bukan perempuan rapuh yang hanya bisa menangis di balik pintu.
Aku ibu. Aku istri. Aku manusia.
Dan sekarang, aku tahu—cinta yang sebenarnya tidak bisa tumbuh di tanah yang penuh duri. Tapi aku bisa memilih, ke mana akar hidupku ingin tumbuh.
Dan untukmu, Mertuaku, jika kau membaca ini,
Mertuaku, kenapa kau begitu kejam?
Mungkin karena kau sendiri...
tak pernah tahu rasanya menjadi menantu yang sendirian.