(Suara pelan, berat, seolah bicara kepada diri sendiri di tengah malam.)
Hidup ini...
ujian dan pilihan.
Kata orang, laki-laki harus tegas. Harus tahu ke mana melangkah.
Tapi kenyataannya… aku justru bingung saat harus memilih.
Hari ini, aku diuji.
Bukan oleh dunia.
Tapi oleh diriku sendiri.
Dan saat semua orang memberi saran,
aku justru balik bertanya pada diri sendiri.
Karena mereka tak hidup di dalam kepalaku.
Mereka tak tahu rasa sesak yang aku simpan diam-diam.
Tapi… ketika jawaban itu muncul,
entah kenapa aku takut.
Takut menerimanya.
Karena mungkin... aku belum siap.
Belum siap untuk kehilangan.
Belum siap untuk menyesal.
Atau mungkin... belum siap untuk menjadi laki-laki yang sesungguhnya:
yang berani bertanggung jawab, bahkan atas luka yang dipilihnya sendiri.
(Tarikan napas. Pandangan kosong ke langit-langit atau jendela.)
Orang bilang, pilihan laki-laki menentukan hidupnya.
Tapi kadang, pilihan itu justru menghancurkannya lebih dulu.
Dan aku, di titik ini…
tidak sedang mencari yang paling mudah.
Aku hanya sedang menunggu…
sampai hatiku cukup kuat menerima kebenaran,
meski bukan yang paling aku inginkan.
(Hening sebentar. Lalu dengan nada sedikit lebih mantap.)
Jika harus sakit…
biarlah itu luka yang aku pilih dengan sadar.
Karena setidaknya,
itu bukti… bahwa aku pernah berani.
---