Pernah nggak kamu merasa lelah bahkan sebelum hari dimulai?
Aku begitu. Hampir setiap pagi aku terbangun bukan karena alarm, tapi karena mimpi yang terus mengulang kejadian yang sama. Suara bentakan. Pukulan yang tak sempat kuhindari. Dan sesuatu yang lebih menjijikkan dari rasa sakit—air liur yang diludahkan ke mulutku. Aku terbangun dengan tubuh berkeringat, napas memburu, dan pipi basah oleh tangis yang nyata.
Aku memeluk diriku sendiri. Karena tak ada siapa-siapa yang bisa kuandalkan selain tubuhku sendiri yang masih bertahan.
Aku berasal dari keluarga yang utuh... katanya. Tak ada perceraian, tak ada perpisahan secara hukum. Tapi aku tahu, kami sudah lama terpisah secara rasa. Ayahku keras—terlalu keras. Ibuku diam. Dan kami anak-anaknya hidup dalam bayang-bayang gengsi dan amarah yang tak pernah kami pahami asalnya.
Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Saat kau tidak dianggap anak, tapi tetap dituntut berperilaku sempurna. Saat kau dijatuhkan harga dirinya, tapi harus tetap menjaga nama baik keluarga. Saat luka yang kau tanggung dianggap biasa karena "semua orang juga punya masalah."
Mereka tidak tahu. Mereka tidak pernah benar-benar tahu. Bahwa aku bahkan takut untuk tertidur karena setiap kali mataku terpejam, mimpi buruk itu datang seperti film yang diputar ulang. Kadang aku melihat bayangan ayahku berdiri di ujung lorong rumah, wajahnya tak terlihat jelas, tapi aku tahu itu dia. Tangannya terangkat. Aku memohon, menangis, tapi suara dalam mimpiku tak pernah terdengar.
Dan aku hanya bisa terbangun... menangis.
Aku malu. Bukan pada orang lain, tapi pada diriku sendiri yang masih menyimpan harapan agar ayahku bisa mencintaiku. Aku merasa bodoh. Tapi kenyataannya, bahkan setelah semua ini, aku masih ingin dipeluk oleh orang yang paling sering menghancurkanku.
Itu sebabnya aku menulis. Karena jika aku tidak menulis, aku takut kewarasan ini akan benar-benar pergi. Aku takut suatu hari aku akan lupa caranya tersenyum tanpa berpura-pura.
Aku tahu ini hanya catatan kecil. Tapi untukku, ini satu-satunya ruang di mana aku tak perlu takut ditertawakan. Satu-satunya tempat di mana aku tidak harus terlihat kuat.
Jika kamu sedang membaca ini, dan merasa sendirian… mungkin kita tidak benar-benar sendiri. Kita hanya belum saling menemukan.
Tertanda,
Aira