Namaku Aira. Dan aku ada. Tapi… tidak pernah dianggap.
Aku tumbuh dalam rumah yang katanya hangat, tapi dinginnya seperti menembus tulang. Suara tawaku sering jadi bahan tertawaan. Kalimat yang mereka sebut “candaan” lebih mirip tombak yang menusuk perlahan, berulang—sampai aku terbiasa tak berdarah meski terluka.
“Ah, lebay banget sih kamu!”
“Namanya juga bercanda, jangan baper.”
“Udah biasa kali, kamu aja yang sensian.”
Kalimat-kalimat itu terus diulang seolah aku ini robot, tanpa hati. Seolah aku bisa menekan tombol ‘tidak sakit hati’ dan tertawa bersama mereka. Padahal tiap kali mereka tertawa, aku ingin menjerit. Tapi… aku diam. Karena kalau aku bicara, itu akan jadi salahku lagi.
Aku punya banyak saudara. Tapi tetap merasa seperti satu-satunya orang dalam ruangan tanpa ventilasi. Sesak, pengap, dan tidak tahu ke mana harus lari. Aku mencoba bercerita. Tapi yang kudapat bukan pelukan, bukan pengertian—melainkan penghakiman. Dan akhirnya, aku menyerah. Aku berhenti bicara.
Kini aku menulis.
Di sini, dalam ruang sunyi bernama aplikasi, aku menyusun kata demi kata. Mengganti nama agar tak terlihat seperti aku. Menyisipkan rasa dalam fiksi agar tak terlihat seperti kenyataan. Tapi tiap huruf yang kutulis… adalah tangisan yang tak bisa kudengar lagi.
Mereka tidak tahu. Tapi setiap “cerita pendek” yang kubuat, adalah cerita panjang hidupku yang tak pernah bisa aku bagi.
Jika ada yang bertanya: kenapa kamu tidak pergi saja?
Jawabanku sederhana: karena aku mencintai mereka. Tapi ternyata, cinta yang tidak disambut… hanya jadi alasan baru untuk dilukai.
Aku tidak ingin dikasihani. Aku hanya ingin… dianggap ada.
Bukan saat mereka butuh, bukan saat mereka ingin tumpangan tertawa. Tapi di saat aku rapuh, di saat aku hanya ingin peluk dan didengar, tanpa harus merasa bersalah karena merasa.
Aku tahu dunia ini tipu-tipu. Tapi rasanya tetap menyakitkan saat kamu tahu… kamu tidak sedang dibohongi dunia—kamu sedang dilukai oleh orang yang kamu panggil “rumah.”
✧─── ・ 。゚★: *.✦ .* :★. ───✧
Tentang Dunia, tentang Rumah, tentang tempat pulang, tapi itu bukan keluarga. Mereka adalah silet, yang menggores perlahan, menciptakan sedikit demi sedikit hingga luka itu membengkak.
Carilah tempat yang bisa menerimamu, carilah kesibukan yang bisa melupakan sedikit trauma, wel be happy~
𝐃𝐢 𝐬𝐢𝐧𝐢~ 𝔸𝕚𝕣𝕒.