Suatu hari di batas vegetasi Gunung Slamet. Perjalanan menuju puncak ternyata tidak semulus dan seindah rencana beberapa anak muda pendaki, yang mengaku diri sebagai petualang sejati.
“Hadeeeh gini amat cuaca gunungnya,” keluh Akbar seraya mengeluarkan bekal dan perlengkapan masaknya. “Mau ngopi dulu apa langsung makan neh? Istirahat panjang kan kita?”
Bayu membuka resleting tenda bagian teras, mengintip kabut tebal yang menyelimuti seluruh badan gunung. “Gila, jarak pandang cuma dua meter gaes, nggak mungkin kita naik ke puncak dalam kondisi begini.”
“Trus?” tanya Akbar penasaran.
Setelah melirik jam tangannya, Bayu melanjutkan, “Kita nginep di sini malam ini. Besok sebelum matahari terbit kita lanjut perjalanan kalau cuaca cerah.”
“Kalau nggak cerah gimana?” tanya Maya khawatir. Sebagai satu-satunya wanita dalam tim yang berjumlah lima orang itu, ia yang paling perhitungan dengan kondisi alam sekitarnya.
“Ya tetep naik,” jawab Bayu meyakinkan. “Masa kalian mau balik lagi tanpa menginjakkan kaki di puncak Slamet? Serunya dimana?”
Maya langsung menimpali, “Kita bisa kesini lagi next time daripada mati konyol disapu badai gunung!”
“Nggak ada yang bakal mati di sini, May! Aku juga udah janji sanggup nganter kalian ke puncak, jadi pasti aku tepati. Tenang aja, aku udah biasa naik gunung, udah paham apa yang harus dilakukan kalau badai datang!”
Dewa dan Guntur hanya diam mendengarkan debat Maya dengan Bayu yang masih kekeuh mempertahankan argumen masing-masing.
Maya bertanya, “Bay, kamu tahu kan kalau setelah melewati batas vegetasi, di jalur ke puncak ada titik yang namanya point of no return?!”
“Aku lebih suka menyebut titik itu sebagai point of no escape!” Bayu meringis membenarkan.
“Trus apa namanya kalau bukan cari mati?!”
“Aku kan dari tadi udah bilang, kita ke puncak kalau cuaca cerah! Kalau situasi nggak mendukung, nggak mungkin aku segila itu maksa kalian buat ke puncak? Aku masih waras, Maya!” tukas Bayu dengan nada yang mulai jengkel.
Akbar menengahi obrolan panas tersebut dengan menghidangkan kopi dan mie instan yang baru di masaknya. “Oke stop dulu debatnya, kita makan dan ngopi dulu biar badan sehat. Aku udah mulai kedinginan ini.”
“Kuylah,” sahut Dewa dan Guntur nyaris bersamaan. Keduanya akhirnya bersuara karena malas mendengarkan Maya dan Bayu yang masih ngeyel dengan pendapatnya.
Sialnya, debat sengit itu berlanjut hingga malam, dan masing-masing orang akhirnya tidur dengan perasaan tak nyaman. Ditambah udara malam dingin menggigit tulang, sesekali bahkan diselingi hujan deras bercampur petir.
Namun, cuaca sangat cerah di pagi hari. Hujan angin semalam lenyap seolah tak pernah ada di sana. Cahaya matahari di batas cakrawala membuat gelap dan kabut semakin menipis.
Sayang, lima petualang muda yang semalam tidur dalam gelisah terlambat bangun, sehingga banyak membuang waktu untuk menyiapkan sarapan dan packing perlengkapan.
Padahal, pagi itu adalah waktu terbaik untuk menyelesaikan pendakian.
“Harusnya kita udah jalan ke puncak dari dua jam lalu,” gerutu Maya ketika mencangklong ransel gunungnya.
“Badai udah berlalu, Maya! Cuaca cerah begini kamu masih ributin, mau kamu apa sih? Kalau nggak mau ikut ke puncak kamu bisa nunggu di sini. Tinggal buka tenda lagi apa susahnya? Toh tenda ada dua, perlengkapan masak dan logistik juga bisa dibagi dua!” sahut Bayu dengan ekspresi sangat kesal.
“Aku kan cuma mengeluarkan pendapat,” sergah Maya keras kepala.
Bayu menahan emosi yang hampir meledak, “Voting aja deh! Yang mau ke puncak ayo aku anterin sekarang, yang mau tinggal di sini silahkan!”
Hening selama tiga puluh detik. Setelah itu semua orang akhirnya sepakat untuk melanjutkan pendakian ke puncak, dan berencana segera turun tanpa berlama-lama di sana.
Bayu berjalan paling depan sebagai leader, disusul Dewa, Guntur, Maya dan paling belakang sebagai sweeper adalah Akbar.
Tidak banyak obrolan selama pendakian ke puncak, karena selain medan yang memerlukan fokus, mereka tidak mau membuat nafas cepat habis dan tenggorokan kering karena kebanyakan bicara.
Ketika mereka sudah memasuki titik rawan, yakni zona point of no return, cuaca mulai berubah. Angin berhembus cukup kencang, membawa titik-titik air yang biasa disebut dengan hujan kabut.
Bayu menyemangati timnya agar terus bergerak, karena menurutnya cuaca masih tergolong aman untuk melanjutkan pendakian. “Come on guys, lebih cepat jalannya!”
Angin kencang mereda, tapi berganti dengan kabut tebal yang memenuhi seluruh area gunung. Jarak pandang semakin pendek dan semakin pendek tiap detiknya. Dari lima meter, menjadi tiga meter, dan akhirnya hanya satu meter.
Tidak, tidak! Jarak pandang hanya sekitar setengah meter. Mereka bahkan tidak bisa melihat sepatu sendiri karena saking tebalnya kabut.
“Bay, stop! Sangat berbahaya buat muncak sekarang,” kata Akbar dengan suara keras. Ia panik karena tidak bisa melihat tiga temannya yang ada di bagian depan. Satu-satunya yang masih bisa tertangkap matanya adalah Maya, itupun samar-samar.
“No escape, Bar! Kita ada di zona nggak bisa balik, jadi mau nggak mau ya harus jalan ke puncak. Turun lebih berbahaya daripada naik dalam situasi seperti ini,” tegas Bayu. Menjelaskan tindakan yang harus dilakukan jika terjebak cuaca buruk di zona point of no return.
Tidak ada yang protes, karena memang hanya Bayu yang punya pengalaman lebih banyak soal mendaki gunung. Mereka akhirnya tetap berjalan, menyusuri punggungan gunung dalam kabut dan cuaca yang semakin buruk.
Badai gunung mulai melanda dengan dahsyatnya.
“Aaarrgggg!”
Maya langsung menoleh saat mendengar suara teriakan Akbar dan suara orang jatuh yang sepertinya berguling beberapa kali, tak jauh darinya.
“Akbar! Akbaaaarrrr!” jerit Maya panik. Ia tidak bisa melihat Akbar dimana-mana. Kabut tebal di sekelilingnya seolah menjelma menjadi tirai putih yang menyembunyikan dunia.
Bayu, Dewa dan Guntur menghentikan langkah, lalu bergerak untuk mencapai tempat Maya. Empat orang itu kini berteriak-teriak memanggil Akbar yang entah jatuh di sebelah mana.
Badai makin memburuk, dan mereka berempat harus segera membuat keputusan.
“Aku akan tetap naik dan mencari bantuan di atas, siapa tahu ada pendaki yang tadi pagi sudah ke puncak lebih dulu,” ujar Bayu. “Dewa ikut aku, Guntur bersama Maya buka tenda di sini, usahakan cari posisi Akbar dan beri dia pertolongan pertama.”
Tidak ada waktu untuk saling menyalahkan, cuaca berubah drastis, benar-benar memburuk dalam hitungan menit. Maya dan Guntur segera mendirikan tenda dan masuk ke dalam untuk membuat air panas yang bakal dibutuhkan Akbar.
Sementara Bayu dan Dewa melanjutkan pendakian, berharap ada bantuan di atas gunung. Meski menurut Maya itu adalah tindakan egois. Bagaimana tidak? Salah satu teman mereka jatuh entah dimana, tapi Bayu masih berpikir untuk pergi ke puncak dengan berbagai alasan.
Maya mengajak Guntur untuk mencari Akbar dengan cara berpencar di sekitar tenda, tapi tetap saling memanggil dan menyahut agar tahu posisi masing-masing.
Hal itu dilakukan lebih dari setengah jam ketika akhirnya Maya mendengar suara erangan Akbar. Sepertinya temannya itu baru sadar dari pingsannya.
Maya berteriak memanggil Guntur, dan akhirnya menemukan Akbar yang merosot tak begitu jauh dari posisi awal jatuh. Guntur memapah Akbar masuk ke tenda dan segera memberikan tindakan pertolongan pertama bagi penderita hipotermia.
Akan tetapi, kondisi Akbar semakin kritis sehingga Maya dan Guntur berbagi tugas untuk mencari bantuan.
“Tungguin Akbar, berikan dia penghangat dan terus ajak bicara agar tetap sadar, biar aku yang turun cari bantuan!” kata Maya sambil membagi logistik dan bahan bakar.
“Aku aja yang turun, May! Kamu yang jaga Akbar, secara fisik aku lebih kuat daripada kamu, jadi kemungkinan aku akan cepat sampai di bawah. Alat masak aku bawa ya! Bentar lagi Bayu sama Dewa pasti nyampe sini.”
Kesepakatan telah dibuat, dan Guntur turun menerjang badai saat itu juga, meninggalkan Maya dan Akbar yang dalam kondisi payah. Beruntung Bayu dan Dewa kembali beberapa jam kemudian.
Cuaca semakin buruk hingga hari berikutnya, dan bantuan yang diharapkan datang tidak kunjung tiba. Logistik semakin tipis, Akbar pun semakin kritis.
“Aku harus turun mencari bantuan, kemungkinan Guntur tersesat atau mungkin mengalami masalah di perjalanan,” ucap Bayu. Ia mulai merasa bertanggung jawab dengan kondisi timnya.
“Oke!” Maya pun mulai membagi perlengkapan dan logistik, kemudian membiarkan Bayu keluar tenda untuk turun mencari bantuan.
Sayangnya, Akbar tak mampu bertahan. Ia tidak merespon apapun dan akhirnya meregang nyawa di pangkuan Maya beberapa jam setelah Bayu turun gunung.
Keesokan hari, Maya dan Dewa sepakat untuk menyusul Bayu karena Akbar sudah tiada. Mereka meninggalkan jasad Akbar di dalam tenda, dan akan mengurusnya belakangan jika sudah mendapatkan bantuan.
Lagi pula Maya dan Dewa tidak memiliki persediaan makanan lagi untuk tetap bertahan di atas gunung, sementara bantuan yang ditunggu tidak tahu kapan datangnya.
Menu terakhir yang mereka santap pagi itu hanyalah sebungkus mie instan kering, dua permen dan beberapa teguk air saja.
Kondisi semakin sulit karena mereka tak lagi memiliki alat komunikasi. Ponsel mati dari kemarin, kehabisan daya karena terus-menerus mencari jaringan.
Dalam perjalanan turun, Dewa yang kelelahan, terpeleset dan jatuh tanpa sepengetahuan Maya yang berjalan di depan.
Hujan deras, angin ribut dan petir yang menyambar-nyambar lah yang mengaburkan pendengaran Maya. Ditambah Maya sedang fokus berdoa meminta keselamatan.
Sepuluh menit kemudian, Maya baru menyadari kalau ia dan Dewa sudah tidak saling sapa selama beberapa waktu.
Maya berhenti untuk mengambil nafas sambil menunggu Dewa. Namun, menit-menit berlalu begitu saja, membuat Maya panik dan mulai berteriak lantang, “Dewaaaa!”
Tak ada sahutan atau tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya ada suara hujan, angin dan petir.
“Dewaaa, kamu dimanaaa? Dewaaaa?”
Nihil. Hanya alam dan Tuhan yang tau apa yang terjadi pada temannya itu.
Tak ada pilihan lain, Maya mempercepat langkahnya menuruni gunung. Jujur ia tidak tau lagi jalur yang dilewatinya benar atau salah karena hujan dan juga kabut terus saja turun dan mengacaukan langkahnya.
“Ya Tuhan, tolong aku!” gumam Maya dengan mata berlinang. Ia sudah salah arah, dan entah berada di gunung bagian mana. Ia hanya melihat sungai, dan sepertinya itu lah jalan keluar satu-satunya yang terpikirkan oleh Maya.
Dalam kondisi lelah, kelaparan dan kedinginan, Maya menyusuri pinggiran sungai. Untung ada satu permen yang kebetulan tertinggal di saku jaketnya. Maya memakannya dan minum dari air sungai.
Dua jam berjalan tanpa arah, Maya akhirnya menemukan jalan turun yang biasa dilewati warga setempat. Tapi masih butuh waktu satu jam lagi untuk Maya akhirnya menemukan jalan aspal.
Maya tiba di desa Serang, antara Baturaden Banyumas dan Bambangan, Purbalingga. Hanya saja, tempat itu posisinya cukup jauh dari pos pendakian Bambangan.
Tak berputus asa, Maya langsung mencari ojek untuk diantar ke pos pendakian Bambangan. Ia harus melapor dan mencari bantuan di sana. Ia juga penasaran kenapa tim penyelamat tidak segera naik padahal Guntur dan Bayu meminta bantuan.
Sampai pos Bambangan, Maya langsung mendapatkan pertolongan pertama. Dan di pos itu juga Maya mengetahui kalau Guntur dan Bayu tidak pernah sampai sana.
Setelah mendapatkan perawatan dan bisa berbicara lancar, Maya menjelaskan kronologi, situasi dan kondisi tim dari awal sampai akhir pendakiannya.
Tim SAR bergerak ketika badai sedikit mereda. Tim terbagi dari beberapa SRU (Search and Rescue Unit) yang disebar di jalur pendakian via Bambangan dan sekitarnya.
Butuh waktu empat hari untuk menemukan jasad tak bernyawa Guntur, Bayu, Dewa dan Akbar.
Kejadian itu membuat Maya sangat trauma, hingga ia memutuskan untuk tidak jadi bergabung dengan organisasi pecinta alam di kampusnya.
T A M A T
Halo genk, ingat untuk selalu safety, safety, safety first then go wild ya! Salam lestari, Al.