"Aku cuma magang," bisik Tara, matanya terpaku pada deretan berkas di layar kaca ungu pekat. Setiap detik, ribuan nama berkelebat, usia, status, garis waktu.. semua bergerak, seperti naskah hidup yang bisa diubah sesuka hati. Di sini, manusia hanyalah cerita. Dan Tara, meski hanya magang adalah editornya.
"Klien mu kali ini, Raka Pratama, 17 tahun. Calon orang sukses, tapi sekarang... nyaris tenggelam," suara Suhu ilmi datar, matanya tak berkedip. "Tugasmu sederhana: ubah satu bagian hidupnya, cukup agar ia tidak memilih jalan pintas."
Tara menahan napas. Tugas ini terasa berat, jauh dari sekedar edit biasa.
Hari pertama, Tara menghapus pertemuan pahit Raka dengan guru yang selalu menghakimi. Ia ganti dengan sosok guru baru yang ramah, penuh dukungan.
Hari kedua, Tara menulis "Pertemuan tak sengaja dengan teman lama" dengan tawa pecah, mengusir gelap.
Hari ketiga, ia sisipkan peluang beasiswa seni. Raka mulai melukis, menemukan sisi dirinya yang selama ini terkubur.
Setiap perubahan Tara tulis hari-hari. Dunia menyesuaikan. Di layar, Raka kini lebih tenang, senyumnya mulai tumbuh.
Tapi...
"Hari ini aneh," gumam Tara, menatap grafik Raka. "Grafiknya datar. Tak bahagia, tak sedih. Hampa?"
Raka duduk di kamar, menatap langit-langit kosong. Tak ada air mata, tak ada tawa. Hanya diam.
"Aku tidak tahu harus merasa apa," tulisnya di catatan harian digital- catatan yang Tara baca diam-diam.
"Kenapa semuanya terasa palsu? Semua berjalan mulus, tapi aku seperti boneka."
Tara tercekat. Ia sadar, terlalu banyak menghapus luka berarti mencabut hak Raka untuk berjuang, untuk merasakan pahit agar bisa menghargai manisnya hidup.
Dalam sistem editor, satu hukum utama: "Dilarang berinteraksi langsung dengan subjek."
Tapi malam itu, Tara tak tahan. Ia menerobos firewall Takdir, membuka jalur komunikasi terlarang, turun ke dunia manusia hanya untuk satu malam.
Raka berdiri di taman bunga biru yang asing. Disana seorang gadis berambut putih keperakan, matanya lembut metapnya.
"Siapa kamu?" suara Raka lirih, nyaris pecah.
"Tara," jawabnya pelan. " Seseorang yang diam-diam mengedit hidupmu."
Raka menatap bingung, tapi tak takut.
"Aku ingin kamu hidup. Tapi hidup bukan sekedar bahagia. Luka, jatuh, kecewa... semua itu membuatmu... manusia."
Diam.
Raka berbisik, "Kalau aku gagal lagi, apa kamu akan bantu edit ulang?"
Tara tersenyum pilu. "Aku tak bisa. Tapi kamu bisa. Sekarang, kamu penulis hidupmu sendiri."
Pagi itu, Raka membuka jendela. Sinar matahari menyapa, hangat. Ia tersenyum kecil untuk pertama kalinya.
Ia menulis puisi, menumpahkan rasa yang selama ini terpendam. Sementara itu, Tara berdiri dihadapan Dewan Takdir. Hukum telah di langgar.
"Karena kamu," kata Suhu ilmi, "Satu manusia selamat. Tapi kamu kehilangan akses sebagai editor."
Tara menunduk, tapi matanya berbinar. "Tak apa. Aku ingin berhenti mengedit, dan mulai... memahami hidup."
_
Bertahun-tahun kemudian, Raka menjadi penulis puisi. Salah satu puisinya berjudul:
"Untuk Tara, Sang Editor Takdir.
Kau tak menulis untukku, tapi membuatku menulis untuk diriku sendiri."
Di sudut dunia, Tara kini manusia biasa... tersenyum membaca puisi itu di kafe kecil. Ia tahu, kali ini, hidup benar-benar terasa.
Tamat_